jfid – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menghadapi gugatan uji materi terkait syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) untuk Pemilu 2024.
Gugatan ini dilayangkan oleh seorang mahasiswa yang merasa tidak puas dengan putusan MK sebelumnya yang menambahkan frasa “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah” dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Gugatan ini menimbulkan kontroversi karena diduga bermotif politik dan menguntungkan sejumlah tokoh tertentu yang berambisi menjadi capres-cawapres.
Latar Belakang Gugatan
Gugatan uji materi syarat usia capres-cawapres ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, pada Oktober 2023.
MK telah mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh Partai Garuda dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) serta beberapa pejabat lainnya yang mengusulkan agar MK mengurangi batas usia capres-cawapres menjadi 35 tahun dari awalnya 40 tahun.
MK menilai bahwa batas usia 40 tahun tidak sesuai dengan semangat konstitusi yang memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara untuk menjadi pemimpin negara.
Namun, MK juga menambahkan syarat tambahan bahwa capres-cawapres harus pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.
MK berpendapat bahwa syarat ini diperlukan untuk menjamin kualitas dan pengalaman calon pemimpin negara.
Putusan MK ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Sebagian mengapresiasi keputusan MK yang memberikan ruang bagi generasi muda untuk berpartisipasi dalam pemilu presiden.
Sebagian lagi mengkritik keputusan MK yang dianggap diskriminatif dan menguntungkan sejumlah tokoh tertentu yang memiliki latar belakang sebagai kepala daerah.
Salah satu tokoh yang disebut-sebut diuntungkan oleh putusan MK ini adalah Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, yang saat ini menjabat sebagai Walikota Surakarta.
Gibran dikabarkan akan menjadi cawapres dari Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, yang kembali mencalonkan diri sebagai capres. Namun, Gibran masih berusia 38 tahun, sehingga tidak memenuhi syarat usia 40 tahun.
Dengan adanya frasa tambahan dari MK, Gibran dapat lolos sebagai cawapres karena sudah menjabat sebagai kepala daerah.
Alasan dan Dampak Gugatan Baru
Gugatan baru yang dilayangkan oleh Brahma Aryana, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), didasarkan pada alasan bahwa frasa tambahan dari MK tersebut bertentangan dengan konstitusi dan prinsip keadilan.
Brahma berpendapat bahwa frasa tersebut menimbulkan diskriminasi antara calon pemimpin negara yang berasal dari jabatan kepala daerah dengan yang berasal dari jabatan lainnya, seperti anggota DPR, menteri, atau profesional.
Brahma juga menilai bahwa frasa tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan tidak sesuai dengan tujuan uji materi yang seharusnya menghapus syarat usia 40 tahun, bukan menambah syarat lainnya.
Brahma mengharapkan agar MK menghapus frasa tersebut dan mengembalikan syarat usia capres-cawapres menjadi 40 tahun tanpa syarat tambahan.
Gugatan Brahma ini tentu saja berdampak pada dinamika politik menjelang Pemilu 2024.
Jika MK mengabulkan gugatan Brahma, maka sejumlah tokoh yang berusia di bawah 40 tahun dan berlatar belakang sebagai kepala daerah tidak akan dapat mendaftar sebagai capres-cawapres.
Ini berarti bahwa Gibran dan Prabowo harus mencari pasangan lain jika ingin maju dalam pemilu presiden.
Selain Gibran, tokoh lain yang juga terkena dampak adalah Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, yang berusia 39 tahun dan dikabarkan akan menjadi cawapres dari Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, yang mencalonkan diri sebagai capres.
Jika MK menolak gugatan Brahma, maka sebaliknya, sejumlah tokoh yang berusia di atas 40 tahun dan tidak berlatar belakang sebagai kepala daerah akan merasa dirugikan karena harus bersaing dengan tokoh-tokoh muda yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi.
Kesimpulan
Gugatan uji materi syarat usia capres-cawapres yang kembali diajukan ke MK merupakan salah satu bukti bahwa persoalan ini masih menjadi kontroversi dan belum menemukan titik temu yang dapat diterima oleh semua pihak.
Gugatan ini juga menunjukkan bahwa ada kepentingan politik yang terlibat di balik gugatan tersebut, baik dari pihak yang mengajukan maupun yang terdampak.
MK sebagai lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang harus dapat memutuskan gugatan ini dengan bijak dan independen, tanpa dipengaruhi oleh tekanan atau intervensi dari pihak manapun.
MK harus dapat menjaga kredibilitas dan integritasnya sebagai penjaga konstitusi dan hakim konstitusi.
MK juga harus dapat menjelaskan alasan dan pertimbangan hukumnya secara jelas dan transparan kepada publik, agar tidak menimbulkan keraguan atau kecurigaan. MK harus dapat menegakkan konstitusi dan keadilan, bukan kepentingan.