Papua dan Sumpah Pemuda

Deni Puja Pranata By Deni Puja Pranata
7 Min Read
- Advertisement -

jfID – Sakralitas sumpah pemuda dan nilai yang menjadi tonggak kemerdekaan Indonesia diuji dengan sebuah seruan Papua Merdeka. Sebagai putra bangsa merah putih, tentu mengharamkan seruan itu. Lantas, sebagai manusia Papua yang berikrar di puncak gunung dengan kemerdekaan Papua harga mati adalah kebenaran yang mereka yakini.

Sumpah Pemuda dalam kongres ke II pada 1928 adalah upaya secara tegas mengatakan Indonesia merdeka. Walau dalam teks tak ada kalimat Merdeka, karena kala itu, Belanda melarang semua masyarakat mengatakan kata Merdeka.

Sumpah Pemuda lahir dan beberapa kali diuji, dengan datangnya Jepang, kembalinya Belanda, tuntutan dan munculnya seruan dari berbagai daerah untuk merdeka. Aceh Merdeka, Tuntutan Riau Merdeka, tuntutan Sulawesi Merdeka (Makasar), tuntutan Kalimantan, Madura, Minahasa, Bali, Yogyakarta, Sumatera Barat (Minangkabau), Papua Merdeka, upaya Republik Maluku Selatan (RMS), dan berhasilnya Kemerdekaan Timor Leste (2002).

Dilansir dari kabarpapua.co, Dalam sejarah Sumpah Pemuda, 3 anak muda Papua, bernama Abner Ohee, Aitai Karubaba, dan Orpa Pallo ikut dalam Konggres Sumpah Pemuda II tahun 1928.

“Ketiganya mengetahui bagaimana proses bersejarah sumpah pemuda menyatukan kaum milenial jaman itu untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Ketua Barisan Merah Putih, Ramses Ohee bahkan menyebutkan banyak warga asli Papua tak mengetahui adanya beberapa pemuda Papua ikut hadir dan menjadi saksi peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda itu,” dilansir dari kabarpapua.co, Selasa (27/10/2020).

Ketua Barisan Merah Putih, Ramses Ohee menunjukkan undangan kongres sumpah pemuda. (KabarPapua.co/Katharina)

Kini, Sumpah Pemuda kembali menghadapi sebuah oposisi binner dengan tuntutan para kelompok masyarakat yang ingin Papua Merdeka. Secara subyektif, saya mengatakan sepakat dengan perkataan seorang mantan Jendral yang tak ingin saya sebut namanya. Ia berkata: “Negara tidak boleh kalah dengan segerombolan orang”

Saya sangat sepakat, dan itu perlu didasari kemanusian dan menjungjung tinggi keadilan. Setahun lalu, publik Indonesia pasti mengingat Jimmy Demianus Ije yang menangis (anggota DPR- RI dari dapil Papua Barat). Tepat 3 Oktober 2019, saat pemilihan ketua MPR. Dirinya menangisi para masyarakat kabupaten Nduga yang mengungsi tanpa ada perhatian dari pemerintah.

“Mari kita bantu masyarakat Papua yang mengungsi, anggota di parlemen ini sepakat? Jika tidak! Kalian bukan Negarawan, kalian disini penipu semua,” ungkapan Jimmy Demianus Ije di parlemen. 3 Oktober 2019.

Dalam sejarah tokoh Bangsa, Soekarno pun 2 kali menagis sesunggukan. Sebagaimana yang diterangkan Sukmawati, Yang pertama, menangisi dirinya sendiri yang diperlakukan oleh bangsanya (masa orde baru) dan menangisi rakyat Papua.

“Kepada kami dikatakan, bahwa rakyat Irian Barat bukan saudara-saudara kami, dan bahwa mereka berasal dari keturunan yang lain dan bahwa oleh karena itu Irian Barat bukanlah termasuk Indonesia. Kami bertanya lagi: “Manakah negeri yang penduduknya adalah murni berasal dari satu keturunan? Malahan di dalam kenyataannya selama beberapa ratus tahun di masa yang lalu, Irian Barat telah diakui sebagai satu bagian Nusantara Indonesia.” Soekarno.

Berbicara isu Papua sungguh sangat sensitif, seorang penulis mengatakan dengan garang, kini banyak bermunculan opini dan artikel-artikel provokatif dan banyak analis dadakan. Dan jika itu benar, apalah artinya demokrasi.

Namun, Demokrasi tidak membenarkan upaya-upaya menghasut, dan memecah belah persaudaraan serta menimbulkan permusuhan diantara anak bangsa. Karena sebelum Demokrasi itu ada, Indonesia sudah mengenal persatuan yang tertuang dalam Sumpah Pemuda.

Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Masyarakat Indonesia yang Hitrogen, memiliki latar suku berbeda, ras berbeda, bahasa berbeda, dan menyepakati semua perbedaan itu dengan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Adalah gagasan besar yang pernah dicipta oleh anak bangsa.

Lalu bagaimana dengan Papua? Bagaimana dengan Kelly Walik yang mati? Bagaimana dengan Benny Wenda? Dengan nama Tuhan dan rasa cinta yang dalam, semua pasti selesai.

TNI dan Polri pasti tau, para pemberontak di Papua yang turun gunung dan menyerahkan diri. Mereka menyerah karena ingin pekerjaaan dan hidup sejahtera.

Dengan kematian Kelly Walik dan para pejuang yang gugur inginkan Papua merdeka. Negara, harus menjamin kesejahteraan rakyat Papua, maka, dengan cara itu, Kelly Walik dan yang gugur menjadi Pahlawan Revolusi kemajuan Provinsi Papua dan Papua Barat. Bukan Pahlawan revolusi kemerdekaan Papua.

Bagaimana dengan nama Benny Wenda dan kawan-kawan. Mereka jangan dijadikan musuh Negara, selama rakyat Papua memiliki stigma dijajah, stigma dianak tirikan, maka Benny dan kawan-kawan akan terus bicara. Biarkan Benny bicara dengan fakta rakyat Papua sejahtera.

Sebagai manusia, kita harus sadar, jika Belanda dan Bangsa bangsa lain menjajah Indonesia, karena kita diadu domba. Kerajaan satu diadu dengan kerajaan lain, yang akhirnya menguatkan posisi penjajah.

Dan sejak kapan Bangsa Indonesia menjadi penjajah? Makasar, Bali, Jawa, Madura, Papua Melanesia, Bugis, Sunda, Batak, Dayak, Sama, Betawi, adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan oleh Sumpah Pemuda.

Sebagai anak bangsa yang taat bernegara pasti mencitai Papua. Mereka yang pernah menyakiti masyarakat Papua, adalah orang-orang yang tak mengenal Sumpah Pemuda. Dan senjata takkan pernah mensejahterakan. Sampai kapan jumlah janda dari istri-istri TNI & Polri yang bertugas di Papua, tak ada, dan Mamak-Mamak di Papua hidup bahagia.

- Advertisement -
Share This Article