Tanah Air Merdeka adalah Nyawa; Belajar dari Gaza dan Bali

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
11 Min Read
Tanah Air Merdeka Adalah Nyawa; Belajar Dari Gaza Dan Bali
Tanah Air Merdeka Adalah Nyawa; Belajar Dari Gaza Dan Bali

jfid – Tanah air merdeka adalah impian dan cita-cita setiap bangsa yang ingin hidup berdaulat dan sejahtera. Maka harus diperebutkan antara merdeka atau mati, pahwlawan atau syahid.

Namun, untuk mencapai dan mempertahankan tanah air merdeka, tidak jarang bangsa-bangsa harus mengorbankan nyawa mereka dalam perjuangan melawan penjajah atau penindas.

Dua contoh bangsa yang mengalami nasib tragis dalam memperjuangkan tanah air merdeka adalah bangsa Palestina dan Bali.

Bangsa Palestina: Terjepit di Jalur Gaza

Bangsa Palestina adalah salah satu bangsa tertua di dunia, yang memiliki sejarah dan budaya yang kaya. Namun, sejak abad ke-20, bangsa Palestina harus menghadapi konflik dan penjajahan dari bangsa Israel, yang didukung oleh negara-negara Barat.

Ad image

Israel mengklaim wilayah Palestina sebagai tanah air mereka berdasarkan alasan agama dan sejarah, dan terus melakukan ekspansi dan pemukiman di wilayah-wilayah Palestina.

Salah satu wilayah Palestina yang paling menderita akibat konflik Israel-Palestina adalah Jalur Gaza, sebuah daerah sempit yang berbatasan dengan Laut Mediterania, Mesir, dan Israel.

Jalur Gaza memiliki luas sekitar 365 km persegi, dengan jumlah penduduk sekitar 2 juta jiwa. Jalur Gaza adalah salah satu tempat terpadat di dunia, dengan kepadatan penduduk sekitar 5.479 jiwa per km persegi.

Jalur Gaza juga menjadi saksi bisu dari tragedi kemanusiaan yang dialami oleh bangsa Palestina. Sejak tahun 2007, Jalur Gaza dikenai blokade oleh Israel dan Mesir, yang membatasi pergerakan, perdagangan, dan bantuan kemanusiaan ke wilayah tersebut.

Akibatnya, Jalur Gaza mengalami krisis ekonomi, sosial, dan kesehatan yang parah. Menurut PBB, sekitar 80% penduduk Jalur Gaza hidup di bawah garis kemiskinan, dan sekitar 60% mengalami ketidakamanan pangan.

Selain itu, Jalur Gaza juga sering menjadi sasaran serangan militer Israel, yang menimbulkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang besar. Serangan-serangan ini biasanya dipicu oleh peluncuran roket oleh gerakan perlawanan Palestina, seperti Hamas, yang menguasai Jalur Gaza sejak tahun 2007.

Hamas adalah salah satu kelompok yang menolak pengakuan Israel sebagai negara, dan berjuang untuk membebaskan Palestina dari penjajahan Israel.

Salah satu serangan militer Israel terhadap Jalur Gaza yang paling memilukan adalah pada tahun 2014, yang dikenal sebagai Operasi Protective Edge.

Serangan ini berlangsung selama 50 hari, dan menewaskan sekitar 2.200 orang Palestina, sebagian besar adalah warga sipil, termasuk 551 anak-anak. Serangan ini juga menghancurkan sekitar 18.000 rumah, 244 sekolah, 15 rumah sakit, dan 45 masjid di Jalur Gaza.

Pada tahun 2021, konflik Israel-Palestina kembali memanas, setelah Israel melakukan serangan ke Masjid Al-Aqsa, salah satu tempat suci bagi umat Islam, di Yerusalem Timur, yang juga diklaim oleh Palestina sebagai ibu kota mereka. Serangan ini memicu kemarahan dan protes dari bangsa Palestina, yang kemudian dihadapi dengan kekerasan oleh polisi Israel.

Selain itu, Israel juga mengancam akan mengusir puluhan keluarga Palestina dari kawasan Sheikh Jarrah, yang merupakan wilayah bersejarah bagi bangsa Palestina.

Sebagai respons, Hamas meluncurkan ribuan roket ke wilayah Israel, yang kemudian dibalas dengan serangan udara dan darat oleh Israel ke Jalur Gaza.

Serangan ini berlangsung selama 11 hari, dan menewaskan sekitar 250 orang Palestina, termasuk 66 anak-anak, dan 12 orang Israel, termasuk 2 anak-anak. Serangan ini juga menghancurkan sekitar 1.800 rumah, 74 gedung, dan 33 fasilitas media di Jalur Gaza.

Setelah tekanan internasional, Israel dan Hamas akhirnya menyetujui gencatan senjata pada tanggal 21 Mei 2021.

Namun, gencatan senjata ini masih rapuh, dan belum menyelesaikan akar masalah konflik Israel-Palestina, yaitu status dan hak-hak bangsa Palestina atas tanah air mereka.

Bangsa Palestina masih harus berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan, keadilan, dan kedamaian di tanah air mereka.

Bangsa Bali: Mati Syahid di Puputan

Bangsa Bali adalah salah satu bangsa yang memiliki kebudayaan dan kearifan lokal yang unik dan khas. Bangsa Bali dikenal sebagai bangsa yang religius, toleran, dan ramah.

