Perempuan dalam Kacamata Islam Nusantara

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
5 Min Read

jf.id – Dalam kajian gender orang banyak mengenal beragam perspektif tentang perempuan. Mulai dari yang bercorak modern dengan berbagai variannya—marxisme dan liberalisme—hingga yang bercorak posmodern dan poskolonial. Di Indonesia, bahkan sampai hari ini, yang menjadi role model perempuan yang tercerahkan adalah R.A. Kartini. Dalam catatan-catatannya, Habis Gelap Terbitlah Terang, sangat tampak adik R.M.P. Sosrokartono ini menggaungkan nilai-nilai modern: kesetaraan, keadilan, kebebasan untuk mengaktualisasikan diri, pendidikan, dan seterusnya.

Dapat dikatakan, tuntutan Kartini sebangun dengan tuntutan modernisme Barat. Secara sederhana, bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan lelaki. Barangkali, Kartini memiliki konflik batin antara idealisme modernnya dengan kejawaannya, mengingat ia adalah putri dari seorang bangsawan Jawa yang mesti mengikuti etika perempuan tertentu.

Tak sebagaimana kakaknya, R.M.P. Sosrokartono, yang mampu mengayam tradisi Jawa (Timur), Barat dan Islam, hingga tampak apik tak retak. Ibarat menyusuri sebuah jalan, tanjakan dan kelokannya tak berasa tajam. Tapi sepertinya Kartini “gagal” dalam menganyam tiga tradisi yang berbeda ini. Yang paling menohok, ia tak dapat mendamaikan nilai-nilai kultur Jawa yang menyertainya lahir, tumbuh dan berkembang, dengan nilai-nilai modern yang menjadi tuntutannya ketika sudah melek perkembangan zaman (dan ingat, Kartini pernah berguru pada Kyai Sholeh Darat).

Pada esai kali ini saya tak hendak mengkritisi pandangan-pandangan Kartini mengingat konteks zaman sudah jauh berbeda. Paradigma yang berkembang hari ini memang tak dapat dikenakan pada paradigma saat Kartini masih hidup. Barangkali, pilihan Kartini saat itu memang sesuai dengan semangat zamannya (zeitgeist), tapi belum tentu mutlak sesuai dengan konteks zaman sekarang.

Ad image

Beberapa hari yang lalu mencuat sebuah draf tentang RUU Ketahanan Keluarga di mana salah satu pasalnya berisi aturan bahwa isteri wajib mengurusi urusan rumah-tangga. RUU ini mengetengahkan apa yang pernah saya sebut sebagai “jejer” (Akumu Adalah Jejermu: Wajah Lain Sufisme Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com). Jejer secara sederhana dapat dimaknai sebagai peran dan fungsi. Dalam RUU itu diatur tentang pembagian tugas antara suami dan isteri. Mereka berdua mesti mengatur keluarganya berdasarkan norma agama, etika sosial dan tata perundangan yang berlaku.

Tentu, bagi sebagian kalangan, draf RUU tersebut dirasa sebagai sebentuk kemunduran zaman. Sebagai seorang warganegara Indonesia, saya tak bersikap pro maupun kontra atas draf RUU Ketahanan Keluarga tersebut. Karena, bagi saya pribadi, baik yang pro maupun kontra sama-sama mengalami disorientasi waktu, sama-sama kembali ke perdebatan—untuk konteks Indonesia—yang pernah terjadi di era kolonialisme Belanda.

Satu hal yang perlu saya utarakan adalah bahwa modernisme (dalam bidang apapun), sebenarnya telah mengalami krisis dan bagi kalangan tertentu ditengarai gagal. Seumpamanya pada bidang keagamaan dan pendidikan, justru modernisme tersebut memicu terjadinya fundamentalisme keagamaan (Modernisme dan Pendidikan Tanpa Alternatif, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com). Karena klaim adaptif terhadap perkembangan zaman, pada tataran akidah, seturut dengan tuntutan untuk kembali ke akar, al-Qur’an dan Sunnah, sehingga pada akhirnya akan memberangus ekspresi-ekspresi budaya lokal yang kerap ditengarai sebagai bid’ah. Dan memang, salah satu karakteristik modernitas adalah adanya upaya penyeragaman, persis seperti yang dilakukan pula oleh kalangan fundamentalis keagamaan. Yang menjadi pertanyaan atas segala tuntutan keseragaman ini adalah—mengingat negeri ini teranyam atas unsur-unsur yang berbeda melalui negoisasi dan konsensus—seragam menurut ukuran siapa atau yang mana.

Dengan demikian, di sinilah Islam Nusantara menemukan ruang dan momentumnya untuk bersuara. Setidaknya, dari perspektif Islam Nusantara yang sedari awal menyadari dan mengakomodasi keberadaan serta peran konteks-konteks lokal, setiap sistem budaya memiliki ukuran sendiri untuk mengatur kehidupannya. Maka, bisa jadi, draf RUU Ketahanan Keluarga di atas sesuai dengan suatu sistem budaya atau komunitas tertentu dan tak sesuai dengan sistem budaya atau komunitas lainnya. Seumpamanya, dari perspektif poskolonial, apa yang menjadi idaman dari seorang Kartini turut pula dikonstruksikan oleh kolonial Belanda. Tuntutan kesetaraan waktu itu tak dapat dilepaskan dari ukuran Barat (Belanda). Dan hal ini, secara kultural, adalah sebentuk pemberangusan terhadap lokalitas atau kenusantaraan di mana justru, secara poskolonial, menjadi nilai lebih, keunikan, dan daya tawarnya. 

Share This Article