jfid – Fidel Castro, tokoh utama di balik revolusi Kuba yang menggulingkan rezim diktator Fulgencio Batista pada tahun 1959, menjadi sorotan dunia ketika dia melangkahkan kakinya ke tanah New York pada tanggal 18 September 1960. Kunjungan ini bukan sembarang perjalanan; ini adalah tindakan berani yang dimaksudkan untuk membawa suara Kuba ke panggung internasional di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ke-15. Di dalam artikel ini, kita akan menyelusuri latar belakang, peristiwa, dan dampak besar yang dihasilkan oleh kunjungan epik ini.
Latar Belakang
Pada akhir 1950-an, Kuba adalah medan pertempuran bagi perubahan sosial dan politik yang tak terhindarkan. Fidel Castro, bersama dengan rekan-rekannya, memimpin revolusi yang menggulingkan rezim diktator Batista pada tahun 1959. Namun, perubahan ini tidak disambut dengan baik oleh Amerika Serikat (AS). Pemerintah AS khawatir tentang perubahan politik dan sosial yang berkembang pesat di Kuba, dan mereka mulai mengambil berbagai tindakan untuk merongrong pemerintahan Castro, termasuk sanksi ekonomi dan upaya untuk mendukung kelompok oposisi.
Kedatangan Castro di New York
Pada tanggal 18 September 1960, Fidel Castro tiba di Kota New York sebagai kepala delegasi Kuba dalam Sidang Umum PBB yang ke-15. Kunjungan ini adalah yang pertama kali setelah terjadinya revolusi Kuba. Castro datang dengan maksud jelas: untuk menyuarakan pandangan Kuba tentang isu-isu global, termasuk perang dingin, kolonialisme, rasisme, dan ketidakadilan sosial. Selain itu, dia ingin menegaskan kepada dunia bahwa Kuba adalah negara yang merdeka dan berdaulat, yang tak gentar menghadapi tekanan dan ancaman dari AS.
Namun, Castro tidak menghadapi perjalanan yang mulus. Dia awalnya menginap di Hotel Shelburne di Manhattan, tetapi manajemen hotel mendakwanya tidak membayar tagihan sebesar $10.000 dan meminta dia untuk pindah. Castro menolak tuduhan tersebut dan mengklaim bahwa dia menjadi korban diskriminasi dan konspirasi yang dilancarkan oleh pemerintah AS dan media massa. Akibatnya, dia memutuskan untuk pindah ke Hotel Theresa di Harlem, sebuah lingkungan yang mayoritas penduduknya adalah orang kulit hitam. Di sini, dia diterima dengan tangan terbuka oleh warga setempat, yang sangat menghormati perjuangannya melawan imperialisme dan rasisme. Castro merasa nyaman di Harlem, merasakan kesamaan perjuangan dengan orang-orang kulit hitam yang juga menderita diskriminasi dan penindasan.
Pertemuan Bersejarah
Di Hotel Theresa, Castro bertemu dengan tokoh-tokoh berpengaruh, termasuk Malcolm X, pemimpin gerakan hak-hak sipil kulit hitam; Gamal Abdel Nasser, presiden Mesir; Nikita Khrushchev, pemimpin Uni Sovyet; dan Jawaharlal Nehru, perdana menteri India. Mereka semua adalah sekutu atau pendukung Castro dalam perjuangannya melawan imperialisme dan kolonialisme. Mereka juga memperdebatkan isu-isu global seperti perang dingin, krisis Timur Tengah, gerakan non-blok, dan solidaritas antara negara-negara berkembang.
Salah satu momen puncak kunjungan Castro adalah pidatonya di PBB pada tanggal 26 September 1960. Durasi pidato ini mencapai 4 jam 29 menit, yang merupakan rekor sebagai pidato terpanjang dalam sejarah Sidang Umum PBB. Di pidatonya, dia mengkritik keras kebijakan luar negeri AS, terutama dukungannya terhadap Batista dan campur tangan AS di Amerika Latin. Dia mengutuk embargo ekonomi AS terhadap Kuba sebagai “agresi tak berperikemanusiaan” dan menyerukan penghormatan terhadap hak dan kedaulatan Kuba sebagai negara merdeka. Selain itu, dia menyatakan solidaritasnya dengan gerakan-gerakan pembebasan nasional di Afrika, Asia, dan Timur Tengah, serta mengajukan wawasan tentang dunia yang lebih adil, damai, dan bersaudara.
