Sebuah Catatan Kecil mengenai eksistensi Polisi sebagai Penegak Hukum;
Bagi yang tidak terbiasa berhubungan dengan Polisi, jangankan bertemu dengan orangnya, melihat Markas Besarnya saja mereka akan ciut nyalinya. Betapa tidak, dipintu masuk saja terdapat beberapa orang penjaga yang berseragam gagah, berdiri tegak sambil berkokang senjata.
Di Indonesia, selaku Negara Hukum (Rechtsstaat), terdapat beberapa organisasi Penegak Hukum yang dikenal dengan sebutan Catur Wangsa, antara lain: Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat.
Akan tetapi, dari semua Penegak Hukum yang ada tersebut, tampaknya hanya Polisi yang paling istimewa. Ia memiliki Markas Besar. Penegak Hukum yang lain hanya punya Kantor. Tak istimewa. Karena Cleaning Service saja juga punya kantor.
Selain itu, hanya Polisi yang memiliki Postur atau Body yang paling besar karena mereka memiliki anggota yang berjumlah banyak, terstruktur dan tersebar hingga ke kecamatan diseluruh wilayah Nusantara. Ditingkat Kecamatan disebut Kepolisian Sektor (Polsek), tingkat Kabupaten disebut Kepolisian Resort (Polres), ditingkat Provinsi disebut Kepolisian Daerah (Polda) dan tingkat pusat disebut Kepolisian RI.
Selain itu lagi, Polisi dipersenjatai. Senjatanya juga merupakan senjata yang paling ditakuti pula karena bisa membuat orang lumpuh seketika atau bahkan bisa membuat orang tewas binasa. Penegak Hukum yang lain, kalau menemui bahaya, tentu hanya bisa lari terbirit; ?
Dengan demikian, wajar apabila pada insitusi Kepolisian ini melekat suatu gambaran yang Maha Angker: KEKERASAN.
Yang menarik, karena keangkerannya ini, ada sebutan lain bagi Polisi yaitu ketika dahulu, sekitar tahun 2008, Polisi berseteru dengan KPK. Petinggi Polri, sejak dari Susno Duadji, hingga terakhir dengan ditetapkanya komjen Budi Gunawan (BG) pada tahun 2015 sebagai Tersangka oleh KPK. Perseteruan ini digambarkan sebagai Perseteruan antara Cicak versus Buaya. Polri diumpamakan Buaya sedangkan KPK diumpamakan Cicak.
Tak pernah jelas siapa yang memulai pemberian penyebutan ini tapi ruang-ruang opini publik disuguhi perumpamaan begitu: KPK=CICAK, POLISI= BUAYA;
Saya yakin setiap orang setuju dengan perumpamaan ini, termasuk Polisi, karena tidak pernah terdengar ada polisi protes dengan julukannya sebagai: BUAYA.
Dalam realitas sosial, pandangan orang atas cicak sangat sederhana. Ia binatang kecil yang menjengkelkan karena suka mengotori lantai rumah dan barang berharga lainnya dengan tainya. Tapi kepada Buaya, setiap orang akan ngeri membayangkannya. Ia binatang ganas yang suka makan manusia. Ngeri,,,!!!
Saya tidak mengerti kenapa perseteruan KPK-POLRI tidak diumpamakan sebagai perseteruan : KUCING versus HARIMAU saja. Sebagai Harimau, meski ganas ia masih suka dibanggakan orang karena Harimau adalah Raja. Tapi buaya,,,??? Tak banyak orang yang suka membanggakan buaya. Buaya merupakan simbol yang dibenci orang, terutama perempuan. Pria yang mata keranjang saja disebut : Lelaki Buaya,,,!!! Jadi, Buaya merupakan simbol yang tidak disenangi orang.
Dengan gambaran yang demikian, maka polisi sebagai buaya, lebih dari sekadar Lambang Kekerasan, melainkan juga melekat Lambang Kejahatan: Jahat, Curang, Mata Keranjang dan Pembunuh. Ngeri,,,!!!
Berhubungan dengan polisi dalam perumpamaannya sebagai buaya, dalam suatu perkara hukum pada setiap jenjang memang mengandung banyak bahaya. Seseorang yang tidak punya uang, jaringan dan kekuasaan, akan menjadi Tersangka. Agar tidak ditahan, agar tidak dituntut dengan pasal yang macam-macam, dan seterusnya, semua merupakan tahapan yang mengandung banyak bahaya. Yach, memang buaya, pada ekor dan kepalanya sama berbahayanya,,,!!!
