Sejarah Singkat Konflik Israel dan Palestina: Dari Tanah Janji hingga Gerakan Perlawanan

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
14 Min Read

jfid – Konflik antara Israel dan Palestina adalah salah satu konflik terpanjang dan paling rumit di dunia. Konflik ini bermula dari klaim atas tanah yang sama, yang oleh orang Yahudi disebut Tanah Israel, dan oleh orang Arab disebut Palestina. Tanah ini memiliki nilai sejarah, agama, dan politik yang tinggi bagi kedua belah pihak.

Awal Mula: Deklarasi Balfour dan Mandat Inggris

Sejarah konflik ini dapat ditelusuri kembali ke tahun 1917, ketika Pemerintah Inggris menetapkan Deklarasi Balfour yang menjanjikan orang Yahudi mendapat tanah di Palestina¹. Deklarasi ini bertujuan untuk mendapatkan dukungan orang Yahudi dalam Perang Dunia I, dan juga untuk mengimbangi pengaruh Prancis dan Rusia di Timur Tengah.

Namun, deklarasi ini menimbulkan kemarahan dari orang Arab, yang merasa hak-hak mereka diabaikan. Orang Arab juga telah mendapatkan janji dari Inggris bahwa mereka akan mendapatkan kemerdekaan jika mereka memberontak melawan Kesultanan Utsmaniyah, yang saat itu menguasai Palestina.

Pada tahun 1920, Liga Bangsa-Bangsa memberikan mandat kepada Inggris untuk mengurus Palestina. Mandat ini mengharuskan Inggris untuk menerapkan Deklarasi Balfour dan memfasilitasi pembentukan “tanah air nasional Yahudi” di Palestina, tanpa mengganggu hak-hak sipil dan agama penduduk non-Yahudi².

Ad image

Migrasi Yahudi dan Pemberontakan Arab

Selama masa mandat Inggris, banyak orang Yahudi yang bermigrasi ke Palestina, terutama karena adanya antisemitisme dan persekusi di Eropa. Orang Yahudi membeli tanah dari orang Arab, mendirikan kibbutz (komunitas pertanian kolektif), dan membentuk organisasi politik dan militer.

Hal ini menimbulkan ketegangan dengan orang Arab, yang merasa terancam oleh kedatangan orang Yahudi. Orang Arab juga merasa tidak puas dengan kebijakan Inggris, yang mereka anggap pro-Yahudi. Pada tahun 1936-1939, orang Arab melakukan pemberontakan bersenjata melawan Inggris dan orang Yahudi. Inggris berusaha menekan pemberontakan dengan kekerasan, tetapi juga mengeluarkan rencana pembagian wilayah Palestina menjadi dua negara: satu untuk orang Yahudi dan satu untuk orang Arab.

Namun, rencana ini ditolak oleh kedua belah pihak. Orang Yahudi merasa tidak adil karena mereka hanya mendapatkan sebagian kecil dari tanah yang mereka klaim sebagai milik mereka. Orang Arab merasa tidak mau berbagi tanah yang mereka anggap sebagai tanah leluhur mereka.

Pembentukan Israel dan Perang Arab-Israel

Pada tahun 1947, setelah Perang Dunia II, Inggris mengumumkan niatnya untuk menyerahkan masalah Palestina kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB kemudian membentuk sebuah komite khusus untuk menyusun rencana pembagian wilayah Palestina. Rencana ini mirip dengan rencana Inggris sebelumnya, tetapi dengan perbedaan bahwa kota Yerusalem dan Betlehem akan berada di bawah kendali internasional.

Rencana PBB ini disetujui oleh mayoritas anggota PBB pada November 1947. Namun, rencana ini ditolak oleh orang Arab, yang menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap hak-hak mereka. Orang Yahudi menerima rencana ini dengan syarat-syarat tertentu, tetapi juga bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan perang.

Pada 14 Mei 1948, sehari sebelum mandat Inggris berakhir, komunitas Yahudi di Palestina mendeklarasikan berdirinya negara Israel¹. Deklarasi ini memicu reaksi keras dari negara-negara Arab tetangga, yang menyerang Israel dengan tujuan menghapusnya dari peta. Perang ini dikenal sebagai Perang Kemerdekaan Israel atau Perang Arab-Israel Pertama.

Perang ini berlangsung selama satu tahun, dan berakhir dengan gencatan senjata pada 1949. Dalam perang ini, Israel berhasil mempertahankan eksistensinya dan bahkan memperluas wilayahnya dari yang ditetapkan oleh rencana PBB. Sementara itu, wilayah Palestina yang tersisa dibagi-bagi antara Yordania, yang menguasai Tepi Barat dan Yerusalem Timur, dan Mesir, yang menguasai Jalur Gaza⁵.

