Studi Kasus Pasangan Calon di Pilkada Sumenep 2020
jfid – “Pada titik ini, yang ingin saya katakan, adalah tentang kemungkinan dibudayakannya sebuah kontrak politik untuk menghilangkan budaya pulihan dan meminimalisir biaya politik sekaligus potensi-potensi terjadinya korupsi,” demikian tulis Heru dalam tulisannya.
Heru mengatakan, ketika para pemimpin dipandang gagal ia mesti tahu diri untuk mundur dan memberikan kesempatan pada yang lainnya untuk memimpin. Mundurnya pemimpin yang dipandang gagal bukanlah sebentuk hal yang memalukan. Justru, sikap konsekuen ini secara moral-kultural akan menunjukkan kebesaran hati dan jiwa keksatriannya.
Bambang Muryanto, ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapillu) DPP PDIP, Pada tanggal 19 Februari 2020, mengundang bakal calon kepala daerah yang diusungnya, melalui surat edaran. Proses tersebut, masih dinamakan Tahap 1.
DPP PDIP masih belum mengeluarkan rekomendasi resmi, namun, dalam tahap 1 tersebut, mengumumkan Pasangan Calon yang akan diusung PDIP di Pilkada Sumenep 2020.
Dari 50 nama bacalon yang diusung Partai berlambang banteng tersebut, diurutan ke 40 adalah bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Sumenep, atas nama Achmad Fauzi dan Dewi Khalifah.
Achmad Fauzi dan Dewi Khalifah, Keduanya adalah Politisi yang pernah bertarung di Pilkada Sumenep 2015. Kala itu, Busyro Karim berpasangan dengan Achmad Fauzi memperoleh 301.887 suara dan Zainal Abidin berpasangan dengan Dewi Khalifah memperoleh 291.779 suara. Dikontestasi Pilkada Sumenep 2015, dimenangkan oleh pasangan Busyro Karim dan Achmad Fauzi. Dengan selisih 10.108 suara.
Pilkada Sumenep 2015 silam, penuh dinamika dan konflik. Pasangan Busyro Karim dan Achmad Fauzi dituding oleh para pendukung Zainal Abidin dan Dewi Khalifah, menang dengan menggelembungkan suara.
Pilkada Sumenep Tahun 2015, para pendukung Zainal Abidin dan Dewi Khalifah berdemonstrasi ke Bawaslu Sumenep dan ke KPU Sumenep, menuntut untuk mendiskualifikasi pasangan Busyro Karim dan Achmad Fauzi dengan tuduhan, karena menggelembungkan suara.
Achmad Fauzi dan Dewi Khalifah, adalah rival politik di Pilkada 2015. Dan di Pilkada 2020, mereka bergandeng tangan untuk maju sebagai pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati. Baiklah, tidak ada musuh abadi dalam politik. Tapi, Apakah, kedua bakal calon tersebut, tidak berfikir moralitas pendukungnya?
Atau pertanyaan-pertanyaan lain, apakah Bambang Muryanto dan Hasto Kristiyanto, tidak mengukur moral politik dalam mengusung calon?
Bagaimana, standar Politik DPP PDIP dalam mengusung nama calon?
Apakah hanya berdasarkan survei-survei internal yang menguatkan kedua pasangan tersebut?
Kenapa harus Achmad Fauzi? DPC PDIP Sumenep tentu memiliki banyak kader potensial selain nama Achmad Fauzi. Sebut saja Darul Hasyim Fath, yang kini duduk sebagai ketua Komisi I DPRD Sumenep. Atau Kaistar, putra sulung Said Abdullah (Anggota DPR RI). Ataukah DPP PDIP kehabisan akal untuk mengusung Calon Bupati dan wakil Bupati Sumenep?
Seperti yang diungkapkan Kurniadi, Pembina Lembaga Bantuan Hukum Madura. Jika Achmad Fauzi, Wakil Bupati Sumenep, orang yang paling banyak memberikan Investasi buruk bagi Sumenep.
“Achmad Fauzi, Lima tahun diberi waktu, diberi kesempatan. Dia paling banyak memiliki saham terburuk bagi Sumenep,”
Walaupun demikian, sungguh Achmad Fauzi masih membutuhkan koalisi. PDIP yang hanya 5 kursi dan Hanura dengan 3 kursi, tidak cukup, untuk mendaftarkan diri ke KPU. Karena, syarat dukungan, masih dibutuhkan 2 kursi lagi untuk mendaftarkan diri dan resmi menjadi calon Bupati Sumenep.