Air Laut sebagai Senjata: Israel, Gaza dan Kejahatan Perang

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
7 Min Read
- Advertisement -

jfid – Jalur Gaza, sebuah wilayah yang terjepit di antara Israel dan Mesir, menjadi saksi bisu dari konflik yang tak kunjung usai.

Sejak awal Oktober 2023, Israel melancarkan serangan militer besar-besaran terhadap Gaza, sebagai balasan atas serangan yang dipimpin Hamas yang menewaskan ratusan warga sipil Israel.

Namun, apa yang dilakukan Israel bukan sekadar pembalasan, melainkan sebuah kekejaman yang melanggar hukum internasional.

Salah satu buktinya adalah rencana Israel untuk membanjiri terowongan bawah tanah di Gaza dengan air laut, yang dikritik oleh Rusia sebagai kejahatan perang.

Ad image

Terowongan Bawah Tanah: Sarana Bertahan dan Menyerang

Terowongan bawah tanah di Gaza adalah sarana bertahan hidup bagi warga Palestina yang terisolasi dari dunia luar.

Terowongan-terowongan itu digunakan untuk mengangkut makanan, bahan bakar, obat-obatan, dan barang-barang lain yang dibutuhkan oleh penduduk Gaza.

Terowongan bawah tanah juga menjadi sarana menyerang bagi Hamas dan kelompok-kelompok bersenjata lainnya di Gaza.

Dengan terowongan, mereka bisa menyusup ke wilayah Israel dan melakukan serangan-serangan mendadak, seperti yang terjadi pada 7 Oktober 2023.

Serangan itu mengejutkan Israel, yang merasa terancam oleh keberadaan terowongan bawah tanah. Israel pun berusaha untuk menghancurkan terowongan-terowongan itu dengan berbagai cara, termasuk dengan bom, bulldozer, dan anjing pelacak.

Namun, upaya Israel tidak berhasil sepenuhnya, karena terowongan-terowongan itu terus dibangun kembali oleh warga Gaza dengan bantuan dari Mesir dan negara-negara lain yang bersimpati dengan Palestina.

Air Laut sebagai Senjata: Rencana Israel yang Keji

Ketika bom dan bulldozer tidak cukup, Israel pun mencoba cara lain yang lebih keji: membanjiri terowongan bawah tanah dengan air laut.

Rencana ini dilaporkan oleh media-media internasional pada awal Desember 2023, setelah Israel membangun sistem pipa dan pompa di sepanjang perbatasan Gaza.

Tujuan Israel adalah untuk mengalirkan air laut ke dalam terowongan-terowongan, sehingga menenggelamkan infrastruktur Hamas dan menghambat pergerakan warga Gaza.

Israel juga berharap bahwa air laut akan mencemari air tanah di Gaza, yang merupakan sumber utama air bersih bagi penduduknya.

Rencana ini menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk dari Rusia, yang menuduh Israel melakukan kejahatan perang.

Wakil perwakilan tetap pertama Rusia untuk PBB, Dmitry Polyansky, mengatakan bahwa rencana Israel menunjukkan bahwa mereka memiliki perintah “take no prisoners”, yang tidak memedulikan sandera Israel yang berada di tangan Hamas.

“Jika Israel benar-benar melakukan aksi membanjiri terowongan Hamas di bawah Gaza dengan air laut, ini jelas merupakan kekejaman,” kata Polyansky pada pertemuan Dewan Keamanan PBB, Jumat (8/12/2023).

Polyansky juga menyoroti dampak jangka panjang dari rencana Israel, yang akan membuat Gaza tidak dapat dihuni. Dia mengatakan bahwa Israel mungkin ingin mengusir warga Gaza ke negara-negara tetangga, seperti Mesir dan Yordania, dengan cara membanjiri wilayah mereka.

“Menurut informasi yang tersedia untuk umum, IDF telah membangun sistem pipa dan pompa yang dirancang untuk memompa air laut, dan saat ini sedang mendiskusikan dengan Amerika Serikat kemungkinan praktis terjadinya banjir (Gaza): apakah akan ada cukup air? akankah ‘topografi’ terowongan mampu menampungnya? dan seterusnya,” kata Polyansky.

Hukum Internasional: Apa yang Dapat Dilakukan?

Rencana Israel untuk membanjiri Gaza dengan air laut jelas melanggar hukum internasional, khususnya hukum humaniter, yang mengatur perilaku dalam perang.

Hukum humaniter melarang penggunaan senjata atau metode yang menimbulkan penderitaan yang tidak perlu atau tidak proporsional bagi warga sipil atau kombatan.

Hukum humaniter juga melarang hukuman kolektif, yaitu tindakan yang ditujukan kepada kelompok atau komunitas tertentu tanpa memperhatikan kesalahan individu.

Hukuman kolektif termasuk pemblokiran bantuan kemanusiaan, pemutusan pasokan listrik, dan pembanjiran wilayah.

Pelanggaran hukum humaniter dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang, yang dapat diadili oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).

ICC adalah lembaga peradilan permanen yang bertugas untuk mengadili individu-individu yang bertanggung jawab atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida.

Namun, ICC memiliki keterbatasan dalam menangani kasus-kasus kejahatan perang, karena tidak semua negara menjadi anggota atau mengakui yurisdiksinya.

Israel dan Amerika Serikat, misalnya, tidak menjadi anggota ICC dan menolak untuk bekerja sama dengan lembaga tersebut.

Selain itu, ICC juga menghadapi tantangan politik dan praktis dalam melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan perang.

ICC sering kali dianggap sebagai lembaga yang bias dan tidak adil, karena hanya menargetkan negara-negara tertentu, terutama di Afrika.

ICC juga mengalami kesulitan dalam mengumpulkan bukti, menyita tersangka, dan melindungi saksi, karena tidak memiliki kekuatan eksekutif sendiri dan bergantung pada kerja sama dari negara-negara anggota.

Harapan untuk Perdamaian: Apa yang Dapat Dilakukan?

Sementara Israel dan Gaza terus berperang, harapan untuk perdamaian semakin tipis. Namun, bukan berarti tidak ada yang dapat dilakukan oleh masyarakat internasional untuk menghentikan kekerasan dan menegakkan hukum.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah meningkatkan tekanan diplomatik dan ekonomi terhadap Israel, agar menghentikan serangan militer dan menghormati hak asasi manusia warga Gaza.

Negara-negara yang memiliki hubungan dekat dengan Israel, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, dapat memainkan peran penting dalam hal ini.

Langkah lain yang dapat dilakukan adalah memberikan bantuan kemanusiaan dan pembangunan kepada Gaza, agar dapat memulihkan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan yang rusak akibat perang.

Bantuan ini dapat disalurkan melalui PBB, lembaga-lembaga bantuan, atau organisasi-organisasi masyarakat sipil.

Langkah terakhir yang dapat dilakukan adalah mendukung upaya-upaya dialog dan rekonsiliasi antara Israel dan Palestina, agar dapat mencapai solusi damai yang adil dan berkelanjutan.

Solusi ini harus mengakui hak kedua belah pihak untuk hidup dalam kedaulatan, keamanan, dan martabat.

Perang antara Israel dan Gaza adalah perang yang tidak berujung, yang menimbulkan penderitaan dan kematian bagi banyak orang.

Perang ini juga merupakan perang yang tidak adil, yang melibatkan kekuatan yang tidak seimbang dan pelanggaran yang tidak terkendali.

Perang ini harus dihentikan, dan hukum harus ditegakkan. Air laut tidak boleh menjadi senjata, melainkan menjadi sumber kehidupan.

- Advertisement -
Share This Article