Akar Masalah Perempuan dan HAM di Indonesia

Rasyiqi
By Rasyiqi
15 Min Read
Ana Mariana Ulfa, Sekretaris Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI) DIY.
Ana Mariana Ulfa, Sekretaris Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI) DIY.

Jurnalfaktual.id, | Berbicara Hak Asasi Manusia (HAM) bukan hanya berbicara mengenai Munir, seorang aktifis HAM Indonesia yang aktif memperjuangkan hak-hak asasi manusia dan di racun di dalam pesawat ketika dalam perjalanan ke Amsterdam untuk melanjutkan kuliahnya.

HAM bukan hanya berbicara mengenai Marsinah, seorang buruh pabrik PT. Catur Putra Surya yang aktif dalam aksi-aksi demonstrasi menuntut kenaikkan upah buruh. Ia sempat hilang tiga hari, kemudian ditemukan sudah menjadi mayat karena di bunuh oleh militer.

HAM juga bukan hanya berbicara mengenai Widji Tukul, seorang Sastrawan dan aktifis HAM Indonesia, juga aktifis 1998 yang sampai saat ini hilang dan tidak ada tanggung jawab dari negara.

Berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang sudah diratifikasi di Indonesia, bahwa HAM adalah hak-hak dasar manusia yang dimiliki oleh manusia sejak berada dalam kandungan dan setelah lahir ke dunia (kodrat), yang seluruhnya berlaku secara universal dan diakui oleh semua orang.

HAM adalah singkatan dari Hak Asasi Manusia, dimana masing-masing kata tersebut memiliki makna. Kata “Hak” dalam hal ini berarti sebagai kepunyaan atau kekuasaan atas sesuatu, sedangkan “Asasi” adalah sesuatu hal yang utama dan mendasar. Jadi, pengertian HAM secara singkat adalah suatu hal yang mendasar dan utama yang dimiliki oleh manusia.

Artinya Hak Asasi Manusia merupakan hak yang sangat mendasar dari manusia yang wajib dilindungi tanpa perlu memandang ras, suku, agama, usia dan jenis kelamin.

Di dalam masyarakat bernegara tentunya kewajiban itu dipegang oleh negara. Melihat kenyataan yang demikian, tentunya perempuan mempunyai Hak yang sama, yang harus dilindungi oleh negara.

Namun semenjak deklarasi itu dilahirkan, kondisi perempuan di Indonesia belum sesuai dengan yang dicita-citakan oleh kaum perempuan dan seluruh rakyat, maupun seperti yang termaktub didalam deklarasi sendiri. Kondisi kaum perempuan di Indonesia, hingga di bawah pemerintahan Rezim Jokowi saat ini justru semakin terpinggirkan dan tidak berdaulat.

Kondisi Perempuan Indonesia dibawah Pemerintahan Rezim Jokowi. Berdasarkan komposisi masyarakat Indonesia, kaum perempuan merupakan komposisi masyarakat Indonesia yang paling besar, yang diklasifikasikan dalam satu golongan berdasarkan jenis kelamin, dengan jumlah mencapai sekitar 80% dari jumlah total populasi Indonesia, yang tersebar diseluruh sektor.

Namun demikian, sistem masyarakat yang terbelakang setengah jajahan dan setengah feodal (SJSF) yang terus dipertahankan di Indonesia, telah menempatkan kaum perempuan tetap menjadi komposisi masyarakat paling menderita dan tertindas. Kaum perempuan mengalami penghisapan dan penindasan dua kali lipat lebih keras, lebih pahit, lebih kejam dan lebih menyakitkan dibandingkan dengan laki-laki, baik secara ekonomi, politik, maupun kebudayaan.

Secara ekonomi, bahkan dalam skup yang paling kecil, yakni didalam rumah tangga, kaum perempuan (utamanya para Ibu) mengalami beban dan tekanan ekonomi paling keras dibandingkan anggota keluarga lainnya, karena merekalah orang pertama yang paling dekat dan paling tau kondisi ekonomi keluarga, merekalah yang paling dekat dan paling tau isi dapur tentang ada atau tidaknya yang akan di masak.

