Radikalisasi dari Bawah: Mengurai Jejaring Radikalisasi Keagamaan di Indonesia 

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read

jfID – Tundukkan isterinya terlebih dahulu, maka anak dan suaminya akan mengikuti. Unit terkecil dari masyarakat adalah keluarga. Dalam sistem administrasi kependudukan di Indonesia kita mengenal yang namanya KK (Kartu Keluarga). Asumsi di balik ini adalah bahwa identitas seseorang dapat diidentifikasi berdasarkan keluarganya. Dengan kata lain, compang-campingnya sebuah masyarakat dapat ditentukan oleh nilai-nilai ataupun pandangan hidup yang dipegang oleh sebuah keluarga.

Istilah “keluarga” secara implisit memang berkaitan dengan “warga” atau anggota. Hal ini membuktikan bahwa di Indonesia masing-masing orang dianggap tak pernah berdiri sendiri-sendiri dan harus—secara administratif—berikatan dengan orang lainnya. Jadi komunalitas di Indonesia tak lagi bersifat kultural, melainkan formal-administratif.

Logikanya, untuk berhijrah, untuk mengubah tatanan suatu masyarakat perlu terlebih dahulu untuk mengubah tatanan keluarga. Ketika tatanan sebuah keluarga sudah berhijrah, sudah berubah, maka harapannya berubah pula tatanan masyarakatnya. Saya masih ingat slogan “Banyak anak banyak pejuang” yang terpampang di sticker, t-shirt ataupun jaket yang banyak dikenakan para pengikut mitos bahwa memelihara jenggot adalah karena mengikuti sunnah nabi, atau kebiasaan mereka untuk berpoligami. Fenomena-fenomena ini bukanlah muncul tanpa alasan. Ketika jalur formal sudah dipersempit ruang geraknya, atau bahkan terlalu berat untuk ditempuh, jalan apalagi yang tersisa kecuali jalur kultural dengan mengubah tatanan nilai sebuah keluarga?

Strategi itulah yang disebut sebagai the radicalization from below (radikalisasi dari bawah). Dengan maraknya geliat populisme kanan dan pendekatan politik sektarian belakangan ini, maka sebagian besar dari kita lalai akan keluarga kita sendiri. Kita lebih suka melihat orang lain yang tak memiliki hubungan apapun dengan kita daripada keluarga kita sendiri. Kita tak pernah menelisik perubahan-perubahan radikal dan tiba-tiba dari anggota keluarga kita, pola interaksi mereka, kebiasaan-kebiasaan, dan jaringan mereka di luar. Kita semua seperti terhipnotis oleh doktrin “urusan masing-masing.” Kita tak pernah bertanya benarkah isteri-isteri kita bermakmum pada kita sebagaimana yang dijanjikannya. Andaikata isteri kita tiba-tiba bersikap seolah bukan dirinya, tampil seperti meniru orang lainnya, hal ini bukanlah semata guyon.

Kita tengah menghadapi apa yang saya sebut sebagai habitat—strukturisasi the habits (kebiasaan-kebiasaan)—bukan lagi semata ideologi dan jaringan. Itulah kenapa terkadang kita menemukan orang non-muslim sekali pun dapat terpengaruhi dan “menggandakan” kebiasaan-kebiasaan itu padahal secara personal tak saling kenal. Ketika habitat sudah terbentuk, maka yang diharapkan muncul adalah terjadinya aksi spontanitas yang tentu saja tak mudah untuk dideteksi. Berbagai aksi eksesif yang intoleran, riot hingga terorisme yang beberapa tahun belakangan ini marak terjadi—menjelang pilkada Jakarta dan pasca pilpres 2019—membuktikan apa yang saya sebut sebagai adanya strukturisasi the habits yang bertujuan untuk memantik terjadinya aksi-aksi yang sifatnya spontan. IS (Islamic State) di Indonesia karib dengan strategi ini, tak ada bom gunting pun jadi, seperti yang dua lalu terjadi di sekitar mako brimob Jakarta. Pun, aksi penolakan sebagian masyarakat Yogyakarta atas penyelengaraan acara Harlah NU ke 94 yang sedianya akan dihelat di Kagungan Ndalem Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta di Kauman pada hari Kamis 5 Maret 2020.

Apakah kini kalangan radikal keagamaan di Indonesia menjadi secerdik itu, bertransformasi sedemikian rupa dengan memanfaatkan pop culture dan perempuan untuk memperjuangkan agenda mereka? Fakta berbicara demikian. Adalah Dian Yulia Novi, seorang mantan TKW di Taiwan, yang ter-“emansipasi” oleh Anggih Tamtomo atau yang dikenal dengan nama bawah tanah: Bahrun Naim. Pada tahun 2017 kepolisian berhasil membongkar percakapan Bahrun Naim via telegram. Dalam percakapan itu Naim berujar bahwa di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, lelakinya ditengarai kurang bernyali. Dian Yulia Novi pun mencoba berijtihad bahwa jihad—yang ia maknai sepicik perang dan melakukan aksi bom bunuh diri—tak mengenal gender. Jihad adalah kewajiban semua orang baik lelaki, perempuan, dan terbukti—pada kasus bom Surabaya 2018—anak-anak (Terorisme dan Emansipasi Gender, Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.org).

Jalur pintu belakang memang terbukti efektif untuk meradikalisasi paham keagamaan seseorang. Dengan menundukkan sang isteri, mereka berharap dapat menundukkan anak dan sang kepala keluarga: suami. Ketika suami sudah tunduk, maka tumbuh-kembangnya keluarga yang bersangkutan ditentukan oleh jaringan tersebut. Jangan bermimpi soal otonomi diri sebuah keluarga di sini. Hidup keluarga itu akan berujung seperti helaian daun kering yang jatuh melayang terbawa angin, siap dibakar dan menjadi abu.

Heru Harjo Hutomo adalah penulis, peneliti lepas, mengembangkan cross-cultural journalism, menggambar dan bermusik.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article