Hidup Hanya Mampir Bermain

Tjahjono Widarmanto
7 Min Read
"Paman Dhomplang," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020.
"Paman Dhomplang," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020.

jfID – Pepatah mengatakan ‘dunia hanyalah panggung sandiwara’, dan manusialah para aktornya. Andrew Greely (dalam Sindhunata, 2012) menggemakan kembali suara Shakespeare yang mengatakan bahwa dunia adalah tempat bermain yang diperuntukkan untuk manusia. Hal yang senada juga diungkapkan Plato berpuluh tahun sebelumnya yang mengatakan bahwa kita boleh membayangkan, bahwa tiap-tiap manusia adalah boneka yang dibuat oleh dewa-dewa, mungkin dibuat sebagai sebuah permainan, atau mungkin permainan yang dibuat dengan sangat serius. 

Konsep Plato bahwa manusia adalah boneka yang menjadi alat dan menjalankan peran dalam “permainan” yang telah diskenario Tuhan ini, mirip konsep Jawa dalam wayang. Keberpautan manusia dan  wayang dalam masyarakat Jawa secara gamblang dinyatakan dalam Serat Centini  jilid IX pupuh 598 tembang megatruh bait 3 dan 4;

//..”janma tama karya lajem mring pandulu/sasmitaning Hyang Sejati, dalang lan wayang dinunug/pamanggone Hyang mawarni/karya upameng pandulon”/ (Manusia utama membuat pandangan samara yang samar/sebagai pertanda Hyang Sejati, dalang dan wayang memiliki tugas tertentu/menempatkan kehendak Tuhan beraneka ragam/dengan cermin yang terlihat).  //”Kelir jagat gumelar wayang pinanggung/asnapun mahluking widhi/gedebog bantala wegung/blencong padhaninging urip/gamelan gendinging lakon//”(Kelir lambang jagat di atas panggung/beraneka ragam titah tuhan/batang pisang melambangkan bumi/sinar blencong melambangkan cahaya hidup/gamelan melambangkan irama lakon manusia//. 

Realitasnya, manusia memang terkait dengan bermain dan permainan. Maka, Johann Huizinga menasbihkan manusia sebagai homo ludens, manusia yang bermain. Manusia dilahirkan dalam permainan, berperan dalam permainannya dan keberadaannya disuburkan oleh permainan. Huizinga dengan tegas berpendirian bahwa permainan pada akhirnya melahirkan kultur sekaligus menjadi pondasi dan sumber dari kultur dan peradaban.

Permainan dan bermain menjadi salah satu unsur yang aktif dalam proses pembentukan kultural masyarakat. Bahkan menjadi salah satu unsur penting dalam membentuk fundamental sikap dalam kehidupan sosial. Permainan dan bermain memiliki beberapa spirit, salah satunya adalah spirit persaingan. Persaingan yang ada dalam permainan dan pada proses bermain menjadi dorongan sosial yang tak sadar muncul dalam proses kehidupan manusia. Persaingan menjadi tuntutan bawah sadar kehidupan manusia. Yang paling konkret mewujud pada aturan perang, strategi perang, penaklukan, persekutuan, jejaring sosial, rasa menghormati, dan kesadaran mengakui keberadaan lainnya, dibangun atas spirit dan pola-pola permainan dan aturan-aturan dalam bermain.

Melihat betapa permainan dan bermain menjadi landasan proses kultural manusia, maka Ruben Alves menggarisbawahi bahwa kultur dan proses pembentukan kultur dapat mudah dimengerti melalui ‘wajah permainan’ (sub specie ludi). Pendapat ini menegaskan tesis Huizinga bahwa kultur dan peradaban manusia dibentuk melalui tahap awal yaitu permainan dan proses bermain serta terus berlanjut sepanjang hidupnya.