Mereka juga yang paling tau ada atau tidaknya uang untuk biaya transportasi dan uang saku anak-anaknya pergi ke sekolah, ada atau tidaknya uang untuk membeli kebutuhan kebersihan rumah, dan lain sebagainya.

Budaya patriarki yang telah menempatkannya sebagai pengurus utama rumah tangga, maka mereka harus dapat memastikan semuanya ada dan tersedia.

Sementara untuk memastikan semuanya terpenuhi, sumber utamanya hanya bergantung pada penghasilan atau pemberian suami. Karenanya, mayoritas kaum perempuan telah menjadi korban jeratan aneka jenis peribaan, karena terpaksa harus berhutang untuk memastikan terpenuhinya isi dapur dan kebutuhan ekonomi keluarga lainnya.

Mereka terpaksa berhutang karena seringkali penghasilan suaminya juga tidak cukup untuk memastikan dapurnya tetap menyala, anaknya tetap sekolah, dan lain sebagainya.

Sementara pada sisi yang lain, secara informal kaum perempuan tidak mendapatkan akses yang sama dan terbuka untuk mendapatkan pekerjaan. Meskipun ada sebagian kecil kaum perempuan yang terserap dalam industri kerja, selain kenyataan bahwa kaum perempuan di Indonesia yang mayoritas adalah buruh dan tani, kaum perempuan masih mengalami diskriminasi upah, pelayanan, dan perlindungan ditempat kerja.

Monopoli tanah dan sarana produksi yang semakin intensif, telah menyebabkan kaum perempuan dan rakyat secara luas terjerat dalam keterbelakangan alat kerja, minimnya akses terhadap kepemilikan atas tanah, serta sarana penunjang produksi lainnya.

Situasi demikian telah menyebabkan sebagian besar kaum perempuan dan kaum tani secara luas tidak memiliki tanah, sehingga terpaksa menjadi buruh tani kepada tuan tanah-tuan tanah besar, bahkan akibat berbagai kemitraan palsu yang sangat eksploitatif juga telah menyebabkan kaum tani menjadi buruh diatas lahannya sendiri yang sebagian besar hasilnya lari ketangan tuan tanah.

Sementara itu, menjadi buruh tani sekalipun, kaum perempuan dan kaum tani secara luas dihadapkan dengan upah yang rendah, serta diskriminasi upah yang sangat timpang antara kaum laki-laki dan perempua, meskipun dengan beban kerja dan tanggungjawab yang sama.

Hal ini, seperti yang terjadi di Gunung Kidul, upah buruh tani laki-laki Rp.50.000, sedangkan upah buruh tani perempuan Rp.40.000. Di daerah Pangalengan Jawa Barat, upah buruh tani laki-laki Rp. 50.000,- dan upah buruh tani perempuan sebesar Rp.35.000,-.

Di sektor industri, perempuan juga mengalami diskriminasi upah, tidak adanya hak-hak biologis perempuan seperti cuti haid, cuti hamil dan fasilitas-fasilitas yang menunjang kebutuhan perempuan.

Kondisi buruh perempuan di KBN (Kawasan Berikat Nusantara) Cakung Jakarta Timur misalnya, yang mencapai 90% dari total 80.000 buruh yang bekerja.

Dengan jumlah tersebut, kenyataannya buruh perempuan tidak mendapatkan fasilitas-fasilitas khusus menyangkut sensitifitasnya, seperti tempat menyusui (fasilitas laktasi) maupun fasilitas-fasilitas lain yang seharusnya disediakan oleh perusahaan.

