RI Kejepit China dan Amerika! Ekspor Jeblok, Impor Apalagi

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
7 Min Read
- Advertisement -

jfid – Indonesia menghadapi tantangan besar dalam perdagangan internasional di tengah ketegangan antara dua mitra dagang utamanya, yaitu China dan Amerika Serikat. Kinerja ekspor Indonesia terus melemah sejak awal tahun 2023, sementara impor juga mengalami penurunan yang drastis. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia masih belum pulih dari dampak pandemi Covid-19 dan perlambatan ekonomi global.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia pada Juni 2023 tercatat sebesar US$ 20,61 miliar, turun 4,08% secara bulanan dan turun 21,18% secara tahunan. Nilai ekspor ini jauh di bawah ekspektasi pasar, yang rata-rata memperkirakan ekspor sebesar US$ 22,5 miliar. Dengan demikian, ekspor Indonesia mengalami kontraksi selama tiga bulan berturut-turut.

Penurunan ekspor terutama terjadi pada komoditas nonmigas, yang menyumbang 94% dari total ekspor. Nilai ekspor nonmigas pada Juni 2023 tercatat sebesar US$ 19,36 miliar, turun 3,9% secara bulanan dan turun 20,7% secara tahunan. Komoditas nonmigas yang mengalami penurunan nilai ekspor antara lain adalah batubara, minyak sawit mentah (CPO), karet alam, besi dan baja, serta timah.

Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan ekspor nonmigas adalah rendahnya harga komoditas di pasar internasional. Menurut data BPS, indeks harga ekspor nonmigas pada Juni 2023 tercatat sebesar 100,6, turun 1,9% secara bulanan dan turun 6% secara tahunan. Harga komoditas dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran global, yang saat ini masih lemah akibat pandemi Covid-19 dan ketidakpastian geopolitik.

Ad image

Selain itu, penurunan ekspor nonmigas juga disebabkan oleh menurunnya permintaan dari negara-negara tujuan utama, yaitu China, Amerika Serikat, dan Jepang. Ketiga negara ini merupakan mitra dagang terbesar Indonesia, dengan pangsa pasar sekitar 40% dari total ekspor nonmigas. Namun, kinerja ekspor nonmigas ke ketiga negara ini mengalami penurunan pada Juni 2023.

Menurut data BPS, nilai ekspor nonmigas ke China pada Juni 2023 tercatat sebesar US$ 4,58 miliar, turun 4,04% secara bulanan. Nilai ekspor nonmigas ke Amerika Serikat pada Juni 2023 tercatat sebesar US$ 1,96 miliar, turun 4,6% secara bulanan. Nilai ekspor nonmigas ke Jepang pada Juni 2023 tercatat sebesar US$ 1,45 miliar, anjlok 17,8% secara bulanan.

Penurunan permintaan dari ketiga negara ini tidak lepas dari kondisi ekonomi mereka yang juga mengalami perlambatan akibat pandemi Covid-19. Selain itu, ketegangan perdagangan antara China dan Amerika Serikat juga berdampak negatif pada perdagangan global. Indonesia sebagai negara yang bergantung pada ekspor komoditas menjadi salah satu korban dari perang dagang kedua negara raksasa tersebut.

Di sisi lain, nilai impor Indonesia pada Juni 2023 tercatat sebesar US$ 17,15 miliar, turun 19,4% secara bulanan dan turun 18,35% secara tahunan. Nilai impor ini juga jauh di bawah ekspektasi pasar, yang rata-rata memperkirakan impor sebesar US$ 19,5 miliar. Dengan demikian, impor Indonesia mengalami kontraksi selama dua bulan berturut-turut.

Penurunan impor terjadi pada semua jenis penggunaan, yaitu barang konsumsi, bahan baku/penolong, dan barang modal. Nilai impor barang konsumsi pada Juni 2023 tercatat sebesar US$ 1,54 miliar, turun 28,9% secara bulanan dan turun 27,8% secara tahunan. Nilai impor bahan baku/penolong pada Juni 2023 tercatat sebesar US$ 12,64 miliar, turun 19% secara bulanan dan turun 18% secara tahunan. Nilai impor barang modal pada Juni 2023 tercatat sebesar US$ 2,97 miliar, turun 18% secara bulanan dan naik 4,11% secara tahunan.

Penurunan impor menunjukkan bahwa permintaan domestik masih lemah di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda. Selain itu, penurunan impor juga berdampak negatif pada aktivitas produksi dan investasi di dalam negeri. Impor barang konsumsi merupakan indikator dari tingkat konsumsi masyarakat, yang merupakan penggerak utama perekonomian Indonesia. Impor bahan baku/penolong merupakan indikator dari tingkat produksi industri, yang berhubungan dengan lapangan kerja dan pendapatan. Impor barang modal merupakan indikator dari tingkat investasi, yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Dengan penurunan ekspor dan impor tersebut, Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan sebesar US$ 3,45 miliar pada Juni 2023. Surplus ini meningkat dibandingkan dengan bulan Mei 2023, yang hanya sebesar US$ 0,43 miliar. Surplus ini juga jauh melebihi ekspektasi pasar, yang rata-rata memperkirakan surplus sebesar US$ 1,17 miliar.

Namun, surplus neraca perdagangan ini bukanlah alasan untuk berpesta. Pasalnya, surplus ini lebih disebabkan oleh anjloknya impor daripada oleh kinerja ekspor yang baik. Surplus ini juga tidak menjamin stabilitas neraca pembayaran Indonesia di masa depan. Neraca perdagangan merupakan komponen terbesar dalam neraca transaksi berjalan (current account), yang mencatat seluruh transaksi internasional Indonesia.

Neraca transaksi berjalan Indonesia pada kuartal pertama tahun 2023 mencatat defisit sebesar US$ 8,4 miliar atau setara dengan 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit ini meningkat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, yang hanya sebesar US$ 7 miliar atau setara dengan 2% dari PDB. Defisit ini juga lebih besar dari batas aman yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI), yaitu sebesar 2-2,5% dari PDB.

Defisit neraca transaksi berjalan menunjukkan bahwa Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pendanaan dari luar negeri. Hal ini dapat menimbulkan risiko bagi stabilitas makroekonomi dan nilai tukar rupiah. Apalagi di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi akibat pandemi Covid-19 dan perang dagang antara China dan Amerika Serikat.

Oleh karena itu, Indonesia perlu meningkatkan daya saing produk-produknya di pasar global dan menggenjot permintaan domestik agar ekonomi Indonesia bisa pulih dari dampak pandemi Covid-19. Selain itu, Indonesia juga perlu menjaga stabilitas makroekonomi dan nilai tukar rupiah dengan mengelola neraca pembayaran secara hati-hati. Dengan demikian, Indonesia bisa keluar dari kejepitan China dan Amerika Serikat.

- Advertisement -
TAGGED:
Share This Article