jfid – Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang diharapkan menjadi simbol kemajuan dan kerjasama antara Indonesia dan China, kini justru menuai kontroversi dan kritik. Pasalnya, proyek yang dimulai sejak 2015 ini telah mengalami berbagai kendala, mulai dari keterlambatan, pembengkakan biaya, hingga perubahan skema pembiayaan yang dinilai merugikan Indonesia.
Awalnya, proyek KCJB digadang-gadang sebagai proyek yang menguntungkan Indonesia, karena tidak akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tidak akan ada jaminan dari negara, tidak akan ada subsidi tarif, dan tidak akan ada kewajiban pemerintah untuk pembebasan lahan. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri pernah menjanjikan hal tersebut saat mengumumkan pemenang tender proyek KCJB pada Oktober 2015.
Namun, seiring berjalannya waktu, janji-janji tersebut ternyata tidak ditepati. Proyek KCJB yang awalnya diperkirakan hanya akan menelan biaya US$ 5,13 miliar, kini telah membengkak menjadi US$ 6,73 miliar, lebih tinggi daripada proposal Jepang yang hanya US$ 6,2 miliar. Alasan utama pembengkakan biaya adalah adanya perubahan desain dan spesifikasi teknis, serta kenaikan harga material dan lahan.
Selain itu, proyek KCJB juga mengalami keterlambatan dalam pelaksanaannya. Rencananya, proyek KCJB akan selesai pada 2019, namun kini ditargetkan baru rampung pada 2024. Penyebab keterlambatan antara lain adalah kesulitan dalam pembebasan lahan, perizinan, koordinasi antar lembaga, serta dampak pandemi Covid-19.
Akibat keterlambatan dan pembengkakan biaya, proyek KCJB pun membutuhkan tambahan pembiayaan. Namun, karena proyek KCJB merupakan kerjasama antara PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang 60 persen sahamnya dimiliki oleh konsorsium BUMN Indonesia dan 40 persen dimiliki oleh China Railway International Co. Ltd (CRI), maka tambahan pembiayaan tersebut harus berasal dari utang kepada China.
Dari total biaya proyek KCJB, sekitar 75 persen atau US$ 5,06 miliar berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB) dengan tenor 40 tahun dan bunga 3,4 persen. Sisanya, sekitar 25 persen atau US$ 1,67 miliar berasal dari modal sendiri KCIC, yang sebagian besar juga berasal dari pinjaman BUMN Indonesia kepada CDB dengan bunga 5,5 persen.
Dengan skema pembiayaan seperti ini, proyek KCJB dinilai sangat memberatkan bagi Indonesia, karena harus membayar utang dan bunga yang besar kepada China dalam jangka waktu yang panjang. Apalagi, proyek KCJB sendiri diprediksi akan merugi dan membutuhkan subsidi tarif untuk menarik penumpang.
Tidak hanya itu, proyek KCJB juga menimbulkan risiko geopolitik dan kedaulatan bagi Indonesia. Hal ini karena China meminta agar utang proyek KCJB mendapatkan jaminan dari pemerintah Indonesia, yang akhirnya disetujui melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 Tahun 2023. Dengan demikian, jika KCIC gagal membayar utang, maka pemerintah Indonesia yang harus bertanggung jawab.
Beberapa pengamat dan ekonom menilai bahwa proyek KCJB sudah masuk dalam kategori jebakan utang (debt trap) China, yaitu strategi China untuk memperluas pengaruhnya di dunia dengan memberikan pinjaman besar kepada negara-negara berkembang untuk proyek infrastruktur yang berisiko tinggi dan tidak menguntungkan. Jika negara penerima pinjaman tidak mampu membayar, maka China akan meminta kompensasi berupa aset, sumber daya, atau konsesi lainnya.
Salah satu contoh jebakan utang China adalah kasus Sri Lanka, yang harus menyerahkan pelabuhan Hambantota kepada China selama 99 tahun sebagai ganti utang sebesar US$ 1,1 miliar. Kasus serupa juga terjadi di beberapa negara Afrika, seperti Djibouti, Zambia, dan Kenya, yang harus mengalihkan sebagian aset dan proyeknya kepada China karena tidak bisa membayar utang.
Menurut Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, proyek KCJB sudah menunjukkan beberapa indikasi jebakan utang China, seperti proyek yang berbiaya mahal ditanggung APBN, perubahan skema pembiayaan yang menguntungkan China, dan permintaan jaminan pemerintah untuk utang proyek.
Sementara itu, Ekonom, yang juga Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono, mengatakan bahwa proyek KCJB telah membuat Indonesia benar-benar masuk dalam jebakan utang China, karena pemerintah terpaksa menuruti seluruh keinginan China agar proyek ini selesai dan tidak mangkrak.
Bhima dan Yusuf menyarankan agar pemerintah Indonesia lebih berhati-hati dalam melakukan kerjasama dengan China, terutama dalam hal pembiayaan proyek infrastruktur. Mereka juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek KCJB, serta perlunya evaluasi dan renegosiasi terhadap skema pembiayaan yang ada.
Proyek KCJB memang memiliki potensi untuk meningkatkan konektivitas, mobilitas, dan produktivitas antara Jakarta dan Bandung, dua kota besar di Pulau Jawa. Namun, potensi tersebut harus seimbang dengan manfaat dan biaya yang dikeluarkan oleh Indonesia, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Jika tidak, proyek KCJB bukanlah simbol kemajuan dan kerjasama, melainkan simbol ketidakadilan dan ketergantungan.