Laporan : Herry Santoso
BLITAR, Jurnalfaktual.id – Pemandangan meranggas di mana-mana. Tampak kecoklatan. Padang rumput mengering lantaran sulitnya air, bahkan tidak salah jika setetes air lebih berharga daripada sekilo telur ayam.
“Padahal Blitar Selatan sentra telur nasional, dan tanaman tebu potensial. Jika sampai bulan November belum turun hujan, banyak warga yang mengungsikan ternaknya ke Utara Brantas. ” tutur Lukman (45), warga Desa Wonotorto, kawasan selatan Blitar.
Kemarau panjang memang momok yang menakutkan bagi (terutama) peternak unggas di Blitar Selatan.
“Kalau ternak sapi, kerbau, atau lainnya, bisa diungsikan ke daerah surplus air. Tetapi jika itu unggas, jelas sebuah bencana. Di kawasan Suruhwadang hingga Ngeni sedikitnya ada 3-4 juta ekor ayam petelur, ” imbuh Lukman serius.
Itulah kondisi kekeringan yang saban tahun menjadi langganan masyarakat di 3 kecamatan : Wonotirto, Kademangan, dan Bakung.
Berbasuh Embun Pagi
Ibarat berangkat ke sekolah dan kerja warga di daerah tersebut hanya berbasuh embun pagi. Di Desa Pasiraman, misalnya, sungai-sungai mengering. Sumur pompa dalam yang banyak dibuat oleh warga tak mampu menembus debet air bawah tanah (ABT), hingga warga rela merogoh kocek untuk membeli air tanki yang dijual oleh pemasok.
“Per tanki saya jual hanya 40 ribu, Pak. Saya untung 20 ribu. Sehari bisa ulang-alik 5 kali, mengambil dari daerah Nglegok, pinggang Kelud. Air dari sana memang yang terbaik, langsung bisa diminum, ” tutur Rudi (35) pada Jurnalfaktual.id.
Sungguhpun demikian, mengamati tampilan masyarakat Blitar Selatan, tidak ada bedanya dengan orang kota. Terlepas mereka mandi atau tidak, itu lain urusan. Dan agaknya sejak kawasan tersebut dicap sebagai “daerah makmur” warganya memang selalu tampil bersih dan styles.
“Siapa pagi tadi yang tidak mandi ?” tanya seorang guru pada siswanya. Dengan jujur anak kelas 1 SD di salah satu desa tersebut lebih separo dari 26 siswa yang mengangkat tangannya.
Pipa Drainase
Para peternak di Desa Sumberejo, dan Suruhwadang dengan swadaya banyak yang mengakalinya dengan menyedot Kali Jambangan sekitar 2 – 3 km dari desa-desa tersebut.
Terdapat pipa baja besar layaknya pipa minyak bumi yang dipasang di tepi jalan raya sepanjang lebih 4 km untuk menyalurksn air, tetapi usaha itu tidak bisa menjamin krisis air akan teratasi. Sebab, debet air di Kali Jambangan nyaris mengering.
“Setiap hari rata-rata peternak untuk minum unggasnya, membutuhkan sekitar 4 tanki, Pak. Ini harus ada, tidak bisa ditunda !” ujar Irawan (40) yang mengaku mempunyai 21 ribu ekor ayam petelur. Padahal, tidak sedikit yang punya ayam di atas 100 ribu ekor. Untuk itu wajar jika Blitar Selatan sebagai sentra telur nasional.
Sayangnya pihak pemerintah kabupaten belum mempunyai regulasi yang sakti guna meretas kekeringan tersebut. Paling hanya mendrop air tanki gratis. Itupun jumlahnya sangat terbatas. Padahal masyarakat selalu berharap langkah konkret yang bisa meretas kesulitan dan derita tersebut. Lantas kapan?