jfid – Siapa yang tidak geram terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) itu berarti komunis sejati. Atau kemungkinan besar, mereka termasuk simpatisan Komunis dan tak terkena alergi isu-isu berantakan di masyarakat Indonesia saat ini. Itulah statment awal saya untuk membuka sesi tulisan kali ini, berkenaan dengan “Mengenang Gerakan Riset D.N. Aidit di Jawa Timur Bersama Kader Komunis Indonesia”.
Pada tahun 1964 (kongres PKI yang ke-44 di Surabaya) satu tahun sebelum peristiwa besar memalukan sepanjang sejarah Indonesia dan dunia. Yang kita kenal dengan peristiwa G30S PKI. Dapatkah kita menduga siapa dan kelompok mana yang tidak bangga dengan PKI? Karena gerakan sosial, politik, dan ekonominya yang progresif serta revolusioner.
Rakyat kita di masa itu banyak menoleh pada PKI sambil mendengarkan dengan seksama alunan perkataan D.N. Aidit saat berpidato di atas mimbar. Lihat kongres PKI yang bertempat di Surabaya pada tanggal 23 Mei 1946.
Kita tidak perlu heran, jika PKI mendapat perhatian besar oleh jutaan rakyat Indonesia. Baik buruh, partai-partai, otoritet sivil, bahkan militer pada saat itu, walaupun saat ini kita mengutuk dan meludahkan PKI lebih jijik dari anjing najis. Tapi dulu mereka besar sumbangsihnya terhadap Republik Indonesia, dan kita saat itu bangga atas kehadirannya.
Saya menuliskan artikel opini ini bukan berarti saya penganut ajaran Komunisme, apalagi sebagai simpatisan PKI. Tidak, sekali lagi tidak. Saya penganut ajaran Marhaenisme dan Sosialisme, sebagaimana Pancasila juga merupakan Weltanschauung kebanggaan saya sebagai bangsa Indonesia. Tentu saja saya juga penganut ajaran Rosulullah Muhammad, dan Islam sebagai agama kepercayaan saya.
Artikel opini ini bertujuan sebagai sarana untuk memberi tahu apa saja yang telah dikerjakan D.N. Aidit bersama-sama kader PKI saat itu. Tentu saja, juga agar dapat kita mengambil maksud baik mereka di masa lalu untuk dapat dikerjakan di kondisi bangsa Indonesia yang sangat perlu diprihatinkan ini.
Diabad ke 20-an, PKI merupakan organisasi partai yang terhitung progres membangkitkan gerakan petani desa dan buruh kota. Apalagi di kawasan Jawa, terkhusus di Jawa Timur. Riset PKI amat mengherankan instansi-instasi, sehingga PKI menjadi focus perhatian untuk difitnah.
Fitnah-fitnah membanjiri dari instansi resmi ke isntansi lain, karena PKI dengan ketuanya D.N. Aidit dan anggotanya dapat melakukan riset dengan baik tentang kaum tani dan gerakannya di daerah Jawa Timur.
Dalam kurun lebih lima Minggu, dengan bantuan 1500 petugas riset, maka 70 kecamatan di Jawa Timur menunjukkan hasil yang membanggakan. Itu semua juga berkat bantuan soko guru revolusi nasional yaitu kaum tani.
Pekerjaan riset PKI juga disokong dari banyak kalangan termasuk wartawan, sarjana, mahasiswa, dan pelajar-pelajar sekolah menengah upaya membantu kegiatan PKI yaitu ‘gerakan turun desa’.
Pekerjaan yang mulia tersebut ternyata bukan mengundang nasib baik dari beberapa instansi. Sebagaimana yang dikatakan oleh D.N. Aidit saat berpidato di kongres PKI, ia mengatakan “Hanya kaum Komunisto-phobi, kaum kontra revolusioner dan “setan-setan desa”, yaitu: tuan tanah jahat, penguasa jahat dan bandit-bandit desa yang ketakutan setengah mati pada pengenalan dan pembongkaran-pembongkaran perbuatan-perbuatan jahat mereka terhadap kaum tani dan terhadap Republik Indonesia”, tukas D.N. Aidit dalam buku ‘Jadilah Komunis yang Baik dan Lebih baik lagi” terbitan tahun 1964.
Pekerjaan riset mulia oleh D.N. Aidit dan PKI yang telah dilakukan di masa lalu itu, justru tidak banyak ditiru oleh partai-partai dan organisasi-organisasi saat ini, yang mengatasnamakan Pancasila di belakangnya.
Kita hanya banyak berkoar-koar atas penderitaan rakyat dan berani mengaku wakil rakyat di forum-forum. Kelas-kelas kekuasaan, hanya untuk menunjukkan siapa dan golongan apa yang lebih hebat diantara kita. Tetapi kita tidak lagi banyak mengerjakan maksud esensi Pancasila yang sebenarnya, dengan mempraksiskan sila-sila di dalam Pancasila.
Itulah yang dapat saya tulis sebagai sumbangan kecil upaya mengulang kembali cerita hebat di balik catatan sejarah yang telah kita adili dengan kejam, padahal mereka juga salah satu pembangun bangsa Indonesia hingga kita merdeka sebagai bangsa.
Tentang Penulis: Faidi Ansori, Agen Intelektual jurnalfaktual.id. Penulis 2 Buku. Homo Digitalis dan Marsisme, Nasionalisme, Ala Indonesia.