Jejak Kontroversi Abu Bakar Ba’asyir, dari Menolak Pancasila hingga Dukung AMIN

ZAJ
By ZAJ
6 Min Read

jfid – Abu Bakar Ba’asyir, tokoh agama yang dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Al Mukmin di Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, kembali menjadi sorotan publik.

Pasalnya, ia baru-baru ini menyatakan dukungan kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, yang kerap disebut AMIN, dalam Pemilihan Umum 2024.

Pernyataan dukungan Ba’asyir kepada AMIN ini mengejutkan banyak pihak, mengingat ia pernah menganggap demokrasi sebagai sistem kafir yang bertentangan dengan Islam.

Ba’asyir juga memiliki rekam jejak kontroversial di dalam jaringan terorisme, yang membuatnya harus mendekam di penjara selama lebih dari sembilan tahun.

Menolak Pancasila dan Hormat Bendera

Jejak kontroversi Ba’asyir dimulai pada era Orde Baru, tepatnya pada tahun 1983.

Saat itu, ia ditangkap bersama Abdullah Sungkar, rekannya dalam mendirikan Pondok Pesantren Al Mukmin, karena dituduh menghasut orang untuk menolak asas tunggal Pancasila.

Selain itu, Ba’asyir dan Sungkar juga melarang santrinya untuk menghormati bendera merah putih tiap kali upacara.

Menurut mereka, hormat pada bendera termasuk dalam perbuatan syirik, yaitu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain.

Ba’asyir dan Sungkar kemudian melarikan diri ke Malaysia pada tahun 1985, setelah mendapatkan grasi dari Presiden Soeharto.

Di sana, mereka mendirikan organisasi bernama Jemaah Islamiyah (JI), yang bertujuan untuk mendirikan negara Islam di Asia Tenggara.

Dituduh Sebagai Kepala Spiritual JI

Jemaah Islamiyah (JI) dikenal sebagai kelompok militan Islam yang memiliki kaitan dengan Al-Qaeda, jaringan terorisme global yang dipimpin oleh Osama bin Laden.

JI diduga bertanggung jawab atas serangkaian aksi teror di Indonesia, seperti bom Bali pada tahun 2002, bom JW Marriott pada tahun 2003, bom Kuningan pada tahun 2004, dan bom Bali II pada tahun 2005.

Ba’asyir sendiri selalu membantah keterlibatannya dengan JI atau terorisme.

Namun, berbagai badan intelijen, baik dari Indonesia maupun dari negara-negara lain, menuduh Ba’asyir sebagai kepala spiritual JI.

Ba’asyir kembali ke Indonesia pada tahun 1999, setelah rezim Orde Baru runtuh.

Ia kemudian menjadi salah satu pendiri Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), sebuah organisasi yang menuntut penerapan syariat Islam di Indonesia.

Pada tahun 2002, Ba’asyir ditangkap oleh pemerintah Indonesia atas tuduhan terlibat dalam bom Bali.

Namun, ia hanya divonis 18 bulan penjara karena dianggap melanggar UU Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata tanpa izin.

Pada tahun 2004, setelah bebas dari penjara, Ba’asyir ditangkap lagi oleh pemerintah Indonesia atas tuduhan terlibat dalam bom JW Marriott.

Ia kemudian divonis 30 bulan penjara karena dianggap terlibat dalam konspirasi terorisme.

Pada tahun 2006, setelah bebas dari penjara, Ba’asyir mendirikan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), sebuah organisasi yang mengklaim sebagai kelompok dakwah.

Ia diduga terlibat dalam beberapa aksi teror, seperti penyerangan Polsek Cikeusik pada tahun 2010, bom Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton pada tahun 2011, dan penyerangan Mapolresta Solo pada tahun 2011.

Pada tahun 2011, Ba’asyir ditangkap lagi oleh pemerintah Indonesia atas tuduhan mendanai kamp pelatihan militer di Aceh, yang diduga sebagai basis JAT. Ia kemudian divonis 15 tahun penjara karena dianggap terlibat dalam tindak pidana terorisme.

Bebas dari Penjara dan Dukung AMIN

Ba’asyir akhirnya bebas dari penjara pada tahun 2021, setelah menjalani hukuman selama lebih dari sembilan tahun.

Selama di penjara, ia mendapatkan potongan masa hukuman atau remisi, baik remisi Kemerdekaan Republik Indonesia maupun Hari Raya Idul Fitri.

Setelah bebas, Ba’asyir kembali ke Pondok Pesantren Al Mukmin di Ngruki, dan tetap aktif dalam berdakwah.

Ia juga masih menjadi sosok yang dihormati oleh banyak kelompok Islam radikal di Indonesia.

Baru-baru ini, Ba’asyir menyatakan dukungan kepada pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, yang disokong oleh Partai NasDem, PKS, PKB, dan Partai Ummat, dalam Pemilihan Umum 2024.

Pernyataan ini beredar dalam bentuk rekaman suara yang diunggah di media sosial.

Dalam rekaman tersebut, Ba’asyir mengatakan bahwa pilpres bukanlah ideologi, melainkan alat. Ia juga mengatakan bahwa tujuan ikut pilpres adalah untuk membela Islam, dan itu diperbolehkan.

Ia menilai bahwa dari tiga calon presiden, hanya Anies Baswedan yang paham Islam, dan itu yang wajib dipilih.

Pernyataan dukungan Ba’asyir kepada AMIN ini menuai berbagai reaksi dari publik.

Sebagian orang menganggapnya sebagai hak politik Ba’asyir sebagai warga negara, sebagian lagi menganggapnya sebagai ironi, mengingat Ba’asyir pernah menolak sistem demokrasi dan Pancasila.

Ba’asyir sendiri belum memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai alasan dukungannya kepada AMIN.

Namun, putra Ba’asyir, Abdul Rohim, mengatakan bahwa pernyataan tersebut merupakan sikap pribadi ayahnya, dan tidak ada kaitannya dengan organisasi apapun.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article