Di Antara Bayang-Bayang: Mewaspadai Politik dan Spiritualitas Terlarang

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
"Paman Dhomplang," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020.
"Paman Dhomplang," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020.

jfId – Pernah suatu kali saya dihampiri seorang yang tak saya kenal. Dari gaya pakaiannya, ia seperti seorang yang “njawani,” memakai baju peranakan khas Jogja—yang merupakan transformasi baju takwa Sunan Kalijaga. Tak lupa, ia juga seperti memaksa untuk murah senyum dan bergaya santun. Wajahnya laiknya kalangan metroseksual, bersih dan berona, yang seolah tak lupa untuk tak ke salon kecantikan agar menambah daya tarik. Di dagunya tumbuh beberapa helai jenggot dan tanpa kumis.

Barangkali, saya dipandangnya sebagai seorang yang urakan dalam penampilan—yang barangkali juga seperti tak pernah mengenal agama. Celakanya, ia pun seperti ingin mengamalkan salah satu dalil Wedhatama, “karyenak tyasing sesama,” dengan berperan laiknya seorang yang tahu seluk beluk kehidupan saya yang penuh kegelapan dan butuh penerangan. “O, wali keblinger orang ini,” batin saya ketika menyadari sikapnya yang songong.

Orang awam tampaknya memang sulit untuk mengidentifikasi orang dengan gaya yang memaksa “njawani” dan, celakanya, banyak omongannya yang menyinggung spiritualitas Islam dimana waktu itu telah menjadi semacam trendsetting kalangan urban (Jalan Panjang Moderatisme, Heru HarjoHutomo, https://jalandamai.org).

Panjang-lebar ia bicara “cinta” dan “ridha” Tuhan laiknya seorang sufi yang terkadang saya pun eneg mendengarnya (“Mulat Sarira” Sebagai Sebentuk Moderasi, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Pada orang-orang seperti itu, biasanya saya hanya meninggalkannya dengan sebuah persoalan: “Masih bingung?.” Dan saya berharap ia akan berakhir seperti saudara seguru guru besarnya: mati di-kendhat.

Terkadang kita mendengar di sekitar kita ada orang yang tiba-tiba nyelemong Assalamualaikum” tanpa konteks yang jelas. Dan esoknya ketika sampeyan pergi ke kantor kelurahan, puskesmas, atau instansi lainnya, tanpa mengucapkan ungkapan yang sepadan dengan ungkapan “Rahayu” dalam kalangan kapitayan itu, akan banyak muka sewot, nada-nada ketus, dan bahasa-bahasa tubuh yang diskriminatif dan merendahkan yang akan sampeyan dapatkan.

Padahal, kehidupan dan perilaku mereka sama sekali tak jauh dengan kehidupan dan perilaku kita sehari-hari. Pada tahun 2017 pemerintah secara resmi membubarkan dan menjadikan organisasi HTI terlarang di Indonesia. HT sendiri adalah sebuah organisasi besutan Taqiyuddin al-Nabhani yang merupakan salah satu murid dari seorang moralis kenamaan, Hasan al-Banna. Kluyuran saya ke sana ke mari pada tahun itu membuahkan hasil bahwa organisasi itu sudah sedemikian jauh tebanya dan sudah semakin dalam daya rasuknya (Sontoloyo, Sempalan, dan Gerakan-Gerakan Kutu Rambut, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Mereka sangat pintar dalam memanfaatkan keawaman orang dalam hal agama, spiritualitas, dan bahkan lokalitas, yang tengah terkena demam sufisme dan tarekat. Pendek kata, mereka sudah sedemikian jauh bertransformasi, ke ranah birokrasi maupun rumah tangga (Radikalisasi dari Bawah: Mengurai Jejaring Radikalisasi Keagamaan di Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).

Dan jangan heran ketika pergerakan mereka akan tampak membayangi setiap pergerakan pemerintah, menjelma serupa pemerintahan bayangan, dimana ketika pemerintah terpilih saat itu, hasil pilpres 2014, ingin membangun Indonesia dari pinggiran, mereka juga telah melakukannya dari pinggiran. Setidaknya, tak untuk membangun, tapi untuk merubuhkan. Di masa pasca modern seperti ini tak ada salahnya kita menengok ke wilayah pinggiran dengan sesekali melihat apa yang dapat ditampakkan oleh matahari, di samping tubuh dan pepohonan selalu saja adalah bayangannya (Hikayat Kebohongan II, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).   

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermainmusik)        

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article