Nasib Orang Palestina dan Pembentukan Organisasi Pembebasan Palestina

Perang Arab-Israel Pertama menimbulkan dampak besar bagi orang Palestina. Sekitar 700.000 orang Palestina melarikan diri atau diusir dari rumah mereka, dan menjadi pengungsi di negara-negara Arab sekitarnya atau di kamp-kamp pengungsian di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Mereka kehilangan tanah, harta, dan hak-hak mereka sebagai warga negara. Mereka juga mengalami diskriminasi dan penindasan di tempat-tempat pengungsian mereka.

Untuk memperjuangkan hak-hak dan kemerdekaan mereka, orang Palestina mulai membentuk gerakan-gerakan perlawanan bersenjata. Salah satu gerakan yang paling berpengaruh adalah Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang didirikan pada 1964 dengan dukungan Liga Arab. PLO merupakan sebuah koalisi dari berbagai faksi politik dan militer Palestina, yang memiliki tujuan awal untuk menghancurkan Israel dan mendirikan negara Palestina di seluruh wilayah mandat Inggris.

PLO dipimpin oleh Yasser Arafat, seorang pemimpin karismatik yang menjadi simbol perjuangan rakyat Palestina. PLO melakukan serangan-serangan terorisme terhadap Israel dan negara-negara Barat yang mendukungnya, seperti pembajakan pesawat, pemboman, dan pembunuhan. PLO juga mendapatkan dukungan dari Uni Soviet, China, dan negara-negara non-blok.

Perang Enam Hari dan Pendudukan Israel

Pada tahun 1967, ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab meningkat lagi. Mesir, Yordania, dan Suriah bersiap-siap untuk menyerang Israel dengan bantuan dari Irak, Kuwait, dan Aljazair. Israel merasa terancam dan melakukan serangan preventif terhadap Mesir pada 5 Juni 1967. Serangan ini memicu perang yang dikenal sebagai Perang Enam Hari.

Dalam perang ini, Israel berhasil mengalahkan negara-negara Arab dengan mudah dan merebut wilayah-wilayah penting, seperti Semenanjung Sinai dari Mesir, Dataran Tinggi Golan dari Suriah, dan Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania. Dengan demikian, Israel menguasai seluruh wilayah Palestina yang tersisa.

Israel kemudian menduduki wilayah-wilayah tersebut dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang menindas penduduk Palestina, seperti pembatasan pergerakan, penahanan tanpa pengadilan, penyitaan tanah, pembangunan permukiman Yahudi ilegal, penghancuran rumah-rumah Palestina, dan pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Intifadhah Pertama dan Kedua

Pendudukan Israel menimbulkan kemarahan dan perlawanan dari rakyat Palestina. Pada tahun 1987, sebuah pemberontakan rakyat meletus di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Pemberontakan ini dikenal sebagai Intifadhah Pertama (yang berarti “mengguncang” dalam bahasa Arab).

Intifadhah Pertama ditandai dengan aksi-aksi protes damai maupun kekerasan dari rakyat Palestina, seperti demonstrasi massa, mogok umum, pembakaran ban,

lemparan batu, dan serangan terhadap pasukan dan pemukim Israel. Israel berusaha menekan pemberontakan dengan kekerasan, seperti penembakan, penangkapan, pembunuhan, dan penghukuman kolektif.

Intifadhah Pertama berlangsung selama enam tahun, dan menghasilkan sekitar 2.000 korban jiwa Palestina dan 160 korban jiwa Israel. Pemberontakan ini juga membuka jalan bagi dialog damai antara Israel dan PLO, yang mengakui eksistensi satu sama lain pada 1993. Dialog ini menghasilkan Kesepakatan Oslo, yang merupakan sebuah rencana untuk memberikan otonomi terbatas kepada Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan untuk menyelesaikan isu-isu final seperti status Yerusalem, pengungsi Palestina, perbatasan, dan keamanan dalam lima tahun.

Namun, Kesepakatan Oslo tidak berhasil mencapai tujuan-tujuannya. Banyak rintangan dan hambatan yang mengganggu proses perdamaian, seperti pembunuhan Arafat oleh seorang ekstremis Yahudi pada 1995, pembangunan permukiman Yahudi yang terus berlanjut di wilayah Palestina, serangan terorisme oleh kelompok-kelompok radikal Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam, dan ketidakpercayaan dan ketegangan antara kedua belah pihak.

Pada tahun 2000, sebuah kunjungan kontroversial oleh pemimpin oposisi Israel Ariel Sharon ke kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur, yang merupakan tempat suci bagi umat Islam dan Yahudi, memicu kemarahan dari rakyat Palestina. Kunjungan ini memicu pemberontakan kedua yang lebih keras dan lebih berdarah daripada yang pertama. Pemberontakan ini dikenal sebagai Intifadhah Kedua atau Intifadhah Al-Aqsa.

