jfid – Pulau Rempang adalah salah satu dari tiga pulau utama yang membentuk Kota Batam, Kepulauan Riau. Pulau ini memiliki luas sekitar 165 km persegi dan berpenduduk sekitar 50 ribu jiwa.
Sebagian besar penduduknya adalah masyarakat adat Melayu yang tinggal di 16 kampung tua yang tersebar di pulau ini.
Mereka mengaku telah menempati tanah ulayat mereka sejak tahun 1843, jauh sebelum Batam menjadi kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas pada tahun 1971.
Namun, nasib pulau ini berubah ketika pemerintah pusat melalui Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) mengumumkan rencana pembangunan proyek strategis nasional (PSN) berupa kawasan Eco City di pulau ini.
Proyek ini merupakan kerjasama antara BP Batam dengan PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) dan PT Arthaland Indonesia sebagai investor. Proyek ini ditargetkan rampung pada tahun 2028 dengan nilai investasi sekitar Rp 40 triliun.
Eco City adalah konsep kota ramah lingkungan yang mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam perencanaan, pembangunan, dan pengelolaannya.
Eco City di Pulau Rempang direncanakan akan memiliki fasilitas seperti hotel bintang lima, apartemen mewah, pusat perbelanjaan, rumah sakit, sekolah internasional, taman hiburan, lapangan golf, marina, dan lain-lain.
Selain itu, proyek ini juga diharapkan dapat meningkatkan perekonomian dan pariwisata di Batam serta menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat.
Namun, rencana pembangunan Eco City ini menimbulkan konflik dengan masyarakat adat yang tinggal di pulau ini. Pasalnya, proyek ini akan memakan lahan seluas 1.760 hektar yang meliputi dua kelurahan yaitu Sembulang dan Rempang Cate.
Lahan ini merupakan tanah ulayat masyarakat adat yang telah mereka tempati dan garap selama berabad-abad. Masyarakat adat merasa hak-hak mereka dilanggar oleh pemerintah yang tidak menghormati sejarah dan budaya mereka.
Masyarakat adat menolak untuk direlokasi ke tempat lain meskipun pemerintah menawarkan kompensasi berupa rumah tipe 45 dengan tanah seluas 500 meter persegi senilai Rp 125 juta per kepala keluarga.
Mereka menganggap bahwa tanah ulayat mereka tidak bisa dinilai dengan uang karena memiliki nilai historis, kultural, spiritual, dan emosional yang sangat tinggi. Mereka juga meragukan kualitas dan legalitas rumah relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah.
Masyarakat adat bersikeras untuk mempertahankan tanah ulayat mereka dengan segala cara. Mereka membentuk aliansi bernama Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) Pulau Rempang untuk menyuarakan aspirasi mereka.
Mereka juga melakukan berbagai aksi protes seperti demonstrasi damai, penolakan sosialisasi, penandatanganan petisi online, hingga pembakaran ban di jalan raya. Mereka bahkan bersedia mati demi mempertahankan tanah ulayat mereka.
“Kami tidak akan mau pindah meskipun kami terkubur di situ. Karena dengan cara apa pun, itu tanah ulayat yang menjadi tanggung jawab kami untuk menjaganya,” kata Suardi, juru bicara KERAMAT Pulau Rempang.
Konflik antara masyarakat adat dan pemerintah ini semakin memanas ketika pemerintah memberikan ultimatum kepada masyarakat adat untuk mengosongkan lahan mereka paling lambat pada tanggal 28 September 2023. Ultimatum ini didasarkan pada perjanjian antara BP Batam dengan pihak investor yang menginginkan agar lahan yang mereka perlukan sudah bersih dari penghuni pada tanggal tersebut.
Pemerintah mengklaim bahwa sudah ada sebagian warga yang setuju dan menerima tawaran ganti rugi rumah. Namun, masyarakat adat menyangkal hal ini dan menuduh bahwa pemerintah menggunakan cara-cara intimidasi dan manipulasi untuk mendapatkan persetujuan dari warga. Mereka juga menuding bahwa pemerintah tidak transparan dan tidak partisipatif dalam menyusun rencana pembangunan Eco City.
