KPU vs Bawaslu Soal Silon: Siapa yang Salah?

ZAJ
By ZAJ
4 Min Read

jfid – Perseteruan antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait akses Sistem Informasi Pencalonan (Silon) berlanjut ke ranah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Bawaslu melaporkan tujuh komisioner KPU atas dugaan pembatasan akses data dan dokumen Silon yang dianggap menghambat tugas pengawasan.

Namun, KPU menilai laporan tersebut aneh dan tidak beralasan. Siapa yang salah dalam kasus ini?

Silon adalah sistem informasi yang digunakan oleh KPU untuk mengelola data dan dokumen pencalonan bakal calon anggota legislatif (bacaleg) pada pemilu 2023.

Silon berisi data partai politik, data calon, dan penerimaan yang digunakan dalam proses pendaftaran bacaleg. Silon juga dapat digunakan untuk melakukan verifikasi faktual terhadap data dan dokumen bacaleg.

Bawaslu mengaku hanya dapat melihat halaman depan atau beranda Silon, tanpa dapat mengakses fitur data dan dokumen yang ada di dalamnya.

Bawaslu menilai hal ini sebagai pembatasan akses yang melanggar ketentuan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Bawaslu berpendapat bahwa sebagai pengawas pemilu, mereka berhak mendapatkan akses penuh terhadap Silon untuk melakukan pengawasan terhadap proses pencalonan.

KPU membantah telah membatasi akses Silon kepada Bawaslu. KPU mengklaim telah memberikan akses pembacaan data Silon sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023.

KPU juga beralasan bahwa data dan dokumen dalam Silon memuat informasi rahasia yang harus dilindungi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

KPU menegaskan bahwa mereka akan membuka akses data dan dokumen jika Bawaslu menyampaikan nama setiap bacaleg yang diduga terjadi pelanggaran pemilu.

DKPP sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa etik antara penyelenggara pemilu, telah menggelar sidang pemeriksaan pada Senin (4/9/2023).

Dalam sidang tersebut, Bawaslu meminta DKPP untuk menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian sementara terhadap tujuh komisioner KPU.

Bawaslu menilai bahwa KPU telah keliru menggunakan hukum keterbukaan informasi publik untuk permintaan akses data dan dokumen oleh Bawaslu.

Bawaslu juga menuding bahwa KPU telah melanggar prinsip profesionalisme, kepastian hukum, dan keterbukaan sebagai penyelenggara pemilu.

KPU membela diri dengan menyatakan bahwa mereka telah melaksanakan ketentuan perundang-undangan secara benar dan hati-hati.

KPU menegaskan bahwa mereka telah melibatkan Bawaslu dalam setiap agenda KPU, mulai dari proses legal drafting, uji publik, rapat konsultasi, hingga rapat harmonisasi.

KPU juga menyesalkan bahwa Bawaslu tidak melakukan judicial review terhadap Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 jika merasa dirugikan, melainkan langsung melaporkan ke DKPP.

Sidang DKPP masih berlanjut hingga saat ini. DKPP belum memutuskan apakah ada pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU atau tidak.

DKPP juga belum menentukan apakah akan mengabulkan permohonan Bawaslu atau tidak. Publik pun masih menunggu hasil akhir dari perseteruan ini.

Siapa yang salah dalam kasus ini? Apakah KPU atau Bawaslu? Atau mungkin keduanya? Atau mungkin tidak ada yang salah? Mari kita tunggu bersama.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article