Xi Jinping: China Siap Menjadi ‘Mitra dan Sahabat’ AS di Timur Tengah, Maksudnya?

Rasyiqi
By Rasyiqi
5 Min Read
Xi Jinping: China Siap Menjadi ‘mitra Dan Sahabat’ As Di Timur Tengah, Maksudnya?
Xi Jinping: China Siap Menjadi ‘mitra Dan Sahabat’ As Di Timur Tengah, Maksudnya?

jfid – China dan Amerika Serikat (AS) adalah dua negara adidaya yang memiliki banyak kepentingan bersama dan bersaing di Timur Tengah.

Dalam pertemuan virtual pertama mereka sejak Presiden Joe Biden menjabat, Presiden China Xi Jinping menyatakan kesiapannya untuk memperbaiki hubungan dengan AS dengan prinsip saling menghormati, hidup berdampingan, dan kerjasama saling menguntungkan.

Pertemuan ini diharapkan dapat meredakan ketegangan yang meningkat antara kedua negara, terutama terkait isu-isu seperti Taiwan, Ukraina, perdagangan, hak asasi manusia, dan perubahan iklim.

Selain itu, pertemuan ini juga berpotensi membuka peluang untuk kerjasama di Timur Tengah, sebuah wilayah yang penting bagi keamanan dan ekonomi kedua negara.

China dan Amerika Serikat memiliki banyak kepentingan bersama di Timur Tengah. Salah satunya adalah menjaga kelancaran aliran energi dan perdagangan melalui jalur air strategis seperti Teluk Persia dan Laut Merah.

China, sebagai pembeli minyak terbesar dari Arab Saudi, memiliki kepentingan ekonomi yang kuat di wilayah tersebut. Sementara itu, Amerika Serikat berkomitmen untuk menjaga keamanan dan stabilitas kawasan.

Keduanya juga memiliki tujuan bersama dalam melawan terorisme dan mencegah risiko dari kelompok ekstremis bersenjata.

China menganggap terorisme dan ekstremisme Islam sebagai ancaman keamanan nasional, terutama di provinsi Xinjiang, sedangkan Amerika Serikat memiliki kepentingan untuk melawan kelompok seperti ISIS dan Al-Qaeda guna melindungi kepentingan dan sekutu-sekutunya di kawasan.

Selain itu, mencegah penyebaran senjata pemusnah massal juga menjadi fokus bersama.

China, sebagai penandatangan Perjanjian Nuklir Iran 2015, berusaha untuk menghentikan program nuklir Iran yang diduga memiliki tujuan militer.

Amerika Serikat, setelah keluar dari perjanjian tersebut di bawah pemerintahan Trump, juga memiliki keinginan untuk kembali ke perjanjian tersebut.

Kedua negara juga memiliki kepentingan dalam mengakhiri konflik dan membangun kembali negara-negara yang hancur di Timur Tengah. China, yang kehilangan investasi akibat perang sipil di Libya, telah mencoba berperan sebagai mediator dalam konflik-konflik internal di kawasan.

Amerika Serikat, sementara itu, ingin mengakhiri keterlibatannya dalam konflik seperti di Afghanistan, Irak, dan Suriah, serta mendukung proses perdamaian dan rekonsiliasi.

Pentingnya mendorong stabilitas regional dan menurunkan konflik antar-negara juga menjadi titik kesamaan antara China dan Amerika Serikat. Keduanya ingin menghindari perang regional yang dapat mengganggu kepentingan dan kesejahteraan mereka.

China telah berhasil mendamaikan Arab Saudi dan Iran, sedangkan Amerika Serikat telah memfasilitasi normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab.

Namun, ada juga perbedaan kepentingan antara China dan Amerika Serikat di Timur Tengah. China memiliki hubungan pragmatis dengan negara-negara yang dianggap sebagai musuh atau ancaman oleh Amerika Serikat, seperti Iran, Suriah, dan Turki.

China juga tidak terlalu memprioritaskan isu-isu seperti hak asasi manusia, demokrasi, dan reformasi politik yang menjadi fokus Amerika Serikat.

Sebaliknya, Amerika Serikat memiliki hubungan lebih erat dengan negara-negara yang dianggap sebagai sekutu atau mitra oleh China, seperti Israel, Arab Saudi, dan Mesir.

Komitmen Amerika Serikat untuk melindungi kepentingan dan keamanan negara-negara tersebut terkadang bertentangan dengan kepentingan dan keamanan China.

Selain itu, terdapat persaingan antara China dan Amerika Serikat dalam mempengaruhi dan memperoleh keuntungan dari sumber daya dan pasar kaya di Timur Tengah.

China menjadi investor asing terbesar di kawasan yang tidak stabil, menggunakan inisiatif Belt and Road sebagai cara untuk mengurangi dominasi Barat-AS secara damai.

Sementara itu, Amerika Serikat berusaha mempertahankan keunggulan dan kehadirannya di wilayah yang telah lama menjadi wilayah pengaruhnya.

Oleh karena itu, China dan AS perlu mencari cara untuk bekerja sama di bidang-bidang yang dapat memberikan manfaat bersama, sekaligus mengelola perbedaan dan persaingan di bidang-bidang yang dapat menimbulkan konflik.

Pertemuan antara Xi dan Biden dapat menjadi langkah awal untuk membangun kepercayaan dan konsensus, serta mengambil langkah-langkah aktif untuk mendorong hubungan China-AS ke arah yang positif. Hal ini tidak hanya akan baik bagi kedua negara, tetapi juga bagi dunia.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article