Papua tak Butuh Senjata

Faidi Ansori
8 Min Read
Ilustrasi Masyarakat Papua Ingin Merdeka
Ilustrasi Masyarakat Papua Ingin Merdeka

jfid – Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan organisasi yang tetap eksis sampai sekarang, dan dianggap sebagai salah satu oraganisasi separatis diatara banyak oraganiasi yang mau merdeka dari Induknya, Indonesia. Namun, walupun demikian pemerintah harus tegas, sebab, aksi tersebut bukanlah aksi spontanitas, tetapi merupakan aksi terencana.

Upaya bertindak serius kepada pemerintahan, OPM justru semakin gencar dengan gerakan-gerakannya. Oleh karena itu, tindakan brutal OPM mendapatkan tanggapan serius dari Harits Abu Ulya sebagai Pengamat Intelejen dan Terorisme dari CIIA agar pemerintah lebih hati-hati terhadap tindakan-tindakan OPM yang selama ini terkesan sebagai gerakan separatis.

Sebagaimana dilansir di media https://www.republika.co.id/, ”Aksi brutal pembunuhan yang dilakukan kelompok separatis OPM bukanlah aksi spontanitas. Aksi yang sudah direncanakan untuk mencapai target-target kepentingan mereka,” jelas Harits (06/12/2018).

Selain itu OPM juga dikatagorikan sebagai organisasi teroris oleh lembaga Legislatif. Dengan itu tidak heran jika gerakan-gerakan OPM diusulkan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) ke lembaga internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk masuk kedalam daftar kelompok teroris.

Dalam hal ini terbukti ketika Tirto.id merilis berita yang berisikan bahwa, Ketua DPR-RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengusulkan agar Organisasi Papua Merdeka (OPM) dimasukkan dalam daftar organisasi teroris. (Haris Prabowo, https://tirto.id, di unduh 1 Juli 2019).

Konstalasi politik nasional mengerucut pada munculnya gerakan OPM tersebut, oleh sebab itu Bambang Soesatyo menjelasan, ”Kami sebenarnya mendorong juga kepada Pemerintah, kalau berdasarkan dengan definisi PBB apa yang dilakukan kelompok bersenjata, OPM, ini adalah gerakan teroris dan [Indonesia bisa] mendorong kepada PBB agar [menetapkan] OPM ini adalah organisasi terorisme,” saat ditulis media Tirto.id, (13/12/2018).

Gerakan-gerakan OPM juga banyak ditulis dibeberapa media sebagai katagori kelompok teroris, diatara lain juga ditulis dimedia https://www.cnnindonesia.com. Dalam hal ini dengan nama yang sama, Bambang Soesatyo menuturkan bahwa Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai pembunuh brutal dengan meneror masayarakat sipil.

“Sebagai definisi PBB itu sendiri, mereka telah membunuh secara brutal dan meneror warga sipil tidak berdosa,” ucap Bambang (13/12/2018).

Pemberontakan terjadi dimana-mana oleh OPM bukan berarti tanpa alasan jelas dan logis, namun sebenarnya mereka menuntut kemerdekaan masyarakat Papua, karena selama ini mereka tidak merasakan apa yang menjadi haknya.

Sebagaimana yang dimuat di media https://www.bbc.com, ”TPNBP tidak akan menyerah dengan alasan apa pun sebelum kemerdekaan bangsa Papua terwujud dari penjajahan Indonesia,” demikian ujar Sebby juru bicara komando nasional TPNBP. (13/12/2018).

Tidak hanya itu, soal-soal kemerdekaan masyarakat Papua juga terucap dari Alowisius Mamo, Ketua Himpunan Masiswa Papua (HIMAPA), Universitas Trunojoyo Madura (UTM). “Otomatis mereka-mereka (Masyarakat Papua) pengen merdeka,” tukasnya dengan nada serius, (06/07/2019).

Alo atau yang akrab dipanggil Bung Alo menerangkan dengan tegas. Bahwa, kemerdekaan yang dimaksud juga diharapkan bisa dalam segala sektor, termasuk juga kemerdekaan individu, kebudayaan, dan bahkan Negara.

“Menurut pandangan saya, kemerdekaan dalam segala hal, entah itu kemerdekaan individu, kemerdekaan dan kebudayaan, dan segala macam, merdeka, bahkan bisa itu jadi negara kalau itu pantas,” tukasnya.