Intifadhah Kedua ditandai dengan aksi-aksi kekerasan yang lebih intens dan lebih mematikan dari rakyat Palestina, seperti pengeboman bunuh diri, penembakan roket, dan serangan pisau. Israel juga meningkatkan tindakan represifnya, seperti pembunuhan target, pengepungan kota-kota Palestina, pembangunan tembok pemisah di Tepi Barat, dan invasi militer ke Jalur Gaza.

Intifadhah Kedua berlangsung selama lima tahun, dan menghasilkan sekitar 4.000 korban jiwa Palestina dan 1.000 korban jiwa Israel. Pemberontakan ini juga mengakhiri proses perdamaian Oslo, dan meninggalkan situasi yang lebih buruk daripada sebelumnya.

Munculnya Hamas dan Perpecahan Palestina

Salah satu akibat dari Intifadhah Kedua adalah munculnya Hamas sebagai kekuatan politik dan militer utama di Palestina. Hamas adalah sebuah kelompok Islamis yang didirikan pada 1987 sebagai cabang dari Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslim), sebuah gerakan Islam transnasional yang berpusat di Mesir. Hamas memiliki tujuan untuk menggantikan Israel dengan negara Islam di seluruh wilayah Palestina.

Hamas berbeda dengan PLO dalam hal ideologi, strategi, dan sumber dukungan. Hamas menolak untuk mengakui Israel atau berdamai dengannya. Hamas juga lebih mengandalkan serangan terorisme daripada negosiasi politik. Hamas juga mendapatkan dukungan dari Iran, Turki, Qatar, dan kelompok-kelompok Islam lainnya.

Pada tahun 2006, Hamas berhasil memenangkan pemilihan umum legislatif di Palestina dengan mayoritas suara. Kemenangan ini mengejutkan dunia internasional, termasuk Israel dan PLO. Israel dan negara-negara Barat menolak untuk bekerja sama dengan Hamas, kecuali jika Hamas mengubah sikapnya terhadap Israel. PLO juga merasa tersaingi oleh Hamas, dan mencoba untuk mempertahankan posisinya sebagai wakil resmi rakyat Palestina.

Hal ini menyebabkan konflik internal antara Hamas dan PLO (yang dipimpin oleh faksi Fatah). Konflik ini mencapai puncaknya pada tahun 2007, ketika Hamas mengambil alih kekuasaan di Jalur Gaza dengan kekerasan, dan mengusir Fatah dari sana. Sejak itu, Palestina terpecah menjadi dua wilayah yang berbeda: Tepi Barat yang dikuasai oleh Fatah, dan Jalur Gaza yang dikuasai oleh Hamas.

Situasi Terkini dan Upaya Perdamaian

Situasi konflik antara Israel dan Palestina saat ini masih belum menemukan jalan keluar. Israel masih menduduki dan mengontrol wilayah-wilayah Palestina, dan masih membangun permukiman Yahudi ilegal di sana. Palestina masih belum memiliki negara yang berdaulat dan merdeka, dan masih mengalami krisis kemanusiaan, ekonomi, dan politik.

Meskipun ada beberapa upaya perdamaian yang dilakukan oleh pihak-pihak internasional, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia, dan PBB, namun upaya-upaya ini belum berhasil mencapai solusi yang adil dan permanen. Beberapa hambatan yang menghalangi perdamaian antara lain adalah:

  • Status Yerusalem, yang diklaim oleh kedua belah pihak sebagai ibu kota mereka, tetapi diakui oleh sebagian besar negara sebagai wilayah yang diduduki oleh Israel.
  • Nasib pengungsi Palestina, yang berjumlah sekitar lima juta orang, dan menuntut hak untuk kembali ke tanah asal mereka atau mendapatkan kompensasi.
  • Perbatasan antara Israel dan Palestina, yang belum ditetapkan secara resmi, dan dipersengketakan oleh kedua belah pihak.
  • Keamanan bagi Israel dan Palestina, yang saling merasa terancam oleh keberadaan satu sama lain, dan sering terjadi bentrokan dan serangan.

Konflik antara Israel dan Palestina adalah sebuah konflik yang kompleks dan bersejarah. Konflik ini tidak hanya melibatkan dua negara, tetapi juga melibatkan banyak faktor lain, seperti agama, etnis, budaya, geopolitik, dan hak asasi manusia. Konflik ini juga memiliki dampak besar bagi kawasan Timur Tengah dan dunia internasional.

Untuk menyelesaikan konflik ini, diperlukan komitmen dan kerjasama dari semua pihak yang terlibat, baik dari dalam maupun dari luar. Diperlukan juga sikap saling menghormati dan mengakui hak-hak satu sama lain. Diperlukan juga solusi yang adil dan permanen, yang dapat memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi semua orang.

Share This Article