jfid – Pada tahun 1692, sebuah desa kecil di Massachusetts menjadi saksi bisu dari salah satu peristiwa paling mengerikan dalam sejarah Amerika. Sebuah gelombang histeria dan ketakutan melanda penduduk Salem, yang percaya bahwa ada penyihir di antara mereka yang bersekongkol dengan Iblis.
Akibatnya, ratusan orang dituduh, ditangkap, disiksa, dan diadili sebagai penyihir. Dari mereka, 19 orang dieksekusi dengan cara digantung, satu orang ditindih dengan batu, dan lima orang meninggal di penjara. Pengadilan penyihir Salem adalah contoh tragis dari ketidakadilan, kekejaman, dan fanatisme yang mengorbankan nyawa tak berdosa.
Latar Belakang
Pengadilan penyihir Salem bermula dari kejadian aneh yang dialami oleh dua anak perempuan, Elizabeth Parris dan Abigail Williams, yang merupakan putri dan keponakan dari Samuel Parris, pendeta desa Salem. Pada Januari 1692, kedua gadis itu mulai menunjukkan gejala seperti kejang, lekukan tubuh, dan berteriak-teriak tanpa alasan yang jelas.
Dokter William Griggs, yang memeriksa mereka, tidak dapat menemukan penyebab medis dari kondisi mereka, dan menyimpulkan bahwa mereka dirasuki oleh ilmu sihir. Ketika ditanya siapa yang bertanggung jawab atas hal ini, kedua gadis itu menuduh tiga orang, yaitu Tituba, seorang budak asal Karibia milik keluarga Parris, Sarah Good, seorang pengemis, dan Sarah Osborn, seorang janda tua yang jarang beribadah.
Ketiganya kemudian ditangkap dan diinterogasi oleh hakim lokal. Dari ketiganya, hanya Tituba yang mengaku sebagai penyihir, dan mengklaim bahwa ada lebih banyak penyihir di Salem yang bekerja untuk Iblis. Pengakuannya ini memicu kepanikan di kalangan warga, yang mulai mencurigai dan menuduh satu sama lain sebagai penyihir.
Kronologi
Pada Februari 1692, Gubernur William Phips menunjuk sebuah pengadilan khusus untuk menyidangkan kasus-kasus penyihiran di Salem dan sekitarnya. Pengadilan ini terdiri dari tujuh hakim, yang dipimpin oleh William Stoughton, seorang politisi dan hakim yang dikenal sebagai orang yang keras dan tidak toleran. Pengadilan ini menggunakan metode-metode yang tidak adil dan tidak ilmiah untuk menentukan kebenaran dari tuduhan-tuduhan tersebut, seperti tes air, tes berat, dan tes luka.
Tes air adalah tes di mana tersangka diikat dan dilemparkan ke dalam air. Jika mereka tenggelam, berarti mereka tidak bersalah, tetapi jika mereka mengapung, berarti mereka bersalah. Tes berat adalah tes di mana tersangka ditimbang dengan sebuah buku yang berisi hukum-hukum Tuhan.
Jika mereka lebih ringan dari buku, berarti mereka bersalah, tetapi jika mereka lebih berat, berarti mereka tidak bersalah. Tes luka adalah tes di mana tersangka disuntik dengan jarum di tempat-tempat yang diduga sebagai tanda-tanda penyihiran. Jika mereka merasakan sakit, berarti mereka tidak bersalah, tetapi jika mereka tidak merasakan apa-apa, berarti mereka bersalah.
Namun, metode yang paling sering digunakan oleh pengadilan adalah kesaksian dari para korban yang mengaku dirasuki oleh ilmu sihir. Para korban ini, yang kebanyakan adalah anak-anak dan remaja, sering berperilaku dramatis di ruang sidang, dengan berpura-pura kesakitan, pingsan, atau melihat halusinasi.
Mereka juga menunjuk-nunjuk orang-orang yang mereka tuduh sebagai penyihir, dan mengatakan bahwa mereka melihat bayangan-bayangan hitam atau hewan-hewan aneh yang mengikuti mereka. Para hakim cenderung mempercayai kesaksian-kesaksian ini, dan menganggapnya sebagai bukti yang kuat.
Mereka juga menekan para tersangka untuk mengaku sebagai penyihir, dan berjanji untuk memberikan pengampunan jika mereka melakukannya. Banyak tersangka yang akhirnya mengaku, baik karena takut, putus asa, atau harapan untuk selamat. Namun, pengakuan-pengakuan ini tidak selalu menjamin keselamatan mereka, karena beberapa di antaranya tetap dihukum mati.
Pada Juni 1692, pengadilan menyatakan Bridget Bishop, seorang wanita yang dikenal sebagai pemilik rumah bordil, sebagai penyihir pertama yang dihukum gantung. Eksekusinya dilakukan di Bukit Penggantungan, sebuah bukit di pinggiran Salem yang menjadi tempat eksekusi bagi para korban pengadilan penyihir.
Setelah itu, pengadilan terus menghukum gantung orang-orang yang dinyatakan bersalah sebagai penyihir, termasuk Rebecca Nurse, seorang wanita tua yang dihormati, John Proctor, seorang petani kaya, George Burroughs, seorang mantan pendeta Salem, dan Martha Corey, seorang anggota gereja yang saleh.
Pada September 1692, pengadilan mencapai puncaknya dengan menghukum gantung delapan orang sekaligus, termasuk Giles Corey, suami dari Martha Corey, yang sebelumnya ditindih dengan batu karena menolak untuk mengaku. Penggantungan delapan orang ini menjadi penggantungan terakhir yang dilakukan oleh pengadilan penyihir Salem.
Kesimpulan
Pengadilan penyihir Salem pada tahun 1692 adalah contoh tragis dari histeria, ketakutan, dan ketidakadilan yang mengakibatkan eksekusi 19 orang yang dituduh sebagai penyihir. Metode-metode yang tidak adil digunakan dalam pengadilan ini, seperti tes fisik dan kesaksian anak-anak.
Setelah berbulan-bulan teror, pengadilan dihentikan dan pengajaran berharga tentang pentingnya keadilan, toleransi, dan kebenaran ditinggalkan. Kejadian ini harus diingat sebagai peringatan akan bahaya fanatisme dan ketidakadilan dalam sejarah manusia.