Melalui permainan, manusia tak sekedar melahirkan kultur, namun melalui permainan dan bermain, manusia dapat mentransendensikan dirinya. Bahkan melalui permainan dan bermain, manusia dapat melakukan upaya katarsis melupakan aktivitas kehidupan sehari-harinya. Kehidupan manusia yang telah menjadi sarat oleh beban pekerjaan dan target pemenuhan ambisi secara kapital dan ekonomis, dapat dinetralisir melalui permainan dan bermain. Melalui permaian dan bermain, manusia bisa keluar dari beban kehidupan, dapat membebaskan diri untuk sejenak tidak lagi tunduk pada tuntutan yang ambisius yang memenjarakannya. Melalui bermain dan permainan, manusia bisa melepaskan jiwanya dari berbagai keterpaksaan. Pendek kata, melalui permainan dan bermain, manusia dapat memperoleh kembali kegembiraan.

Harus digarisbawahi di sini bahwa melalui bermain manusia memang mampu mentransendesikan realitas hidupnya, namun ini hanya bersifat sementara. Artinya, manusia tidak selamanya bermain, suatu saat ia harus merelakan dirinya untuk kembali ke realitas kehidupannya. Kesementaraan ini pun mengingatkan bahwa tidak ada satu pun keabadian dalam proses kehidupan manusia. Melalu permainan dan bermain bisa dihikmati kesementaraan.

Bermain memiliki dua oposisi binner. Di satu sisi bermain adalah proses kebebasan yang bergembira dan di sisi lain, bermain membutuhkan keseriusan. Manusia harus serius dengan apa yang harus dimainkannya. Namun, serius dalam bermain ini dilandasi bukan karena ketertundukkan dan keterpaksaan melainkan melalui pilihan bebas. Maka bermain berbeda dengan bekerja. Manusia bisa dipaksa untuk bekerja tetapi tak mungkin dipaksa untuk bermain. Bermain menyatukan kutub-kutub yang berbeda: kegembiraan dan penderitaan, komedi sekaligus tragedi; yang disebut Plato sebagai Philebos! 

Kehidupan global telah mengikis eksistensi manusia yang homo ludens dan menggesernya menjadi sekedar homo economikus. Manusia digencet oleh tuntutan ekonomi dan kapitalis untuk memburu target , ambisi dan profit. Kehidupan manusia ditentukan dan dikendalikan hukum-hukum ekonomi dan kapital. Manusia menjadi sekedar kuda beban bagi tuntutan ekonomi dan kapitalis, sehingga tak lagi menikmati kegembiraan dan kemerdekaannya. Tak ada ruang untuk menikmati kegembiraan, tak ada ruang untuk menikmati aktivitas yang riang. Aktivitas manusia terjebak mengabdi pada tujuan ekonomi: untung atau tidak. Maka yang terjadi, manusia menjadi mahluk yang asing dengan dirinya sendiri sekaligus tak sanggup lagi menikmati ketenangan hidup. Manusia hidupnya menjadi diburu target. Menjadi sekedar alat untuk mencapai hasrat kepenuhan lahiriah, yang boleh jadi menjadikan manusia kaya raya namun miskin secara batiniah, kehilangan kebahagian dan kegembiraan sekaligus kehilangan nilai-nilai kemanusiaan. Yang lebih mengerikan lagi, manusia tak lagi bisa merasa cukup, selalu gelisah dan was-was karena merasa selalu kurang. Tak lagi jadi manusia yang mulia tapi sekedar menyia-nyiakan hidupnya menjadi budak rasio ekonomi dan prinsip untung rugi.

Manusia yang terbelenggu dan diperbudak rasio ekonomi akan terjebak pada kesia-siaan karena memperalat hidupnya untuk mengejar bayang-bayang. Oleh karena itu, perlu untuk kembali secara serius untuk menyadari bahwa hidup hanyalah sekedar mampir bermain, hidup sekedar mampir dolan. Ayo bermain, ayo dolan untuk memerdekan jiwa!.

Tjahjono Widarmanto adalah esais dan penyair Indonesia yang tinggal di Ngawi.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article