Jelas sekali bahwa dalam hal ini, ada beberapa hal yang menjadi sebab masyarakat Papua ingin merdeka dari Indonesia, juga pada munculnya gerakan-gerkan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Tidak bisa dipungkiri persoalan sejarah menjadi sangat penting dalam latar belakang munculnya OPM di bumi Cendrawasih tersebut. Seperti yang diterangkan oleh Yudhi Rachman, S.Sos., M.Sosio salah satu dosen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB), Universitas Trunojoyo Madura (UTM) sekaligus peneliti sosial. Dia menjelaskan bahwa, masuknya Papua ke Ibu Pertiwi sebenarnya karena kekalahan diplomasi Belanda di Meja Bundar Internasional terhadap Indonesia.

“Upaya Jalan dengan diplomasi akhirnya Belanda kalah, secara politik kalah di sidang PBB, kemudian harus pergi, kemudian ada Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Papua. Secara politik dimenangkan Indonesia,” ujar Yudhi, (6/07/2019).

Kemenangan Indonesia atas Belanda mengundang memunculkan faksi-faksi dikalangan masyarakat Papua sendiri, “Secara politik sudah dimenangkan Indonesia, kemudian ada faksi-faksi didalam masyarakat itu yang tidak bisa menerima, kemudian bergerak menjadi kelompok-kelompok perlawanan bersenjata, dan bergenerasi-generasi” tukas Yudhi saat diwawancarai oleh reporter Faktual di Kantor Prodi Sosiologi.

Kekecewaan sejarah itulah yang sampai sekarang menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk menuntut kemerdekaan Papua atas Indonesia.

Oleh kareana itu sebagai upaya untuk memperbaiki masyarakat Papua dari tuntutan untuk merdeka. Presiden Jokowi menyampaikan akan apa yang sebenanya dinginginkan oleh masyarakat Papua.

Seharusnya masyarakat Papua harus didengar aspirasinya, juga diajak bicara dengan baik-baik apa yang sebenarnya menjadi keinginan masyarakat di sana.

Sebagaimana yang dirilis di media https://www.republika.co.id, “Saya melihat rakyat Papua tidak hanya butuh pelayanan kesehatan, tidak hanya butuh pelayanan pendidikan, tidak hanya pembangunan jalan, jembatan dan pelabuhan saja. Namun juga butuh didengar dan diajak bicara,” Tukas presiden Jokowi disaat perayaan Natal Nasional umat Kristiani di Lapangan Mandala, Jayapura, (20/12/2014).

Keprihatinan Jokowi terhadap masyarakat Papua juga dibuktikan dengan apa yang menjadi keinginan masyarakat Papua akan kepemilikan Sumber Daya Alam-nya (SDA) bisa dinikmati oleh masayarakat disana dan Indonesia pada umumnya.

Dalam hal ini sungguh sangat jelas dibeberkan di https://www.liputan6.com, “Ini torehan sejarah yang sangat penting. Setelah PT Freeport beroperasi di Indonesia sejak 1973 baru sekarang kepemilikan saham mayoritas dikuasai bangsa Indonesia. Kepemilikan mayoritas ini akan kita gunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” tukas Ace Hasan Sadzlly politisi Partai Golkar, (21/12/2018).

Freeport akan mampu mambawa Papua dan rakyat Indonesia pada umumnya untuk mencapai kesejahteraan Indonesia walaupun dengan 10 persen dari saham yang ada, dan masyarakat Papua bisa memanfatkannya dengan baik.

“Selain itu, masyarakat di Papua juga akan mendapatkan 10 persen dari saham yang ada. Tentu saja di Papua juga akan mendapatkan pajak daerahnya,” ucap Ace.

Selain itu, Presiden Jokowi mencanangkan infrastrutur di Papua dan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada, presiden juga berfikir lebih dinamis dan progresif dalam pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat Papua.

Sementara itu, kata Jokowi upaya peningkatan sumber daya manusia juga harus dilakukan dengan serius. Untuk itu, seluruh anak Papua harus dipastikan bisa bersekolah, (https://www.papua.us, di unduh 05 Juni 2019).

Pembangunan masyarakat Papua sebenarnya tidak hanya pada soal pendidikan, namun masih ada yang lain lagi untuk dibangun untuk menunjuang keinginan kesejahteraan masyarakat disana. Sehingga tidak ada lagi terjadi perang saudara dengan keberadaan gerakan-gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Oleh sebab itu Alowisius Mamo selaku mahasiswa Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB), Universitas Trunojoyo Madura (UTM), asal Buven Digoel, berharap kepada pemerintah Indonesia, bahwa rakyat Papua sebenarnya tidak butuh senjata dan tentara.

“Kami disana itu butuh guru, dokter, kami tidak butuh tentara dan senjata, kami butuh pendidikan dan kesehatan,” pintanya. (01/06/2019).

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article