Mewaspadai Penggiringan Opini Tentang Prabowo di Kabinet Jokowi-Amin

Syahril Abdillah
4 Min Read
Prabowo Subianto bersama Presiden Jokowi Pasca Pelantikan di Istana (Foto: detik News)
Prabowo Subianto bersama Presiden Jokowi Pasca Pelantikan di Istana (Foto: detik News)

Jurnalfaktual.id, – BANYAK konten baru di media sosial yang belakangan mengkultuskan Menhan Prabowo Subianto di Kabinet Indonesia Maju (KIM). Hal tersebut dilakukan oleh massa ” sakit hati” mantan pendukung Prabowo, yang merasa “dikibuli” lantaran merapatnya Ketum Gerindra tersebut di kabinet Jokowi-Amin. Jika tidak hati-hati dalam kita mengapresiasi hal tersebut, bisa menumbuhkan image buruk yang pada gilirannya menjadi imbrio “pembenturan” Jokowi-Prabowo, atau (paling tidak) menjadikan “matahari kembar” di KIM.

Sebab semua apa yang dilakukan Prabowo saat ini bukan serta-merta, tetapi sudah lama masuk di renstra di bidang pertahanan. Juga bukan inisiatif Prabowo setelah berhasil dilantik oleh Jokowi beberapa hari lalu.

Tetapi sangat disayangkan seolah-olah itu semua hasil pemikiran Prabowo setelah masuk KIM. Contoh, ketika TNI akan mengakuisisi 2 skwadron F-16 Viper dari AS, atau revitalisasi dan aktualisasi kontrak 11 ekor SU-35 dengan Moskwa (Rusia), semua itu renstra lama.

Penggiringan Opini

Penggiringan opini ( the opinion drive ) selama ini memang acap terjadi dan itu sebagai model propaganda politik muthakhir. Ditengarai para “penumpang gelap” di pasca pelantikan presiden-wapres, ingin kembali “menggerogoti” kekuatan pemerintahan yang konstitusional. Biasanya, hasilnya pun cukup marketable dan go public untuk membiaskan pola berpikir massa, agar KIM menjadi paradoks dengan stabilitas politik di masyarakat. Malah ditengarai pula model penggiringan opini ini selain efektif sekaligus tidak berdampak
high cost (biaya tinggi), cukup membayar produser, penulis narasi, dan vloger, atau admin.

Padahal dampak yang ditimbulkan sangat signifikan antara lain : (1) massa pengguna medsos yang kurang berwawasan luas akan tersugesti oleh konten-konten yang menyesatkan tersebut (2) bisa menumbuhkan kembali politik adu-domba di kalangan masyarakat (3) membentuk citra matahari kembar dalam kekuasaan ( twin suns in power ) yang ujung-ujungnya (4) akumulasi benih-benih friksi (perpecahan) dalam KIM karena adanya kegaduhan politik.

Penguatan Kabinet

Jokowi adalah tipe presiden silently drifting away (diam-diam menghanyutkan). Ia penuh gebrakan misalnya ketika keputusan pindah ibu kota, atau jauh sebelumnya membangun kereta api Sulawesi, Kalimantan, atau jalan trans-Papua. Tipe presiden seperti ini juga melekat pada Recep Tayyib Erdogan (Presiden Turki), yang membatalkan kontrak alutsista dengan AS karena lebih memilih rudal S-400, dan jet tempur SU-35 dari Rusia, juga Presiden China Tiongkok, Xi Jin Ping yang ngotot meneruskan pembangunan Tibet Rail Way yaitu jalur kereta api super ekstrem di pegunungan Himalaya yang berada di ketinggian 5.000 meter dpl.

Atas fenomena tersebut sudah sepatutnya jika pemerintah melalui menteri-menteri terkait untuk mengantisipasi kemungkinan dampak buruk di masyarakat. Seruan Kemenag untuk melakukan purifikasi dan penyetirilan di kalangan ASN yang ditengarai terpapar life style kultur intoleran seperti pelegalan busana bercadar di kantor-kantor, dan lain-lain, atau juga imbauan Menko Polkam Mahfud MD untuk menertibkan konten-konten dakwah/ceramah di mesjid-mesjid, merupakan jalan terbaik untuk mengurangi upaya dikotomi dan polarisasi masyarakat. Sebab, Prabowo Subianto sendiri selain seorang patriot sekaligus nasionalis sejati yang tetap menginginkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Nah… ***

Herry Santoso, adalah pemerhati masalah sosial, politik, dan budaya tinggal di Blitar Jawa Timur.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article