Lebih lanjut, perempuan juga masih dijadikan sebagai objek eksploitasi oleh para borjuasi untuk meraih sensasionalitas dan komersialisme sebanyak-banyaknya. Dilapangan politik, dimana kita tahu keterlibatan perempuan dalam kursi DPR minimal 30%, tetapi pada prakteknya partai hanya memenuhi syarat minimal nya. Bisa dilihat prosentase jumlah laki-laki dan perempuan di lembaga legislatif Republik Indonesia akan nampak ketimpangan. Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia perempuan periode 2014-2019 sebanyak 97 orang atau 17,32 persen dari total 560 orang.

Pada tahun 2009-2014 jumlah anggota DPR RI perempuan berjumlah 100 orang atau 17,86 persen dari total 560 orang (katadata.co.id). hal tersebut wujud bagaimana patriarki menghambat perempuan dalam berpolitik, bukan soal minimal dipenuhinya hak perempuan untuk bisa duduk diparlemen sebesar 30% namun patriarki yang masih hidup ditengah-tengah masyarakat telah membuat kaum perempuan sengsara. Jangankan bisa terlibat dalam partai politik,
berorganisasi saja banyak anggapan miring terhadap perempuan. Seperti perempuan liar, perempuan brutal, dan lain-lain.

Dilapangan kebudayaan, patriarki telah menyebabkan kaum perempuan terus terjerat keterbelakangan yang jauh lebih kelam dibandingkan laki-laki. Paham yang selalu menempatkan perempuan sebagai golongan nomor dua, telah menyebabkan mayoritas kaum perempuan tidak berani berbicara, tidak lues berekpresi, sehingga terkungkung hanya dalam ruang dan aktifitas “sumur, kasur, dan dapur” semata.

Karenanya, disektor Pendidikan, kaum perempuan tidak pernah menjadi prioritas. Masih ada pembatasan akses pendidikan terhadap perempuan, terutama di Pedesaan. Jika suatu keluarga memiliki anak laki-laki dan anak perempuan, anak laki-laki akan lebih diutamakan untuk bisa mengakses pendidikan, bahkan hingga ke jenjang yang lebih tinggi.

Hal tersebut, salah satunya karena masih ada pandangan bahwa yang akan bertanggungjawab dalam keluarga adalah laki-laki, sementara perempuan hanya akan menjadi ibu rumah tangga
yang harus patuh terhadap suami dan hanya mengurusi pekerjaan domestik. Karena pandangan itupula, telah menyebabkan banyak kaum perempuan yang terjebak dalam pernikahan dini.

Kasus pernikahan dini terhadap perempuan yang umumnya terjadi di pedesaan, disebabkan oleh kematangan prilaku dan pikiran yang jauh lebih cepat karena kenyataan hidup dengan berbagai kesulitan yang dihadapi tidak berimbang dengan rendahnya ilmu pengetahuan yang dimiliki.

Selain itu, pernikahan dini atau perkawinan anak terutama terjadi karena orang tuanya tidak lagi punya pilihan bagaimana meringankan beban ekonomi keluarga yang semakin hari semakin sulit akibat kemiskinan yang terus meluas di Pedesaan. Karenanya,
secara kebudayaan menikah adalah salah satu cara untuk melepaskan beban tersebut, dengan harapan bahwa anaknya akan mendapatkan hidup yang lebih baik dengan suaminya kelak.

Hilangnya hak dan akses kaum perempuan dan rakyat luas atas tanah, juga telah menyebabkan jutaan perempuan desa terpaksa bermigrasi ke kota untuk bekerja menjadi buruh pabrik dikota dengan upah yang jauh dari kata layak, dan juga mengalami penghisapan dengan beban kerja berlipat ganda.

Selain bermigrasi ke kota, perempuan desa karena tidak memiliki akses kepemilikanterhadap alat produksi nya juga bermigrasi ke luar negeri menjadi buruh migran dengan minimnya jaminan atas perlindungan hukum dari negara.

Seperti yang kita ketahui bahwa provinsi NTT adalah provinsi pengirim buruh migran terbanyak dan setiap tahun lebih dari satu peti mati yang dibawa ke provinsi NTT, yang isinya adalah mayat buruh migran.

