Dinasti Politik Jokowi: Antara Kritik dan Kontestasi

ZAJ
By ZAJ
4 Min Read

jfid – Presiden Joko Widodo atau Jokowi sering dikritik karena dianggap membangun dinasti politik dengan melibatkan anggota keluarganya dalam panggung politik nasional. Namun, Jokowi membantah tudingan tersebut dan menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat untuk menilai kinerja dan kompetensi putra-putrinya yang terjun ke dunia politik.

Salah satu yang paling menonjol adalah Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, yang berhasil menjadi Wali Kota Solo pada 2020 setelah memenangkan Pilkada dengan perolehan suara 86,57 persen.

Gibran juga disebut-sebut sebagai salah satu kandidat potensial untuk maju sebagai calon presiden atau wakil presiden pada Pilpres 2024. Bahkan, ada isu yang mengaitkan Gibran dengan Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra dan mantan rival Jokowi, sebagai pasangan capres-cawapres.

Gibran sendiri mengaku tidak tertarik dengan isu tersebut dan mengatakan bahwa dirinya masih fokus untuk memimpin Solo. Ia juga menegaskan bahwa dirinya tidak mendapat perlakuan istimewa dari bapaknya dan harus berjuang sendiri untuk membangun nama dan kredibilitasnya di dunia politik.

Selain Gibran, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, juga mulai menampakkan diri di ranah politik. Kaesang yang dikenal sebagai pengusaha sukses di bidang kuliner dan digital, kini menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggantikan Grace Natalie. Kaesang mengaku tertarik bergabung dengan PSI karena memiliki visi dan misi yang sejalan dengan dirinya, yaitu memperjuangkan keadilan sosial, demokrasi, dan kemajuan.

Kaesang juga terlibat dalam gugatan uji materi batas usia capres-cawapres di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh PSI bersama beberapa partai lain. Gugatan ini meminta agar batas usia capres-cawapres diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun, atau mempertimbangkan pengalaman sebagai kepala daerah. Gugatan ini menuai kontroversi karena diduga berkaitan dengan upaya Jokowi untuk mengusung Gibran sebagai capres-cawapres pada 2024.

Namun, Jokowi menepis spekulasi tersebut dan mengatakan bahwa gugatan itu adalah hak konstitusional setiap warga negara. Ia juga menegaskan bahwa dinasti politik terjadi jika dirinya secara spesifik menunjuk anggota keluarganya untuk menjabat posisi tertentu, bukan jika mereka ikut berkompetisi secara demokratis dalam pemilihan umum.

Jokowi juga mengatakan bahwa ia tidak akan campur tangan dalam urusan politik anak-anaknya dan akan memberikan kebebasan kepada mereka untuk menentukan pilihan dan langkahnya masing-masing. Ia juga meminta agar masyarakat tidak hanya melihat faktor kekerabatan, tetapi juga kinerja dan kompetensi dari setiap calon pemimpin.

Dinasti politik bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak era Orde Baru hingga Reformasi, banyak tokoh politik yang melibatkan anggota keluarganya dalam perebutan kekuasaan. Beberapa contoh adalah Soeharto, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo Subianto, hingga Anies Baswedan.

Dinasti politik sering dikritik karena dianggap merugikan demokrasi dan menyuburkan praktik nepotisme, korupsi, dan oligarki. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa dinasti politik tidak selalu buruk jika anggota keluarga yang terlibat memiliki kualitas dan integritas yang baik serta mendapat dukungan dari masyarakat.

Dinasti politik Jokowi masih terus menjadi sorotan dan perdebatan publik. Apakah Jokowi benar-benar ingin mewariskan kekuasaannya kepada anak-anaknya, atau hanya memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkontribusi bagi bangsa dan negara? Apakah masyarakat akan menerima atau menolak adanya dinasti politik Jokowi? Jawabannya akan terlihat pada Pilpres 2024 mendatang.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email faktual2015@gmail.com

Share This Article