jfid– Anies Baswedan, calon presiden dari Koalisi Perubahan, mendapati dirinya menjadi sorotan publik setelah pernyataan mengejutkan dari pendukungnya, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin.
Dalam acara Temu Juang Aktivis Jogja untuk Amin di kafe University Club UGM, Yogyakarta, Cak Imin, ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan bakal calon wakil presiden Anies, menyebut Anies bukanlah sosok radikal seperti yang sering dituduhkan di media sosial. Menurut Cak Imin, Anies justru adalah sosok liberal.
Namun, apa maksud sebenarnya di balik penyebutan Anies sebagai liberal oleh Cak Imin? Apakah itu pujian atau celaan? Apakah itu strategi politik atau blunder?
Untuk memahami hal ini, kita perlu merinci apa yang dimaksud dengan liberalisme dan radikalisme dalam konteks politik.
Liberalisme menekankan kebebasan individu, hak asasi manusia, demokrasi, toleransi, dan rasionalitas.
Sementara radikalisme menuntut perubahan mendasar terhadap sistem politik, sosial, atau ekonomi yang ada.
Jika kita tinjau lebih lanjut, visi dan misi Anies sebenarnya mencakup unsur-unsur liberalisme dan radikalisme.
Di satu sisi, Anies menghargai kebebasan individu, hak asasi manusia, demokrasi, toleransi, dan rasionalitas, menunjukkan sikap liberal.
Namun, di sisi lain, dia menuntut perubahan mendasar terhadap sistem politik, sosial, atau ekonomi, menunjukkan sikap radikal.
Oleh karena itu, Anies adalah sosok yang kompleks dan multidimensi. Dia tidak dapat disederhanakan menjadi liberal atau radikal saja.
Pernyataan Cak Imin, meskipun mungkin bermaksud memberikan gambaran positif tentang Anies, sebenarnya tidak akurat. Pernyataan tersebut bahkan bisa menjadi ambigu dan kontraproduktif.
Ambigu, karena tidak jelas apa maksud Cak Imin dengan liberal. Apakah dia merujuk pada definisi liberalisme secara umum atau dalam konteks Indonesia? Apakah dia menganggap liberal sebagai sesuatu yang positif atau negatif?
Kontraproduktif, karena pernyataan Cak Imin dapat menimbulkan kesalahpahaman di kalangan publik, terutama pendukung Anies.
Beberapa orang mungkin memandang liberalisme sebagai nilai progresif yang menghormati kebebasan dan hak asasi manusia, sementara yang lain mungkin melihatnya sebagai ancaman terhadap nilai agama dan nasionalisme.
Dalam menilai Anies sebagai calon presiden, lebih penting bagi kita untuk melihat visi, misi, program, kinerja, dan rekam jejaknya secara objektif dan komprehensif.
Dengan pendekatan ini, kita dapat menentukan apakah Anies memang layak dipilih sebagai pemimpin Indonesia, tanpa terpengaruh oleh label liberal atau radikal yang melekat padanya.