jfid – Tabungan masyarakat Indonesia mengalami penurunan sebesar 20 miliar rupiah dalam satu tahun terakhir.
Hal ini terungkap dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa pendapatan nasional tahun lalu adalah 500 miliar rupiah, sementara pengeluaran masyarakat untuk konsumsi adalah 450 miliar rupiah. Artinya, tabungan masyarakat tahun lalu adalah 50 miliar rupiah.
Namun, pada tahun ini, pendapatan nasional meningkat menjadi 600 miliar rupiah, sedangkan pengeluaran masyarakat untuk konsumsi naik menjadi 520 miliar rupiah.
Dengan demikian, tabungan masyarakat tahun ini hanya 80 miliar rupiah. Ini berarti, tabungan masyarakat menurun sebesar 20 miliar rupiah atau 40 persen.
Fenomena ini menarik untuk dikaji dari sudut pandang ekonomi. Salah satu teori ekonomi yang relevan adalah teori konsumsi Keynesian, yang dikemukakan oleh John Maynard Keynes, seorang ekonom terkemuka asal Inggris.
Keynes berpendapat bahwa pengeluaran konsumsi akan dipengaruhi oleh pendapatannya. Jika pendapatannya meningkat, konsumsinya juga akan naik, dan sebaliknya.
Keynes juga mengemukakan konsep propensi untuk menyimpan (propensity to save), yaitu seberapa besar bagian dari pendapatan yang tidak dihabiskan untuk konsumsi. Propensi untuk menyimpan dapat dihitung dengan rumus: Propensi untuk Menyimpan = Tabungan/Pendapatan.
Dengan menggunakan rumus ini, kita dapat menghitung propensi untuk menyimpan masyarakat Indonesia tahun lalu dan tahun ini. Tahun lalu, propensi untuk menyimpan adalah 50/500 = 0,1 atau 10 persen. Tahun ini, propensi untuk menyimpan adalah 80/600 = 0,133 atau 13,3 persen. Ini berarti, propensi untuk menyimpan masyarakat Indonesia meningkat sebesar 3,3 persen.
Namun, kenaikan propensi untuk menyimpan ini tidak sebanding dengan kenaikan pendapatan nasional. Pendapatan nasional meningkat sebesar 100 miliar rupiah atau 20 persen, sedangkan tabungan masyarakat hanya meningkat sebesar 30 miliar rupiah atau 60 persen. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia cenderung lebih konsumtif daripada menabung.
Apa yang menyebabkan perilaku konsumtif ini? Salah satu faktor yang mungkin adalah inflasi. Inflasi adalah kenaikan harga-harga secara umum dan terus menerus.
Inflasi dapat menggerus nilai uang, sehingga mendorong masyarakat untuk menghabiskan uangnya sebelum nilainya menurun. Data BPS menunjukkan bahwa inflasi tahun ini mencapai 6,5 persen, lebih tinggi dari tahun lalu yang hanya 4,3 persen.
Faktor lain yang mungkin adalah gaya hidup. Gaya hidup adalah cara hidup seseorang yang mencerminkan nilai, sikap, dan preferensinya.
Gaya hidup dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti lingkungan, media, teknologi, dan budaya.
Gaya hidup yang konsumtif adalah gaya hidup yang mengutamakan kepuasan diri dengan mengonsumsi barang-barang dan jasa-jasa yang tidak selalu dibutuhkan.
Gaya hidup konsumtif dapat dilihat dari fenomena konsumerisme, yaitu paham yang menganggap konsumsi sebagai tujuan hidup.
Konsumerisme dapat ditumbuhkan oleh industri periklanan, yang menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru dan menggiring masyarakat untuk membeli produk-produk tertentu.
Konsumerisme juga dapat dipicu oleh faktor psikologis, seperti keinginan untuk meniru orang lain, mencari pengakuan sosial, atau mengisi kekosongan batin.
Perilaku konsumtif masyarakat Indonesia tentu saja memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, karena konsumsi merupakan salah satu komponen utama dari produk domestik bruto (PDB).
Dampak negatifnya adalah dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat, karena konsumsi yang berlebihan dapat mengorbankan tabungan, investasi, dan lingkungan.
Oleh karena itu, perlu ada keseimbangan antara konsumsi dan tabungan. Konsumsi yang rasional adalah konsumsi yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.
Tabungan yang optimal adalah tabungan yang dapat memenuhi kebutuhan masa depan dan mengantisipasi risiko. Keseimbangan ini dapat dicapai dengan mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat, serta mengatur kebijakan pemerintah.
Salah satu kritik yang sering dilontarkan terhadap teori Keynesian adalah bahwa teori ini terlalu mengandalkan peran pemerintah dalam mengintervensi ekonomi.
Keynesianisme menganjurkan pemerintah untuk melakukan stimulus fiskal dan moneter untuk merangsang permintaan agregat dan mengatasi resesi. Namun, kebijakan ini dapat menimbulkan masalah baru, seperti defisit anggaran, utang publik, dan inflasi.
Oleh karena itu, teori Keynesian perlu dikombinasikan dengan teori-teori ekonomi lain yang lebih memperhatikan aspek-aspek lain dari ekonomi, seperti penawaran, produktivitas, efisiensi, dan keseimbangan.
Teori-teori ekonomi lain yang dapat menjadi alternatif atau pelengkap Keynesianisme antara lain adalah teori klasik, neoklasik, moneteris, neo-Keynesian, dan post-Keynesian.