Membaca Populisme Jawa

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
- Advertisement -

jf.id – Sebagaimana kajian keislaman, kajian Jawa atau yang saya istilahkan sebagai kejawen, memiliki pula beberapa kriteria tertentu yang tak mudah untuk dikuasai. Setidaknya, untuk menguasai keislaman orang perlu mengerti bahasa sekaligus gramatika Arab. Belum lagi literatur-literatur yang menjadi referensi utama bidang-bidang keislaman. Demikian pula kejawen, orang mesti pula paham segala tetek-bengek tersebut, yang membutuhkan waktu yang tak sedikit untuk menguasainya.

Seperti basis filosofi Jawa yang terserap dalam karya-karya sastra klasiknya, aliran-aliran spiritual yang mendasarkan diri padanya, corak arsitektural bangunan-bangunan klasiknya, berbagai tosan aji-nya, sejarahnya, berbagai varian sub-kulturnya, batiknya, seni pewayangan sekaligus karawitannya, pawukon-nya, sistem politiknya, dan sebagainya.

Satu contoh mengenai populisme Jawa itu adalah maraknya kemunculan berbagai kerajaan baru yang akhir-akhir ini menyita perhatian publik, setelah sebelumnya diramaikan pula oleh fenomena yang pernah saya sebut sebagai populisme kanan (Hikayat Kebohongan, Heru Harjo Hutomo, islami.co)—atau ada yang menyebutnya populisme agama dan populisme Islam.

Karakteristik kedua bentuk populisme itu sama saja: adanya pendangkalan-pendangkalan ajaran, pendistorsian paham (Hikayat Kebohongan, Heru Harjo Hutomo, jalandamai.org), serta apa yang oleh Tom Nichols sebut sebagai “the death of expertise.” Itulah kenapa ada pula yang sempat mendamik petinggi Sunda-Empire sebagai seorang mantan pendukung HTI.

Ad image

Pendangkalan pemahaman tersebut tampak saat kerajaan-kerajaan baru itu melakukan klaim diri yang bombastis: imperium yang menaungi seluruh dunia di mana eksistensi kerajaan-kerajaan lainnya di dunia ini di bawah palilah (baca: restu) mereka.

Memang secara sekilas klaim diri ini seperti klaim seorang khalifah pada sistem khilafah Islamiyah. Penafsiran mereka atas istilah-istilah keraton Jawa seumpamanya, juga menyibakkan fakta bahwa mereka sesungguhnya tak tahu apa-apa tentang gelar ataupun istilah-istilah tersebut.

Taruhlah kasus Sinuhun Totok di Purworejo, barangkali ia tak pernah membaca Negarakretagma yang memuat pula tata pemerintahan kerajaan Majapahit. Di sana disebutkan ada yang namanya “Bhumi” ataupun “Nagara.” Yang pertama bermakna wilayah kekuasaan yang di hari ini lazim disebut sebagai kerajaan yang memiliki batas-batas teritorial.

Adapun yang kedua adalah wilayah setingkat provinsi yang dipimpin oleh orang-orang yang bergelar “Bhre” yang memiliki kekuasaan di bawah sang raja Majapahit. Itulah kenapa dahulu wilayah kekuasaan pusat Majapahit disebut sebagai “Kertabhumi” yang sekarang merujuk ke wilayah Mojokerto dan sekitarnya.

Tata pemerintahan kerajaan Majapahit itu pun diwarisi pula oleh kesultanan Mataram Islam. Seumpamanya penyebutan wilayah-wilayah yang menjadi wilayah satelitnya sebagai wilayah “Mancanagara.” Pada keraton Ngayogyakarta misalnya, pusat pemerintahan disebut sebagai “Nagara” yang berkedudukan sebagai ibu kota di mana keraton terletak. Sedangkan wilayah-wilayah di sekitar wilayah “Nagara” disebut sebagai “Nagaragung.”

Madiun dan beberapa wilayah yang sekarang karib dikenal sebagai daerah “Mataraman” (Tulungagung, Kediri, dst.) dahulu merupakan wilayah “Mancanagara” dari kesultanan Ngayogyakarta. Adapun Ponorogo dan beberapa daerah lainnya di bawah kekuasaan kasunanan Surakarta.

Dengan demikian, sesuai dengan tata pemerintahan ini, istilah “Buwana” ataupun “Rat” dahulu mengacu pada keseluruhan wilayah kekuasaan sang sultan (Ngayogyakarta) ataupun sang sunan (Surakarta) yang meliputi wilayah “Nagara,” “Nagaragung” dan “Mancanagara.” Sepadan dengan istilah “Bhumi” pada tata pemerintahan Majapahit.

Dengan menyeksamai hal itu, maka fenomena kerajaan-kerajaan baru yang akhir-akhir ini marak membuktikan adanya apa yang saya sebut sebagai populisme Jawa. Klaim diri atas penguasaan dunia yang diterima dan dimaknai secara mentahan (literal) seolah menjadi bukti tentang adanya pembodohan dan pendangkalan budaya Jawa.     

- Advertisement -
Share This Article