Surat Cinta yang tak Pernah Sampai dari Hubungan Terlarang perempuan Spanyol dan laki-laki Maroko pada masa kolonial

jfid
By jfid
9 Min Read

Sejumlah surat cinta yang ditujukan kepada pria-pria Maroko dari perempuan-perempuan Spanyol, telah disita beberapa dekade lalu. Baru-baru ini, keberadaan surat-surat tersebut terungkap dan menggambarkan bagaimana hubungan romansa semacam ini terlarang pada era kolonial.

“Kapan kamu kembali ke Spanyol?”

jfid – Pertanyaan itu tertulis jelas, menggambarkan rasa putus asa penulisnya, Carmela, sekaligus menunjukkan betapa penting hal ini bagi dia.

“Coba bilang padaku bahwa kamu tidak melirik perempuan lain,” tulis Carmela dari Granada pada tahun 1944.

Akan tetapi, surat itu tidak pernah sampai dan dibaca oleh laki-laki yang seharusnya menerimanya. Surat cinta Carmela tidak pernah sampai ke tujuannya di Maroko.

Yang terjadi, surat itu justru disembunyikan di Spanyol, di tempat penyimpanan tidak terduga yang berisi ratusan surat cinta antara perempuan-perempuan Spanyol dan pria-pria Maroko.

Surat-surat tersebut disita antara tahun 1930-an hingga 1950-an, yang menggambarkan hubungan terlarang pada masa itu.

Selama beberapa dekade, pemerintah kolonial dan protektorat Spanyol di Maroko menyita surat-surat ini secara sistematis.

Kotak penyimpanan itu penuh dengan kalimat-kalimat penuh gairah: “Aku tergila-gila padamu,” tulis seorang perempuan asal Valencia.

Di dalam beberapa surat, disertakan pula foto-fotonya. Potret perempuan dengan tatanan rambut yang rapi, berpose demi mengingatkan kekasihnya yang jauh seperti apa rupa mereka, terselip di antara kata-kata yang tertulis.

Salah satu pengirim surat juga menyertakan foto dirinya saat mengendarai sepeda, potret dari kehidupan sehari-harinya.

Semua surat itu disimpan dengan rapi di dalam amplop oleh petugas, lalu dilupakan begitu saja di antara dokumen-dokumen administrasi lainnya.

Surat-surat itu telah berdebu sampai akhirnya ditemukan dan diterbitkan oleh akademisi Josep LluísMateo Dieste dan Nieves Muriel García.

Setiap surat menggambarkan romansa para pengirimnya, sekaligus memberi tahu kita soal penindasan yang dihadapi oleh mereka yang menjalani hubungan tersebut.

Pemerintah Spanyol mengupayakan segala cara untuk menggagalkan hubungan semacam ini.

“Sebagai aturan umum, pernikahan antara tentara Maroko dengan perempuan Spanyol harus dicegah,” bunyi arahan yang disampaikan pemerintah pada tahun 1937.

Sejak tahun 1912, Spanyol mengeklaim kedaulatannya atas sebagian wilayah Maroko sebagai protektorat. Bersama Perancis, Spanyol membagi negara tersebut menjadi dua zona.

Hal itu ditentang oleh orang-orang Berber, yang merupakan etnis asli di wilayah utara Afrika. Pergolakan yang paling terkenal adalah Perang Rif yang memakan banyak korban pada 1921-1926.

Perang tersebut menyebabkan banyak tentara Spanyol tewas di tangan pasukan yang dipimpin oleh Abdelkrim al-Khattabi.

Untuk menghadapi tantangan itu, Spanyol menambah jumlah pasukannya di Maroko, bahkan merekrut ribuan warga Maroko menjadi tentaranya.

Pada tahun 1930-an, wilayah garis pantai utara di sepanjang negara itu, dari Atlantik hingga Asilah, dikuasai oleh Spanyol dan Tetouan menjadi ibu kotanya.

Dari pangkalan militer di wilayah inilah, Jenderal Francisco Franco melancarkan kudeta terhadap pemerintahan Republik di Spanyol pada 1936. Kudeta itu kemudian memicu Perang Saudara Spanyol.

Ketika perang berkecamuk, ribuan pria Maroko yang sebelumnya direkrut kemudian dikirim ke Spanyol untuk berperang bersama pasukan Franco.

Selain militer, ada pula para pelajar, pedagang, serta pekerja lainnya yang turut bergabung dan akhirnya menetap di seantero Spanyol, baik di kota-kota maupun di pedesaan.

Lagipula, Maroko hanya berjarak selemparan batu dari Spanyol. Sisi tersempit Selat Gibraltar hanya memisahkan Pantai Maroko dengan ujung selatan semenanjung Iberia sejauh 14 kilometer.

Ke mana pun mereka pergi, laki-laki Maroko bertemu dengan perempuan Spanyol.

Di Salamanca misalnya, seorang perempuan bernama Concha bertemu dengan Nasar, tentara Maroko yang ditugaskan di wilayah ini.

Keduanya jatuh cinta, sehingga Nasar menulis surat kepada atasannya untuk meminta izin menikahi Concha pada 1938. Namun bagi pemerintah kolonial Spanyol, hubungan semacam itu harus dilarang.

Mereka mengejek Concha dan merendahkannya karena dianggap “tua, jelek, gendut seperti kuda nil dan sedikit pincang”.

