Perang Ketupat: Tradisi Unik Desa Tempilang yang Berasal dari Penyerahan Kelompok Lanun

ZAJ
By ZAJ
3 Min Read

jfid – Pada suatu hari yang cerah di Desa Tempilang, sebuah desa kecil yang terletak di Pulau Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, penduduk desa sedang mempersiapkan diri untuk sebuah perayaan besar.

Mereka sedang mempersiapkan diri untuk “Perang Ketupat”, sebuah tradisi unik yang telah berlangsung selama ratusan tahun.

Tradisi ini bermula dari penyerahan kelompok Lanun, yang merupakan bajak laut. Tujuan dari tradisi ini adalah untuk membuang penyakit dan tolak bala. Perang ketupat ini dilaksanakan pada hari ketujuh setelah Nisfu Syaban, atau sebelum datangnya bulan suci Ramadan.

Sejarah Perang Ketupat

Perang Ketupat disebut telah berlangsung sejak dahulu secara turun-temurun. Berdasarkan cerita tokoh masyarakat, tradisi Perang Ketupat ini sudah ada ketika Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883.

Tradisi ini berawal dari penyerahan kelompok Lanun, yang merupakan bajak laut. Lanun adalah bajak laut yang datang untuk menjarah hasil bumi Bangka Belitung, yakni bijih timah. Mereka menyerang benteng Kota Tempilang, yang kini menjadi situs sejarah.

Perayaan Perang Ketupat

Perayaan ini biasa digelar setiap masuk Tahun Baru Islam (1 Muharam) di Pantai Tempilang, Desa Tempilang, Kabupaten Bangka Barat. Selain itu, acara ini juga digelar dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan.

Perang Ketupat memakan waktu selama dua hari. Pada hari pertama, upacara dimulai pada malam hari dengan menampilkan beberapa tarian tradisional mengiringi sesaji untuk makhluk halus yang diletakkan di atas penimbong atau rumah-rumah yang dibuat dari kayu menangor.

Pada hari kedua, sebelum dimulainya upacara Perang Ketupat, masyarakat Tempilang lebih dulu menyelenggarakan acara Nganggung di Masjid Jami’ Tempilang. Selanjutnya, upacara Perang Ketupat dilakukan di Pantai Pasir Kuning.

Makna Perang Ketupat

Simbol dan makna dalam tradisi Perang Ketupat adalah ketupat yang mempunyai makna persatuan, kesatuan, kesadaran, dan kegotongroyongan. Asal mula tradisi ini berawal dari banyaknya anak gadis asal Desa Tempilang yang diambil dan dimakan siluman buaya.

Tradisi ini memiliki tujuan untuk meminta keselamatan dan perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar terhindar dari hal-hal yang tak diinginkan.

Ketupat ini memiliki simbol/makna persatuan, kesatuan, kesadaran, dan kegotongroyongan, sesaji yang memiliki makna satu kekeluargaan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga terciptanya kehidupan bersama.

Kesimpulan

Perang Ketupat di Desa Tempilang adalah sebuah tradisi unik yang berasal dari penyerahan kelompok Lanun. Tradisi ini dilaksanakan dengan tujuan untuk membuang penyakit dan tolak bala.

Meski tradisi ini telah berlangsung selama ratusan tahun, semangat dan antusiasme masyarakat Desa Tempilang dalam merayakan Perang Ketupat tetap tinggi.

Mereka percaya bahwa dengan menjalankan tradisi ini, mereka akan mendapatkan perlindungan dan keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article