Jurnalis dan Seorang Kawan yang Ngotot

Rasyiqi
By Rasyiqi
3 Min Read
Ilustrasi Gambar (Kumparan.com)
Ilustrasi Gambar (Kumparan.com)

jfid – Menjadi seorang jurnalis, ujar seorang kawan, adalah pekerjaan paling sulit di dunia. Di zaman yang serba berkembang ini, menurutnya, pekerjaan jurnalis bukan lagi sekedar “verifikasi” fakta dan akurasi data.

Menjadi jurnalis, tambahnya, sudah harus mulai memiliki kemampuan untuk menghadapi goda. Dalam bisnis, goda-an sebenarnya adalah peluang. Goda-an yang datang, dalam bisnis, serupa durian runtuh. Rizki yang tak dinyana. Padahal menjadi jurnalis bukan bisnis belaka.

Dengan bertubi-tubi, berkali-kali dan dengan kalimat yang nyaris seluruhnya sama, kawan yang saya ajak bicara itu menyampaikan maksud yang tidak berbeda: menjadi jurnalis jangan sampai tergoda.

Jika sampai tergoda, tambahnya, fakta bisa bertambah dan berkurang. Tidak hanya fakta, bahkan verifikasi data, pilihan dan susunan kata pun, akan mulai memihak pada penggoda.

Mendengar ujaran panjang yang sebagian besar tampak sepesti wanti-wanti itu, aku tidak langsung percaya. Sebab, jika yang diucapkannya seumpama kalimat bijak, sebuah sudut pandang, pasti hal itu lahir dari peristiwa atau trauma yang melatarbelakanginya.

Dan, akupun berusaha berpikir keras. Apa trauma yang melatarbelakanginya sehingga semua wanti-wanti dia anggap benar?

Tidak lama, aku ingat. Kawanku yang sejak tadi tak henti mewanti-wanti sosok jurnalis itu, adalah mantan sales furnitur. Dalam praktik kerjanya, ceritanya dulu, dia selalu menulis rilis produk dan event untuk media yang diajak kerjasama.

Menurutnya, sebagai patner kerja, dia merasa punya hak untuk komplain pada media. Komplain banyak hal. Mulai dari pemilihan diksi, susunan kalimat dan bahkan pola penulisannya. Pada titik itu, menurutnya, dia punya kemampuan untuk “menyetir” media patnernya.

Sejak awal aku diam. Pura-pura menyimak semua ujarnya dengan seksama. Namun pelan-pelan, aku mulai memberi jawaban. Bahwa wanti-wanti yang dia sampaikan, tidak seluruhnya benar. Dengan berhati-hati aku juga menjabarkan bahwa pembatas antara kerja jurnalistik dan bisnis memang sangat tipis. Hanya sikap profesionalitas. Tidak lebih.

Kala dulu dia merasa punya hak untuk komplain, karena dia merasa keseluruhan dari kerja jurnalistik adalah bisnis. Karena dirinya berkecipung di bisnis. Padahal tidak demikian. Meski tidak bisa dimungkiri, ada jurnalis yang hidup dengan “pola berbisnis”. Itu hanya oknum, bisa saja.

Nah, menghormati mereka yang bertahan–menjaga–kode etik jurnalistik tetap menjadi penting. Dan mengingatkan para jusrnalis yang mengedepankan “pola berbisnis” itu, semestinya menjadi tanggung jawab bersama. Meskipun sebagian bebal.

Mendengar jawabanku dengan nada yang tidak fasih itu, kawanku hanya diam. Pelan-pelan tatapannya begitu lekat memandang. Mungkin, dia tidak terima semua penjelasanku. Dia tetap yakin bahwa mayoritas jurnalis tetap berprilaku “pola berbisnis” dan mengalahkan mereka yang profesional. Paling tidak, baginya, di kotanya sendiri, Sumekar.

Gapura, 02 Juli 2019

Tentang Penulis : Nur Khalis, seorang Jurnalis kelahiran Sumenep.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article