jfid – Debat calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, dengan cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, dan cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, pada Jumat (22/12/2023) lalu, menyisakan banyak catatan. Salah satunya adalah penggunaan istilah State of Global Islamic Economy (SGIE) oleh Gibran, yang ternyata menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
SGIE adalah sebuah laporan tahunan yang diterbitkan oleh Thomson Reuters dan Dinar Standard, yang mengukur perkembangan ekonomi syariah di dunia. Laporan ini mencakup berbagai sektor, seperti halal food, Islamic finance, halal travel, modest fashion, halal media and recreation, dan halal pharmaceuticals and cosmetics.
Gibran menanyakan hal ini kepada Cak Imin tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Namun, Cak Imin pun mengaku tidak pernah mendengar istilah tersebut.
Pertanyaan Gibran sebenarnya bisa menjadi sebuah poin plus bagi dirinya, jika ia mampu menjelaskan apa itu SGIE dan mengapa penting bagi Indonesia untuk meningkatkan peringkatnya.
Gibran sendiri menjawab pertanyaannya sendiri dengan membacakan teks yang menjelaskan apa itu SGIE dan mengapa penting bagi Indonesia. Ia juga menyinggung soal hilirisasi industri halal dan potensi pasar ekonomi Islam di Indonesia.
Akibatnya, Gibran malah mendapat sentimen negatif dari warganet, yang menilai bahwa pertanyaan Gibran tidak relevan, tidak penting, dan hanya bertujuan untuk mencari ketidaktahuan lawan.
Menurut analisis Drone Emprit, sebuah lembaga riset media sosial, 71% dari 35.500 mention tentang SGIE di X bersifat negatif terhadap Gibran.
Hal ini menunjukkan bahwa Gibran tidak menguasai materi yang ia tanyakan, dan hanya menggunakan istilah asing yang kurang bersahabat di telinga masyarakat.
Tentunya dalam debat publik, hal-hal seperti ini seharusnya harus dihindari, karena dapat menimbulkan kesan sombong, sok pintar, atau tidak peduli dengan kepentingan rakyat.
Bahasa yang baik adalah bahasa yang mudah dimengerti oleh semua kalangan, dan mampu menyampaikan pesan dengan jelas dan efektif.
Gibran seharusnya belajar dari kesalahan ini, dan mempersiapkan diri lebih baik untuk debat-debat selanjutnya.
Ia juga harus lebih mengenal karakteristik dan aspirasi masyarakat Indonesia, yang mayoritas beragama Islam, dan tidak hanya mengandalkan data atau istilah yang kurang familiar.
Debat cawapres adalah ajang untuk menunjukkan visi, misi, dan program yang akan dilaksanakan oleh pasangan capres-cawapres jika terpilih.
Debat ini juga menjadi kesempatan untuk menarik simpati dan dukungan dari pemilih. Oleh karena itu, debat harus dilakukan dengan serius, dan berdasarkan fakta, bukan hanya sekadar mencari sensasi atau menjatuhkan lawan.