jfid – Palestina, sebuah tanah yang menjadi saksi sejarah peradaban manusia, juga menjadi sasaran politik devide et impera (pemecah belah) Inggris selama beberapa dekade.
Bagaimana Inggris bisa menguasai Palestina dan mengapa mereka mendukung Zionisme Yahudi untuk mendirikan negara Israel di sana?
Siapa saja tokoh-tokoh kunci yang berperan dalam skenario politik ini? Artikel ini akan mencoba menguak misteri di balik politik devide et impera Inggris di Palestina.
Politik devide et impera Inggris di Palestina bermula dari Perang Dunia I, ketika Inggris bersama sekutunya, Prancis, berusaha memecah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah Turki yang menguasai sebagian besar Timur Tengah. Dengan berbagai janji dan tipu daya, Inggris berhasil merebut Palestina dari Turki pada tahun 1917.
Pada tahun yang sama, Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour, sebuah surat yang ditulis oleh Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour kepada Lionel Walter Rothschild, seorang pemimpin gerakan Zionisme Yahudi. Dalam surat itu, Inggris menyatakan dukungannya untuk mendirikan “sebuah rumah nasional bagi bangsa Yahudi” di Palestina.
Deklarasi Balfour ini merupakan salah satu janji palsu yang dibuat oleh Inggris kepada bangsa Yahudi, karena sebelumnya Inggris juga telah berjanji kepada bangsa Arab untuk memberikan kemerdekaan dan kesatuan kepada mereka jika mereka mau membantu mengalahkan Turki.
Janji ini tertulis dalam surat-surat antara Henry McMahon, Komisioner Tinggi Inggris di Mesir, dengan Hussein bin Ali, Syarif Mekkah yang memimpin pemberontakan Arab melawan Turki.
Namun, janji ini tidak pernah ditepati oleh Inggris, karena mereka juga telah membuat perjanjian rahasia dengan Prancis untuk membagi-bagi wilayah Timur Tengah setelah perang usai.
Dengan demikian, Palestina menjadi tanah yang tiga kali dijanjikan oleh Inggris: kepada bangsa Arab, kepada bangsa Yahudi, dan kepada Prancis.
Tentu saja, hal ini menimbulkan konflik dan ketidakadilan bagi penduduk asli Palestina, baik Muslim maupun Kristen, yang telah hidup di sana selama berabad-abad. Mereka merasa dirampas haknya oleh penjajah asing yang ingin mengubah identitas dan nasib mereka.
Tokoh-tokoh kunci yang berperan dalam politik devide et impera Inggris di Palestina adalah:
Sir Mark Sykes, seorang penasehat pemerintah Inggris untuk Timur Tengah yang menyusun peta pembagian wilayah antara Inggris dan Prancis pada tahun 1915. Peta ini dikenal sebagai Sykes-Picot Agreement. Sykes juga terlibat dalam penyusunan Deklarasi Balfour bersama dengan Balfour dan Rothschild. Sykes tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang budaya dan bahasa Arab maupun Turki, sehingga gagasannya sering tidak realistis dan tidak sensitif.
Arthur Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris yang menulis surat Deklarasi Balfour kepada Rothschild pada tahun 1917. Balfour memiliki keyakinan religius dan nasionalis yang kuat tentang pentingnya mendirikan negara Yahudi di Palestina. Ia juga berharap bahwa dengan mendukung Zionisme, ia bisa mendapatkan dukungan dari Yahudi di negara-negara netral atau sekutu dalam perang.
Herbert Samuel, seorang politisi Yahudi Inggris yang menjadi High Commissioner (Perwakilan Tinggi) Inggris di Palestina pada tahun 1920. Samuel adalah orang pertama yang mengusulkan ide tentang negara Yahudi di Palestina pada tahun 1915. Ia juga memiliki hubungan dekat dengan gerakan Zionisme dan berusaha memfasilitasi imigrasi dan pemukiman Yahudi di Palestina. Samuel menghadapi tantangan dari pihak Arab yang menentang kebijakannya dan dari pihak Inggris yang meragukan loyalitasnya.
Politik devide et impera Inggris di Palestina berdampak buruk bagi rakyat Palestina dan stabilitas kawasan Timur Tengah. Inggris meninggalkan Palestina pada tahun 1948, setelah mengalami banyak kekerasan dan pemberontakan dari pihak Arab dan Yahudi.
Pada tahun yang sama, negara Israel diproklamasikan secara sepihak oleh Zionis, yang memicu perang dengan negara-negara Arab tetangga. Perang ini berlanjut hingga sekarang, dengan berbagai konflik, krisis, dan tragedi yang dialami oleh kedua belah pihak.