Alasan Penganiayaan Taruna STIP hingga Tewas: Sebuah Analisis Mendalam

Michael Onk
3 Min Read
Alasan Penganiayaan Taruna STIP hingga Tewas: Sebuah Analisis Mendalam
Alasan Penganiayaan Taruna STIP hingga Tewas: Sebuah Analisis Mendalam

jfid – Pada tanggal 3 Mei 2024, sebuah tragedi mengguncang Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) di Cilincing, Jakarta Utara. Putu Satria Ananta Rastika, seorang mahasiswa tingkat 1, tewas diduga usai dianiaya oleh seniornya, Tegar Rafi Sanjaya (TRS).

Kejadian ini menimbulkan pertanyaan besar: apa yang mendorong seorang senior untuk melakukan tindakan kekerasan hingga berujung pada kematian junior mereka?

Kronologi Kejadian

Menurut Kombes Pol Gidion Arif Setyawan, Kapolres Metro Jakarta Utara, penganiayaan tersebut terjadi pada Jumat, 3 Mei 2024. Penganiayaan berawal dari adanya persepsi TRS terhadap korban dan empat rekannya melakukan suatu kesalahan. “Apa yang dilakukan dia (korban) masuk kelas menggunakan baju olahraga, di kehidupan mereka, menurut senior ini salah,” kata Kombes Gidion.

TRS meminta korban dan kelima temannya untuk pergi ke kamar mandi dan diminta untuk berbaris. Korban yang berada di baris paling depan pun dipukul oleh tersangka. Di mana tersangka memukulnya di bagian ulu hati sebanyak lima kali. Tak lama kemudian, korban tak sadarkan diri dan dilarikan ke klinik sekolah. Sayangnya, saat tiba di klinik, korban dinyatakan telah meninggal dunia.

Penyebab Utama Kematian

Setelah dilakukan sinkronisasi dan pemeriksaan, penyebab utama kematian korban adalah luka di mulut yang menurut tersangka merupakan upaya penyelamatan.

Di mana saat korban tak sadarkan diri usai dihajar, tersangka sempat panik dan melakukan upaya penyelamatan yang tidak sesuai prosedur. “Menurut tersangka, penyelamatan (dengan cara) memasukkan tangan di mulut untuk menarik lidahnya,” ujarnya.

Namun hal itu, lanjut Gidion, justru berakibat menutup saluran pernapasan, dan mengakibatkan korban meninggal dunia. Sementara luka pada paru korban, lanjut Gidion, juga mempercepat proses kematian.

Analisis: Senioritas dan Arogansi

Menurut Kombes Gidion, pelaku berinisial TRS (21), menganiaya korbannya hingga tewas karena arogansinya sebagai senior. Ini menunjukkan bahwa budaya senioritas dan arogansi bisa menjadi faktor pemicu dalam kasus ini.

Dalam banyak kasus, senioritas seringkali menjadi alasan untuk melakukan tindakan yang melampaui batas, termasuk kekerasan fisik. Dalam kasus ini, persepsi senior tentang “kesalahan” junior telah memicu tindakan yang tragis. Ini menunjukkan betapa pentingnya untuk mereformasi budaya dan norma dalam lingkungan pendidikan, terutama yang berkaitan dengan hubungan antara senior dan junior.

Kesimpulan

Kasus tragis ini menunjukkan betapa pentingnya untuk memahami dan mengubah budaya dan norma yang ada dalam lingkungan pendidikan. Persepsi dan arogansi seorang senior tidak boleh menjadi alasan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap junior. Pendidikan dan pembinaan karakter harus menjadi prioritas utama dalam setiap institusi pendidikan untuk mencegah tragedi serupa terjadi di masa depan.

1: Kompas TV 3: Tempo.co 4: Suara.com 2: Kompas.com

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email faktual2015@gmail.com

Share This Article