Rasan-Rasan Politik Warga, Pasca Penangguhan Pilkades

Rasyiqi
By Rasyiqi
6 Min Read
Gambar Ilustrasi kotak suara Pilkades
Gambar Ilustrasi kotak suara Pilkades

Oleh: Kurniadi

jurnalfaktual.id, – Satu hari setelah ditangguhkannya tahapan pelaksanaan Pilkades bagi Desa-desa yang Bakal Calonnya lebih dari 5 (lima) orang. Bupati Sumenep melalui Kadis DPMD, Moh. Ramli, pada tanggal 24/08/2019, menyatakan bahwa penyaringan atas Bakal Calon tersebut akan dilakukan seleksi tambahan.

Yang akan diskor tidak saja hanya mengenai Pengalaman, Usia dan Pendidikan, melainkan mencakup pula Hasil Tes Tulis dan Wawancara.

Selain itu, untuk keperluan tugas-tugas tersebut, Pemda akan mencari dan bekerjasama dengan Akademisi Independen yang akan ditunjuk untuk melakukan seleksi tambahan tersebut;

Pasca diumumkannya adanya Seleksi tambahan seperti disebut diatas, Hasil penelusuran LBH Madura cukup mencengangkan, yaitu hampir semua yang datang ke LBH, pembicaraan Para Pengadu berpusat pada hal-hal berikut:

  1. Siapa kira-kira Akademisi Independen yang akan ditunjuk oleh Kadis DPMD ini.
  2. Apa kreteria independen tersebut?
  3. Apakah Akademisi tersebut dapat seperti Malaikat yang tidak bisa disogok.
  4. Apa saja kira-kira materi ujian tulisnya.
  5. Apakah tidak mungkin soal-soal tersebut dibocorkan?
  6. Dan seterusnya,,,!!!

Jadi, dari rasan-rasan tersebut, akan timbul gejolak baru berupa gerakan pencarian orang tentang sosok independen yang dimaksud, setidaknya mengenai hal-hal berikut:

  1. Bagaimana kriteria independen?
  2. Bagaimana cara memperbandingkan antara objek independen yang akan dinilai?
  3. Bagaimana cara seleksi yang akan dilakukan untuk menentukan independen apa tidak?
  4. Siapa yang akan menyeleksi tim independen tersebut?
  5. Apakah tim seleksi kembali akan dilakukan oleh DPMD yang berdasarkan kasus yang lalu-lalu sudah menunjukkan keberpihakannya kepada Petahana?

Saya berpendapat bahwa bila benar Bupati sudah menyiapkan Perbup Perubahan seperti dilansir oleh beberapa media, maka saya yakin, konflik horizontal akan kembali pecah. Setidaknya moralitas bupati akan dinilai cacat.

Selain itu, sikap Bupati tersebut tidak bijaksana dan terkesan sewenang-wenang, setidaknya terhadap 27 Desa yang didampingi oleh LBH Madura. Karena Perbup tersebut, pembuatannya tidak melibatkan partisipasi mereka.

Kata lain, Bupati tidak belajar dari kekeliruan-kekeliruan yang telah dibuat sebelumnya, dan terkesan hanya ingin bergagah-gagahan, yaitu dengan menonjolkan bahwa pembahasan tersebut sudah melibatkan akademisi.

Entah siapa akademisi yang begitu dibanggakan tersebut, hingga mengesampingkan kewajiban mendengarkan keluh kesah warga. Saya pun penasaran siapa akademisi dimaksud?

Berdasarkan alasan yang disebut di atas, yang paling tepat dan paling patut untuk dilakukan bupati adalah sebagai berikut:

Saran Kesatu

Sepatutnya Bupati koordinasi dengan DPRD, mengenai ketentuan pembatasan jumlah calon yang diatur dalam Perda No. 03/2019.

Pula, Perda baru ini perlu dikritisi dan ditelaah lebih jauh, karena beberapa alasan berikut:

  1. Nomenklatur Perda ini agak ganjil karena berbunyi “Tentang Desa”. Padahal, seharusnya Nomenklaturnya seharusnya berbunyi: Tentang Pilkades. Lho, apa salah kalau berbunyi “tentang Desa”. Iya salah. Karena pembahasan mengenai Pilkades masuk dalam bab tersendiri dalam UU. Sehingga turunannya harus berbunyi “pilkades“. Boleh pakai embel-embel, baik di depan, tengah dan belakang. Yang penting ada pilkades.
  2. Yang di perkenankan untuk mengatur Syarat Tambahan mengenai syarat calon adalah Perda. Bukan PP, bukan Permendagri, apalagi Perbup. Sehingga Perbup bupati dapat dikualifikasi bertentangan dengan Perda.

Saran Kedua.

Sepatutnya Bupati konsultasi ke Istana berkenaan dengan PP.No.43/2014 karena kisruh pilkades antara lain bersumber dari ketentuan PP ini.

Saya berpendapat PP ini mengandung cacat, karena mengatur soal pembatasan jumlah calon, yang seharusnya menjadi domainnya PERDA.

Saran Ketiga

Sebaiknya Bupati melibatkan warga, NGO/Ornop dan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya yang memiliki perhatian terhadap isu-isu demokrasi, hukum dan HAM.

KESIMPULAN HUKUM

  1. Fakta tidak dilibatkannya warga dalam penyusunan Perubahan Perbup, menyalahi asas dan prinsip pembuatan peraturan perundang-undangan.
  2. Pembatasan Jumlah Calon oleh PP, bertentangan dengan UU No.43/2014.
  3. Pembatasan Jumlah Calon oleh Perda dan PP melanggar hak-hak konstitusionalitas Warga Negara yang dijamin oleh UUD 1945.
  4. Uji Kompetensi Yang Dilakukan oleh Tim Seleksi, tidak mencerminkan karakter politik demokrasi, karena setiap warga desa memiliki harapan yang tidak sama mengenai figur calon yang diharapkan. Berpendidikan tinggi, pengalaman, Usia, hasil ujian dan tes wawancara belum tentu mencerminkan aspek-aspek pemenuhan kepentingan politik pada setiap desa.

Aspek lain yang dinilai masyarakat adalah sisi kepribadian calon, meliputi kepedualiannya terhadap sesama, serta perilakunya dalam kehidupannya sehari-hari.

Dibeberapa desa justru kecenderungan pilihan politiknya akan dijatuhkan kepada figur yang mampu menjaga keamanan masyarakatnya. Tidak lalu orang yang mengenyam sekolah tinggi-tinggi, mampu menjaga keamanan desa.

Maka, kasihanilah warga, Duhai bupati. Jangan disamakan antara desa satu dengan desa lainnya. Semuanya memiliki kecenderungan pilihan yang berbeda,,,!!!

Sumenep, 31 Agustus 2019

Tentang Penulis: Kurniadi seorang advokat dan Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH Madura).

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article