Babu Rumah Banteng Turun Gunung Gebuk KPK

Citra Dara Trisna
8 Min Read
Gambar ilustrasi, detik.com
Gambar ilustrasi, detik.com

jf.id – Prediksi Bu Mega sebagai empunya indekos rumah banteng memang jarang meleset. Benar saja, ternyata isi di kamar mandi indekos tidak hanya ikan-ikan coklat pemakan uget-uget, karena di dalam sana ada buaya. Kalau ia tidak sepenuhnya sigap bak pawang, lengan Mang Hasto Kristiyanto, salah satu pengurus indekos, bisa koyak dicaplok buaya. Kejadian yang hampir merenggut keselamatan Mang Hasto ini sekaligus menegaskan kewaskitaan sekaligus mengangkerkan Bu Mega di mata internal rumah banteng dan juga indekos-indekos lain.  

Mungkin bisa runyam urusannya kalau sampai tangan Mang Hasto jadi tergigit. Terlebih bila buaya di kamar mandi mengobrak-abrik dan menggeledah ruang kerja Mang Hasto. Sehingga pada momentum rakernas rumah banteng di Kemayoran, Jakarta, dengan lantang ibu kita semua ini mengancam sekian banyak babu dan para penghuni yang hadir. 

”Saya tidak akan melindungi kader yang tidak taat terhadap instruksi partai. Saya akan menggebrak hal yang seperti biasanya, berkali-kali agar sadar terhadap tugas ideologi kita,” kata Bu Banteng. ”Jika tidak siap silahkan kalian pergi, keluar dari PDIP. Siap atau tidak? Berani atau tidak?” Lanjutnya sembari menagih kesetiaan penghuni dan para babu. 

Ditanya seperti itu, para penghuni dan babu jadi ketularan berani dan mencoba ikut mengangker-angkerkan diri. ”Kami siap… Kami berani…,” kata para babu dan penghuni. Saya yakin, seandainya para babu sekalian itu tak siap, mereka tak akan berani “berkata tidak”. 

Memang benar bila akhir-akhir ini angin di sekitar komplek indekos memang sedang berhembus sejuk. Kalau biasanya angin segar berhembus ke segala penjuru indekos koalisi rumah banteng, kini angin itu seolah hanya tertuju di satu tempat saja: rumah banteng. Beragam kegaduhan baik di sekala nasional atau internal, seolah tak menggetarkan rumah berwarna merah itu. Beragam kegaduhan yang berhasil padam itu, di mata para penghuni dan babu pengurus rumah banteng, dianggap sebagai manifestasi dari “wahyu keprabon” yang masih berkilat-kilat di ruang pusaka dan terpancar di atap wuwungan rumah. 

Mungkin inilah yang membuat para babu semakin kompak mengurus rumah tangga. Buktinya, gonjang-ganjing berita penetapan tersangka Mang Hasto pascapenangkapan anak buahnya juga turut mengundang Mang yasonna Laoly, babu rumah banteng yang sedang didaulat sebagai menteri, untuk turun gunung membantu rekannya sesama babu. Bentuk solidaritas yang diberikan Yasonna adalah dengan membentuk tim hukum yang terdiri dari beberapa pengacara untuk melaporkan penyidik KPK ke dewan pengawas. 

Kedatangan Mang Yasonna kali ini mengundang banyak spekulasi. Ada yang bilang bila Yasonna malu lantaran pelemahannya pada kantor buaya ini masih belum sepenuhnya efektif. Karena masih saja ada buaya yang berani mengganggu penghuni rumah banteng. Ada pula yang bilang turun gunungnya kali ini lantaran hanya ia yang dipercaya menjinakkan buaya-buaya sinting yang masih berupaya menggigit. Sedangkan spekulasi yang lainnya menganggap bahwa Yasonna turun karena ibu indekos sedang tidak enak hati lantaran upayanya menjadi sebenar-benarnya ratu di jagat kecil Indonesia menemui ganjalan. 

Mungkin di konpres pembentukan tim hukum ini mengisyaratkan kesungguhan Yasonna dalam menegaskan posisi dirinya lebih pada petugas partai, bukan sebagai punggawa negara. Sehingga ia merasa perlu menggebuk dan memberi pelajaran pada buaya gila yang berani mengganggu proses suap PAW anggota DPR RI.

