jfid – Ratusan pegawai honorer yang tergabung dalam Aliansi Honorer Bersatu Bangkalan menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bangkalan, Senin (17/2/2025).
Mereka menuntut perhatian lebih terhadap kesejahteraan, khususnya terkait honor yang diterima dan kewajiban pembayaran iuran BPJS. Para honorer mengeluhkan bahwa honor yang mereka terima saat ini turun dari Rp1.250.000 menjadi Rp930.000, jauh di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) Bangkalan tahun 2025 sebesar Rp2.397.550.
Selain itu, mereka juga menolak kewajiban pembayaran iuran BPJS Ketenagakerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemberi kerja.
Sebelumnya, pada 13 Februari 2025, terjadi insiden di kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Madura, di mana pegawai honorer Pemkab Bangkalan nyaris terlibat keributan dengan staf BPJS saat mempertanyakan prosedur pencairan Jaminan Hari Tua (JHT). Insiden ini menambah ketegangan antara pegawai honorer dan pihak BPJS.
Perwakilan honorer Dinas kominfo Bangkalan Andi Azis menyampaikan, pihaknya menyebut bahwa pengabdiannya ke Pemkab Bangkalan sudah sekitar 20 tahun lamanya, namun soal upah masih saja tak bertambah, yang ada malah di potong.
“Kami meminta agar upah kami disetarakan dengan upah minimum kabupaten (UMK) Bangkalan,” ujarnya usai menggelar aksi unjuk rasa.
Selain itu, Azis juga meminta agar Pemkab menuntaskan pengangkatan tenaga honorer menjadi PPPK penuh waktu. Mereka juga menolak rekrutmen CPNS dan PPPK dari formasi umum hingga semua honorer tuntas diangkat.
Menanggapi itu, Sekretaris Komisi I DPRD Bangkalan Nur Hakim mengatakan, salah satu penyebab protes yang dilakukan oleh pegawai Honorer ini, karena pencarian Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan tidak bisa dicairkan dengan alasan SK.
Padahal, berdasarkan syarat yang sudah ia telusuri, hal itu hanya untuk tenaga honorer yang minimal sudah 10 tahun bekerja, sementara mereka sudah 20 tahun mengabdi di Bangkalan. “Nanti akan kami panggil BPJS soal ini,” ucap Hakim.
Berkaitan dengan permintaan perekrutan menjadi pegawai penuh waktu, lanjut Hakim, itu bergantung kebijakan pemerintah pusat sebab pemerintah daerah hanya mampu mengajukan formasi saja.
“Kebijakan pengangkatan ini selalu berubah-ubah, jadi kami tidak bisa berbuat banyak, tapi akan kami sampaikan,” lanjutnya.
Selain itu, Nur Hakim bersama anggota Komisi I yang lain berkomitmen, akan selalu berada di belakang para tenaga honorer dan akan memperjuangkan aspirasi tersebut meskipun keputusan akhir bukan di tangan mereka.
(faiq/jfid)