Mereka juga menduga Nasar hanya tertarik kepada Concha karena dia memiliki rumah, sehingga membangkitkan “cintanya yang membuncah”.

Para pejabat memerintahkan untuk “mempersulit sebisa mungkin” demi mencegah hubungan itu “tanpa melarangnya secara terang-terangan”, seperti yang tertuang dalam sebuah perintah pada tahun 1937.

Mengingat rezim Franco mengandalkan kesetiaan tentara Maroko, mereka tidak terang-terangan menyatakan hubungan semacam ini ilegal. Sebaliknya, mereka melakukan berbagai cara untuk mempersulit hubungan tersebut.

Misalnya, ketika seorang perempuan terdeteksi mengirim surat kepada seorang laki-laki di Maroko, otoritas akan mencegah perempuan tersebut pergi ke Maroko.

Mereka juga sering melarang laki-laki Maroko memasuki Spanyol, sehingga situasi ini membuat hubungan mereka sulit dilanjutkan.

Pada tahun 1948, pihak berwenang menyadap sebuah surat antara Carmen dari Zaragoza untuk kekasihnya, Abdesalam di Maroko. Otoritas di Tetouan langsung mencegah keduanya untuk bisa mengunjungi satu sama lain.

Padahal di dalam surat tersebut, Carmen mengabarkan tentang putri mereka, yang kemudian tumbuh besar tanpa pernah bertemu ayahnya. Namun para petugas tidak mempertimbangkan nasib anak tersebut.

Mengapa mereka memperlakukan hubungan-hubungan semacam ini dengan cara seperti itu?

Salah satunya karena ideologi reaksioner kediktatoran tersebut.

Pemerintahan Franco sangat misoginis, mengontrol setiap gerak-gerik perempuan, dan membatasi akses mereka terhadap pekerjaan.

Mereka juga memandang diri mereka sebagai pembela agama Khatolik. Atas alasan agama, perempuan yang menikah dengan laki-laki Muslim dianggap “telah hilang keimanannya”.

Namun alasan terbesarnya adalah apa yang disebut sebagai “prestigio de reza” atau “kehormatan ras”.

Agar pemerintahan kolonial langgeng, Spanyol harus dipandang lebih unggul dari Maroko.

Pemerintahan Franco menganggap pernikahan sebagai pengikat perempuan terhadap laki-laki. Pernikahan semacam ini akan membuat perempuan Spanyol tunduk pada laki-laki Maroko.

Jika hal ini menjadi umum, maka akan melemahkan penopang dominasi kolonial.

Sebaliknya, hubungan antara laki-laki Spanyol dengan perempuan Maroko yang banyak terjadi di wilayah protektorat, tidak diperlakukan seperti itu. Sebab hubungan semacam ini dianggap mereproduksi relasi kuasa yang berlaku di masyarakat ke dalam skala yang intim tanpa mengancamnya.

Ini tidak hanya terjadi di Spanyol. Ketakutan akan hubungan perempuan Eropa dengan laki-laki dari negara terjajah adalah hal yang umum di seluruh pemerintahan kolonial Eropa.

Di Perancis, pemerintahnya menyatakan ketidaksetujuan serupa atas konsekuensi politik dari hubungan semacam ini.

Pemerintah Belanda di Hindia Timur serta pemerintah Inggris di India juga memandang hubungan antara perempuan Eropa dengan laki-laki terjajah sebagai sesuatu yang lebih mengancam dibandingkan hubungan yang terjalin sebaliknya. Mereka pun memberlakukan kebijakan yang mempersulit hubungan itu.

Meskipun upaya untuk mencegah hubungan semacam ini beragam, mulai dari sebatas tidak disetujui hingga benar-benar dilarang, ketakutan yang mendasarinya tetap sama: hubungan tersebut merupakan sebuah ancaman.

Surat-surat yang baru ditemukan ini telah mengungkap bahwa di dalam masyarakat kolonial sekalipun, perjumpaan adalah hal yang biasa dan bisa mengarah pada persahabatan, pacaran, hubungan seksual, hingga pernikahan.

Membuka surat-surat ini adalah momen yang mendebarkan, semacam jendela menuju kehidupan yang jarang diungkap di dalam dokumen-dokumen resmi.

Hal ini juga meresahkan mengingat sebagian besar surat-surat itu tidak pernah sampai ke penerimanya. Rasanya seperti melanggar privasi karena orang-orang yang mengirimkan surat ini tidak pernah memilih untuk diperlakukan seperti ini.

Ketika Maroko merdeka pada tahun 1956, pemerintahan protektorat di Tetouan ditutup dan sebagian besar arsipnya pun terlupakan.

Mayoritas berakhir disimpan di pusat arsip pemerintahan di Alcala de Hanares, yang terlupakan seperti sebagian besar sejarah kolonial Spanyol di Afrika.

Namun meskipun beberapa dari surat-surat tersebut telah diterbitkan baru-baru ini, kisah para penulisnya belum sepenuhnya diketahui. Arsip yang tersimpan lama dan terlupakan ini belum mengungkap semua rahasianya

Dr Arthur Asseraf adalah sejarawan Perancis, Afrika Utara, dan Mediterania modern.

Gambar ilustrasi oleh Matt Thomas

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article