“Apakah itu mereka dapat dari aparat yang menyisir dari rumah ke rumah melewati proses sosialisasi? Kalau dilakukan oleh oknum aparat, sehingga mendapat persetujuan, menurut saya masyarakat hanya ketakutan,” kata Suardi.
Masyarakat adat juga mempertanyakan legalitas proyek Eco City yang diduga melanggar sejumlah peraturan dan undang-undang.
Salah satunya adalah Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional Pulau Rempang Eco City yang ditandatangani pada akhir Agustus 2023.
Masyarakat adat menilai bahwa penetapan ini terlalu tergesa-gesa dan tidak memperhatikan aspirasi dan kepentingan masyarakat adat.
Selain itu, masyarakat adat juga mengkritik proyek Eco City yang diklaim sebagai kota ramah lingkungan. Mereka menilai bahwa proyek ini justru akan merusak lingkungan alam dan sosial di pulau ini.
Mereka khawatir bahwa proyek ini akan menghilangkan hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan berbagai flora dan fauna yang menjadi sumber kehidupan dan kearifan lokal mereka. Mereka juga khawatir bahwa proyek ini akan mengubah pola hidup dan budaya mereka yang selama ini harmonis dengan alam.
“Kami tidak percaya dengan konsep Eco City yang mereka tawarkan. Kami sudah hidup eco sejak dulu. Kami tidak membutuhkan gedung-gedung tinggi dan fasilitas mewah yang hanya akan merusak alam dan budaya kami,” kata Suardi.
Konflik antara masyarakat adat dan pemerintah ini telah menarik perhatian berbagai pihak baik di dalam maupun di luar negeri.
Beberapa organisasi masyarakat sipil seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), hingga Amnesty International telah menyatakan dukungan dan solidaritas kepada masyarakat adat Pulau Rempang.
Mereka mendesak pemerintah untuk menghentikan proyek Eco City dan menghormati hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka.
Di sisi lain, pemerintah tetap bersikukuh untuk melanjutkan proyek Eco City dengan alasan bahwa proyek ini merupakan bagian dari pembangunan nasional yang tidak bisa ditunda atau dibatalkan.
Pemerintah juga berjanji akan menyelesaikan konflik ini dengan cara-cara damai dan persuasif tanpa menggunakan kekerasan atau paksaan. Pemerintah juga berharap agar masyarakat adat dapat memahami dan menerima rencana pembangunan Eco City sebagai peluang untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka.
“Kami berharap masyarakat adat dapat melihat proyek Eco City sebagai kesempatan untuk maju bersama-sama dengan pemerintah dan investor. Kami tidak bermaksud untuk merampas hak-hak mereka, tetapi justru ingin memberikan solusi terbaik bagi mereka,” kata Bahlil Lahadalia, Kepala BP Batam.
Konflik antara masyarakat adat dan pemerintah di Pulau Rempang ini menjadi contoh dari benturan antara pembangunan dan pelestarian di Indonesia. Di satu sisi, pembangunan dianggap sebagai sisi yang penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Di sisi lain, pelestarian dianggap sebagai sisi yang tidak kalah penting untuk menjaga keberlanjutan lingkungan, menghormati hak-hak masyarakat adat, dan melestarikan kekayaan budaya.
Konflik ini menuntut adanya solusi yang adil, bijak, dan berkelanjutan yang dapat mengakomodasi kepentingan dan aspirasi semua pihak yang terlibat.
Solusi ini harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, hukum, dan keadilan. Solusi ini juga harus melibatkan partisipasi aktif dan dialog konstruktif antara masyarakat adat, pemerintah, investor, dan pemangku kepentingan lainnya.
Apakah solusi ini akan terwujud? Ataukah konflik ini akan berakhir dengan tragedi? Hanya waktu yang dapat menjawabnya. Yang pasti, Pulau Rempang adalah tanah ulayat yang dipertaruhkan untuk Eco City.
Tanah ulayat yang menjadi saksi bisu dari perjuangan dan pengorbanan masyarakat adat yang ingin mempertahankan identitas dan martabat mereka. Tanah ulayat yang menjadi panggung dari drama pembangunan dan pelestarian di Indonesia. Tanah ulayat yang menjadi harapan dan tantangan bagi kita semua.