Jangan Sampai Terulang, Indonesia Harus Waspada Revolusi Warna AS di Pemilu 2024

Rasyiqi
By Rasyiqi
6 Min Read

jfid – Indonesia adalah negara yang kaya akan warna. Mulai dari warna bendera merah putih, warna pakaian adat, warna kuliner, hingga warna cat dinding rumah. Warna-warna ini mencerminkan keberagaman dan kekayaan budaya bangsa Indonesia.

Namun, di balik warna-warna yang indah, ada juga warna yang mengancam. Warna yang bisa mengubah nasib dan arah politik Indonesia. Warna yang disebut-sebut sebagai rencana operasi intelijen Amerika Serikat (AS) untuk mencampuri Pemilu 2024. Warna itu adalah revolusi warna.

Revolusi warna adalah istilah yang kerap digunakan untuk menggambarkan operasi intelijen AS dalam membangun demokrasi liberal di negara lain, termasuk dengan menggulingkan rezim. Banyak laporan yang menyebutkan bahwa revolusi warna disiapkan oleh CIA melalui National Endowment for Democracy (NED) untuk mencampuri Pemilu 2024.

NED adalah organisasi non-pemerintah di AS yang didanai oleh pemerintah AS dan disebut-sebut sebagai “front CIA” untuk melakukan revolusi warna. NED beroperasi di lebih dari 100 negara dan menyalurkan lebih dari 2.000 hibah setiap tahunnya. Organisasi ini kerap memberikan hibah untuk membiayai revolusi di berbagai negara untuk mencapai tujuannya.

Salah satu negara yang menjadi target NED adalah Indonesia. Sebuah dokumen intelijen yang bocor pada September 2023 mengungkap bahwa NED tengah memperluas aliran dana hibahnya ke berbagai LSM, kelompok sipil penting, partai politik, hingga kandidat untuk Pemilu 2024.

Tujuan NED adalah untuk memperluas pengaruh agar bisa memastikan pemenang Pilpres 2024 adalah sosok yang didukung oleh Washington, utamanya mereka yang dapat menjamin kepentingan AS di Indonesia. Namun, pasukan NED yang berada di lapangan juga siap untuk menantang, atau bahkan membalikkan hasil jika pihak yang salah menang.

Dokumen yang bocor ini menimbulkan kekhawatiran dan kewaspadaan di kalangan masyarakat Indonesia. Apalagi, Indonesia memiliki pengalaman buruk dengan campur tangan AS dalam urusan politiknya.

Pada tahun 1965, Presiden pertama RI Soekarno digulingkan dalam kudeta militer yang disebut disponsori oleh CIA dan MI6. Soekarno dikenal sebagai sosok yang karismatik dan populer di kalangan rakyat Indonesia. Ia juga dikenal sebagai sosok yang anti-imperialisme dan anti-kolonialisme.

Soekarno digantikan oleh Soeharto, yang kemudian memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade dengan otoriter dan korup. Soeharto juga dikenal sebagai sekutu setia AS dan mendukung kebijakan-kebijakan AS di kawasan Asia Tenggara.

Kini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa senasib dengan Soekarno. Jokowi juga dikenal sebagai sosok yang populer dan dicintai rakyat Indonesia. Ia juga dikenal sebagai sosok yang dekat dengan China, salah satu rival utama AS.

Sejak memerintah pada 2014, pemerintahan Jokowi telah menjalin kerjasama dengan China dalam berbagai bidang, termasuk infrastruktur, perdagangan, dan investasi. Jokowi juga mendukung inisiatif Belt and Road Initiative (BRI) China, yang merupakan proyek pembangunan infrastruktur global yang ambisius.

Hal ini tentu saja tidak disukai oleh AS, yang merasa terancam oleh kebangkitan China sebagai kekuatan ekonomi dan militer baru di dunia. AS khawatir bahwa Indonesia akan menjadi sekutu China dan mengganggu kepentingan AS di kawasan Indo-Pasifik.

Oleh karena itu, AS mungkin akan mencoba untuk mengganti Jokowi dengan sosok yang lebih pro-AS dan anti-China. AS mungkin akan menggunakan strategi revolusi warna untuk menciptakan krisis politik dan sosial di Indonesia, yang bisa memicu protes massal, kekerasan, dan kudeta.

Revolusi warna bukanlah hal baru bagi AS. AS telah melakukan revolusi warna di berbagai negara, seperti Yugoslavia, Georgia, Ukraina, Kirgizstan, Lebanon, Tunisia, Mesir, Libya, dan Suriah. Revolusi warna ini biasanya ditandai dengan penggunaan simbol-simbol warna tertentu oleh para demonstran, seperti bunga mawar, pita oranye, payung kuning, atau bendera pelangi.

Namun, revolusi warna tidak selalu berhasil. Banyak negara yang berhasil menangkal dan menangkis revolusi warna yang dicoba oleh AS. Beberapa contohnya adalah Rusia, Iran, Venezuela, Belarus, dan Hong Kong. Negara-negara ini mampu mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan mereka dari campur tangan AS.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia akan menjadi korban revolusi warna AS? Atau apakah Indonesia akan mampu melawan dan menolak revolusi warna AS?

Jawabannya tergantung pada kita semua sebagai bangsa Indonesia. Kita harus bersatu dan solid dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan negara kita. Kita harus waspada dan kritis terhadap segala bentuk upaya intervensi asing dalam urusan politik kita.

Kita harus menjaga proses demokrasi kita agar berjalan jujur, adil, dan transparan. Kita harus menghormati hak-hak sipil dan politik kita sebagai warga negara. Kita harus mengedepankan dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan perbedaan dan konflik.

Kita harus menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara kita. Kita harus menghargai keberagaman dan kebhinekaan kita sebagai bangsa yang berwarna-warni.

Indonesia adalah negara yang berwarna. Warna-warna ini adalah kekuatan dan keindahan kita. Jangan biarkan warna lain merusak dan merampas warna-warna kita.

Mari kita jaga Indonesia agar tetap berwarna.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article