Kenyataan tersebut merupakan bentuk pelanggaran HAM terhadap perempuan
yang dilakukan oleh negara. jika perempuan desa diberikan akses terhadap pengelolaan tanah, maka tanah tersebut akan lebih produktif dibanding tanah yang dikuasai oleh perhutani, dan tentunya perempuan desa tidak akan bermigrasi ke luar kota ataupun ke luar negeri hanya untuk bertahan bidup karena dimiskinkan oleh negara.

Kenyataan yang terjadi atas kondisi kaum perempuan Indonesia tersebut berpangkal pada satu sistem sosial masyarakat mempertahankan tetap eksisnya penindasan patriarki yang
dialami oleh perempuan di Indonesia.

Sistem sosial tersebut telah melahirkan sistem ekonomi setengah feodal yang bersandarkan pada sistem pertanian terbelakang berbasiskan monopoli penguasaan tanah yang sangat luas, yang menyebabkan perempuan kehilangan hak dan aksesnya atas alat produksi utamanya, yaitu tanah.

Tanah yang merupakan alat produksi bagi mayoritas rakyat Indonesia tentunya juga bagi kaum perempuan Indonesia di monopoli oleh kelas borjuasi besar komprador dan tuan tanah besar di Indonesia, termasuk Negara yang berlaku sebagai tuan tanah tipe baru (type-4) yang bahkan menguasai tanah paling luas atas nama pembangunan, kepentingan umum dan lain sebagainya.

Kenyataan tersebut jalan berdampingan dengan keterbelakangan sistem pertanian dan ketergantungan pemerintah dalam menjalankan pembangunannya yang bergantung pada modal dan teknologi asing. Karenanya, sebagai ciri bahwa Indonesia yang masih terjerat oleh penjajahan, monopoli tanah telah menjadi basis operasi dan pengembang-biakan kapital milik kapitalis monopoli di Indoensia dengan produksi substitusi import dan berorientasi ekspor.

Kenyataan tersebut telah menyebabkan jutaan rakyat, termasuk kaum perempuan tidak berdaulat secara ekonomi politik dan kebudayaan.

Rezim yang berkuasa di negeri ini adalah representasi dari kelas borjuasi besar komprador dan tuan tanah besar yang terus melanggengkan monopoli tanah, yang bahkan dilakukan melalui perampasan tanah dengan cara yang paling halus sampai yang paling kasar. Artinya Rezim Jokowi adalah Rezim yang terus melanggengkan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat tanpa terkecuali kaum perempuan, Rezim Jokowi pula yang merampas hak asasi manusia bagi rakyatnya dengan cara terus mempertahankan sistem sosial masyarakat yang menghisap dan menindas rakyat.

Bersandarkan pada Analisa tersebut bahwa, monopoli atas tanah adalah akar masalah bagi kaum permpuan dan seluruh rakyat Indonesia saat ini, maka jelas bahwa setiap bentuk persoalan rakyat adalah persoalan kaum perempuan pula, demikian sebaliknya.

Dengan demikian pula, maka mutlak bagi kaum perempuan Indonesia untuk bangkit, berorganisasi dan terlibat aktif dalam setiap bentuk perjuangan rakyat untuk melawan perampasan dan monopoli tanah, mewujudkan Reforma Agraria Sejati sebagai jawaban dari problem seluruh rakyat, termasuk problem perempuan.

Hanya dengan cara itulah kaum perempuan Indonesia bersama seluruh rakyat tertindas Indonesia dapat menjadi manusia dan bangsa yang berdaulat secara ekonomi politik dan kebudayaan. Dengan bersatunya kaum perempuan dengan rakyat tertindas untuk mewujudkan reforma agraria sejati juga solusi untuk menyelesaikan
pelanggaran HAM di Indonesia, karena perampasan dan monopoli tanah adalah biang dari pelanggaran HAM.

Tentang Penulis : Ana Mariana Ulfa, Sekretaris Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI) DIY.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article