Reaksi Dunia Terhadap Pidato Castro
Pidato Castro di PBB mendapat reaksi yang beragam dari peserta sidang. Beberapa negara, terutama yang tergabung dalam blok komunis dan non-blok, memberikan tepuk tangan dan dukungan kepada Castro. Mereka menghargai keberanian dan ketegasannya dalam mendukung aspirasi dan kepentingan bangsa-bangsa kecil dan miskin. Pidato Castro juga dianggap sebagai tantangan terhadap dominasi dan hegemoni AS di dunia. Namun, negara-negara lain, terutama yang beraliran Barat dan dari Amerika Latin, memberikan protes dan kecaman terhadap pidato tersebut. Mereka melihatnya sebagai provokasi dan penghinaan terhadap AS, yang menjadi tuan rumah sidang PBB. Sebagian besar dari mereka menuduh Castro sebagai seorang diktator komunis yang melanggar hak asasi manusia dan demokrasi di Kuba, dan meragukan kredibilitas serta konsistensi Castro dalam hal anti-imperialisme dan anti-kolonialisme.
Dampak Besar
Kunjungan Fidel Castro ke New York pada tahun 1960 memiliki dampak yang signifikan, baik bagi pendukungnya maupun bagi penentangnya. Bagi beberapa orang, dia adalah pemimpin revolusioner yang berani dan karismatik, yang berjuang untuk kemerdekaan dan keadilan bagi rakyatnya. Dia menjadi sumber inspirasi dan panutan bagi banyak gerakan sosial dan politik di seluruh dunia, terutama di kalangan orang kulit hitam, mahasiswa, pekerja, petani, dan kaum muda.
Namun, bagi yang lain, dia adalah seorang diktator komunis yang bermusuhan dan provokatif, yang dianggap mengancam keamanan dan kepentingan AS. Dia menjadi sasaran dan musuh bagi banyak pihak yang anti-komunis dan pro-AS, terutama di kalangan orang-orang Kuba di pengasingan, politisi konservatif, militer, bisnis, dan media.
Dampak Terhadap Hubungan AS-Kuba
Kunjungan ini juga memiliki dampak besar pada hubungan antara AS dan Kuba, yang semakin memburuk hingga mencapai puncaknya pada tahun 1962. Setelah kunjungan Castro, AS memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuba dan menutup kedutaan besar mereka di Havana. AS juga mendukung serbuan yang gagal oleh kelompok Kuba di pengasingan di Teluk Babi, di bagian barat-daya Kuba. Castro mengumumkan Kuba sebagai negara Komunis dan mulai bersekutu dengan Uni Sovyet.
Krisis Misil Kuba meletus ketika AS menemukan bahwa Uni Sovyet telah menempatkan rudal nuklir di Kuba. AS menghadapinya dengan memberlakukan blokade angkatan laut terhadap Kuba dan menuntut agar Uni Sovyet menarik rudalnya. Setelah beberapa hari ketegangan tinggi, Uni Sovyet setuju untuk melakukannya dengan syarat AS tidak menginvasi Kuba dan menarik rudalnya dari Turki. AS juga memberlakukan embargo ekonomi total terhadap Kuba, melarang semua perdagangan dan perjalanan ke pulau tersebut.
Hubungan antara AS dan Kuba tetap tegang selama beberapa dekade berikutnya, meskipun ada beberapa upaya untuk meningkatkan kerjasama di bidang kesehatan, lingkungan, dan bantuan kemanusiaan. AS juga mengizinkan beberapa kategori orang untuk melakukan perjalanan ke Kuba, seperti keluarga, wartawan, dan akademisi. Pada tahun 2014, Presiden AS Barack Obama dan Presiden Kuba Raul Castro mengumumkan niat mereka untuk memulai proses normalisasi hubungan diplomatik antara kedua negara. Pada tahun 2015, AS dan Kuba secara resmi membuka kembali kedutaan besar mereka di ibu kota masing-masing. Pada tahun 2016, Presiden Obama melakukan kunjungan bersejarah ke Kuba, menjadi presiden AS pertama yang mengunjungi pulau tersebut dalam lebih dari 50 tahun.
Namun, pada tahun 2017, Presiden AS Donald Trump menggantikan Obama dan mengancam akan membatalkan kesepakatan normalisasi dengan Kuba jika tidak ada perubahan yang signifikan dalam hal hak asasi manusia dan demokrasi di pulau tersebut. Trump juga membatasi perjalanan individu ke Kuba dan melarang transaksi dengan entitas militer atau intelijen Kuba.
Kesimpulan
kunjungan Fidel Castro ke New York pada tahun 1960 adalah sebuah peristiwa bersejarah yang memiliki dampak besar pada sejarah dunia. Kunjungan ini mencerminkan pandangan dunia Castro tentang isu-isu global, menantang dominasi AS, dan memengaruhi hubungan AS-Kuba yang tetap tegang hingga saat ini. Bagi sebagian orang, dia adalah sosok pemimpin revolusioner yang berjuang untuk kemerdekaan dan keadilan, sementara bagi yang lain, dia dianggap sebagai seorang diktator komunis yang bermusuhan. Kunjungan ini juga menciptakan ketegangan besar dalam hubungan internasional. Sebagai hasilnya, kunjungan ini tidak akan terlupakan dalam sejarah dunia.