Kata lain, selain bisa menggebuk dan bahkan membunuh orang dengan senjatanya, polisi memiliki kewenangan untuk merampas kemerdekaan orang, yaitu memasukkan orang ke dalam kamar tahanan. Yang sengsara bukan hanya yang ditahan, anak dan keluarganya ikut sengsara,,,!!! Bahkan, bila yang ditahan adalah tokoh besar, yang sengsara bisa jutaan orang dan bahkan bisa satu Republik ikut sengsara.
Gambaran polisi yang demikian, tetap bertahan sampai dengan sekarang. Jadi, meski sekarang Polri memasang Jargon besar-besar, yaitu: PROMOTER atau Profesional, Modern dan Terpercaya, tetap saja tak banyak orang yang mau percaya. Polisi nakal, meski sudah dilaporin, paling ya ditangani begitu2 aja. Tidak memberikan efek jera.
Yang ditakuti dari polisi itu bukan karena ia bisa gebukin orang, tapi ketika polisi dagangan kasus. Merekayasa kasus. Ia menjadi kepentingan pemilik uang dan kekuasaan. Yang salah jadi benar, yang benar jadi salah. Maka hampir setiap orang ingin menghindar agar tidak berurusan dengan polisi. Orang kecurian saja banyak yang tidak mau lapor polisi. Kenapa,,,???; Karena Salah-salah pelapornya yang disalahkan,,,!!!
Tapi banyak orang yang lupa, diantara segala yang buas-buas, ada juga yang menjadi simbol kekocakan dan kecerdasan. Ia bernama Kancil.
Tampaknya, meskipun bertubuh kecil, kancil telah dihitung sebagai variabel penting dalam dunia perbinatangan. Siapa kira-kira yang layak untuk disebut kancil dalam kehidupan dunia manusia,,,??? Saya yakin kancil itu adalah Pengacara. Ia cerdik dan dapat bermain diantara yang buas-buas. Ketika Buaya melawan cicak saja, Buaya tetap butuh kancil sebagai Penasehat Hukumnya. Haaaa,,,, haaaa,,,,!!!!
Tampaknya, hanya Kancil atau setidak-nya pemilik buaya yang dapat mengurangi tingkat kebuasan Buaya. Pemilik Buaya dapat diumpamakan Presiden. Jadi, kalau dalam analogi perbinatangan, hanya presiden selaku Si Pemilik yang dapat mengurangi kebuasan Polisi. Caranya, masukkan ia ke dalam kerangkeng, beri makan yang cukup. Seperti dalam kebun binatang. Kata lain, Polisi harus dikurangi perannya dalam penegakan hukum Karena ia terlalu berbahaya. Ia hadir tidak dirasakan untuk mewujudkan rasa keadilan, melainkan justru menjadi ancaman bagi keadilan itu sendiri;
Dalam topik ini, Presiden selaku Pemiliki Buaya, dapat membuat kebijakan yang harus mengurangi hak, dan fungsi kepolisian dalam bidang penegakan hukum, dengan cara sebagai berikut:
- Optimalisasi Organ pemerintahan yang juga memiliki fungsi kepolisian, antara lain: Kementerian Perhubungan, Perpajakan, Kumham, Kehutanan, Kelautan, dan seterusnya;
- Pimpinan Polri, dapat pada semua tingkat, harus dari unsur sipil lainnya. Bukan dipimpin oleh unsur mereka sendiri,,,,!!!;
Dengan demikian, tampaknya polisi akan berkurang kekuatannya;
Eiiittsss,,,, !!!! Tapi, bagaimana dengan kancil,,,???? Kok disebut Penegak Hukum padahal haknya sering dirampas, terutama oleh buaya,,??? Bahkan, Dalam banyak cerita, kancil sering dideskreditkan oleh buaya. Kalau ada masalah jangan minta tolong ke kancil. Kancil tak bisa apa-apa. Kalau mau minta tolong ke saya saja, kata buaya. Ah,,, benar-benar buaya,,,!!!! Mengatakan kancil berbahaya, padahal dirinyalah yang menjadi pemakan manusia,,,,!!!!; Haaa,,,, haaaa,,,!!!!;
Jakarta, 24 Juli 2019
Tentang Penulis: Kurniadi, adalah seorang Advokat dan pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHM). Juga sebagai Redaktur Tamu jurnalfaktual.id