Cipratan Air dan Semar Bisu

Memang lumrah bila indekos pemenang bakal jadi sorotan media. Kalau karena hanya soal waktu hingga media sontoloyo itu tidak lagi bisa sembarangan ngomong aneh-aneh. Seperti beberapa hari ini ramai diberitakan kalau Yasonna Laoly dianggap bermuka dua dan melanggar Pasal 1 Undang-undang (UU) Nomor 28 tahun 1999. Yasonna yang dianggap sebagai penyelenggara negara dilarang merangkap jabatan dengan kelompok lainnya. 

Apa yang dilakukan Yasonna Laoly dianggap sebagai sikap politik yang terang-terangan dalam membela PDIP. Kalau ada pengamat yang bilang apa yang dilakukan Yasonna bakal mencederai kepercayaan rakyat kepada pemerintahan Jokowi, itu tidak akan terjadi. Terjunnya Yasonna bersama beberapa pengacara bukan tanpa hitungan yang jelas. Soal mengapa ia dipilih sebagai salah satu bagian dari tim yang menggebuk KPK, meski bukan sebagai ketua, itu karena Yasonna adalah ikon yang menggetarkan pengawas KPK. 

Reputasinya dalam pelemahan KPK beberapa waktu lalu sudah teruji dan terbukti ampuh. Dan bahkan mungkin apa yang dilakukannya membuat indekos lain diam-diam menyimpan terimakasih yang mendalam padanya. Soal bagaimana pandangan rakyat, itu juga telah diperhitungkan. Karena rakyat hari ini telah menjelma menjadi Semar bisu yang terbelah. Di mata rakyat, puncak dari segala irasionalitas politik di pemerintahan Jokowi adalah ketika tidak berdaya di depan Bu Mega. Jadi kalau sekedar menteri yang ikut andil dalam menggebuk KPK sekali lagi tentu saja itu bukan masalah serius.

Mungkin segala persolan yang nampak besar di corong media tidak mungkin terjadi tanpa adanya pengamat politik yang sok eksis. Di negara di mana kritik dibiarkan jadi sekedar obrolan tanggung ini, hanya sekedar tetesan air yang dicipratkan semut ke api yang membakar Nabi Ibrahim. Cipratan air ini mungkin ibarat benih yang butuh waktu lama untuk tumbuh dan tak akan menyelamatkan Indonesia dalam waktu dekat. 

Para pengamat politik boleh saja nggaya dan sok eksis lantaran mengkhawatirkan pelanggaran UU Nomor 28 tahun 2009 sebagai cikal bakal KKN dalam praktik bernegara. Tapi, apa yang ia khawatirkan hanya di kulit luar dan tidak substansial. Kalau memang para pengamat politik yang sok idealis itu berani mengusut, silahkan saja usut perkarakan ”berak nasional” di pilpres kemarin. Karena dari berak nasional—yang juga menelan banyak korban—inilah yang melahirkan beraneka ketidakseimbangan berpikir dan mengambil keputusan di segala bidang. 

Ketidakseimbangan inilah yang bakal menjadi awal ”sakit massal yang sistemik” dan mengundang pagebluk nasional. Para babu di rumah banteng boleh saja menganggap arogansinya di berbagai bidang yang dibiarkan oleh rakyat, sebagai bentuk dari eksistensi wahyu keprabon di kantor banteng. Tapi, di mata saya, pendar cahaya yang menembus ke langit itu sebagai doa dan tantangan ke langit untuk minta kutukan. 

Kalau jagat kecil Indonesia sudah hampir diremuk-remuk tangan keriput Bu Mega, kini mungkin waktunya ia mendemonstrasikan jurus-jurus menantang langit. Ia ingin menunjukkan pada Semar bisu bila sorga dan akhirat, yang pernah secara eksplisit disebut tidak ada. Tapi, saya berbaik sangka ia hanya ingin mengupayakan agar rakyat tidak lagi terbelah. Mungkin ia ingin rakyat bersatu meletakkan kepercayaannya di pundak Jokowi. 

Ya, tentu saja pundak Jokowi. Dia kan orang baik. Dan juga Mang Hasto, Yasonna dan Bu Mega tercinta. 

Citra D. Vresti Trisna

Jakarta, 20 Januari 2020

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article