Namun, bangsa Bali juga memiliki sejarah perjuangan yang heroik dan tragis dalam melawan penjajahan Belanda dan Jepang pada abad ke-19 dan ke-20.

Salah satu bentuk perjuangan bangsa Bali yang paling menggugah adalah puputan, yaitu ritual bunuh diri massal yang dilakukan saat perang daripada harus menyerah kepada musuh.

Puputan adalah istilah dalam bahasa Bali yang berarti “habis-habisan” atau “tuntas”. Puputan biasanya dilakukan oleh raja-raja dan rakyat Bali yang tidak mau tunduk kepada penjajah, dan memilih untuk mati syahid dengan cara menyerbu pasukan musuh yang lebih kuat dengan senjata tradisional, seperti keris, tombak, dan pedang.

Puputan juga melibatkan perempuan dan anak-anak, yang ikut membawa senjata atau mengikuti jejak para laki-laki yang gugur.

Puputan terjadi beberapa kali dalam sejarah Bali, terutama saat menghadapi penjajahan Belanda pada abad ke-19 dan ke-20. Salah satu puputan yang paling terkenal adalah Puputan Badung, yang terjadi pada tanggal 20 September 1906.

Puputan ini dipimpin oleh Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung, yang bersama istri, anak, dan pengikutnya melakukan bunuh diri massal dengan cara menyerbu pasukan Belanda yang lebih kuat. Puputan ini menewaskan sekitar 4.000 orang Bali, dan mengakhiri kerajaan Badung.

Puputan lain yang juga terkenal adalah Puputan Klungkung, yang terjadi pada tanggal 28 April 1908. Puputan ini dipimpin oleh Raja Klungkung, I Dewa Agung Jambe, yang bersama keluarga dan pengikutnya melakukan bunuh diri massal dengan cara menyerbu pasukan Belanda yang lebih kuat.

Puputan ini menewaskan sekitar 200 orang Bali, dan mengakhiri kerajaan Klungkung, yang merupakan kerajaan tertua dan terbesar di Bali.

Puputan terakhir yang terjadi di Bali adalah Puputan Margarana, yang terjadi pada tanggal 20 November 1946. Puputan ini dipimpin oleh Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai, yang merupakan pahlawan nasional Indonesia. Puputan ini merupakan perlawanan rakyat Bali terhadap Belanda yang ingin mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT) dan tidak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.

Dalam puputan ini, I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya berjuang sampai titik darah penghabisan di Desa Marga, Tabanan, Bali. Puputan ini menewaskan sekitar 96 orang Bali, termasuk I Gusti Ngurah Rai dan beberapa perempuan yang ikut bertempur.

Puputan adalah salah satu bentuk perjuangan bangsa Bali yang menginspirasi bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Puputan menunjukkan semangat juang dan patriotisme yang tinggi dari bangsa Bali, yang rela mengorbankan nyawa mereka demi tanah air merdeka. Puputan juga menjadi simbol keberanian dan kehormatan bangsa Bali, yang tidak mau tunduk kepada penjajah atau penindas.

Kesimpulan: Merdeka atau Mati, Pahlawan atau Syahid

Dari dua contoh bangsa yang mengalami tragedi dalam memperjuangkan tanah air merdeka, yaitu bangsa Palestina dan bangsa Bali, kita dapat belajar beberapa hal. Pertama, kita dapat belajar bahwa tanah air merdeka adalah hak asasi manusia, yang tidak boleh dirampas atau diabaikan oleh siapa pun.

Tanah air merdeka adalah tempat dimana manusia dapat hidup dengan damai, sejahtera, dan berdaulat. Tanah air merdeka adalah identitas dan warisan dari suatu bangsa, yang harus dihormati dan dijaga.

Kedua, kita dapat belajar bahwa perjuangan untuk mendapatkan dan mempertahankan tanah air merdeka tidaklah mudah, dan seringkali membutuhkan pengorbanan yang besar. Pengorbanan ini dapat berupa nyawa, harta, atau kebebasan.

Pengorbanan ini juga dapat berupa penderitaan, kesengsaraan, atau ketidakadilan. Pengorbanan ini adalah harga yang harus dibayar oleh bangsa-bangsa yang ingin hidup merdeka di tanah air mereka.

Ketiga, kita dapat belajar bahwa perjuangan untuk tanah air merdeka tidaklah sia-sia, dan akan selalu ada harapan dan kemungkinan untuk mencapainya. Harapan dan kemungkinan ini dapat datang dari dalam diri bangsa itu sendiri, yang memiliki semangat juang dan keinginan yang kuat untuk merdeka.

Harapan dan kemungkinan ini juga dapat datang dari luar, dari bangsa-bangsa lain yang memiliki rasa solidaritas dan kemanusiaan untuk membantu bangsa yang tertindas.

Oleh karena itu, kita sebagai bangsa Indonesia, yang telah merasakan dan menikmati kemerdekaan di tanah air kita, harus bersyukur dan berbangga atas perjuangan para pahlawan dan pejuang kemerdekaan kita. Kita juga harus menghargai dan menjaga kemerdekaan kita, dengan tidak melakukan tindakan yang merugikan atau merendahkan bangsa kita sendiri.

Kita juga harus peduli dan berempati terhadap bangsa-bangsa lain yang masih berjuang untuk tanah air merdeka mereka, dengan memberikan dukungan dan bantuan yang sesuai dengan kemampuan dan prinsip kita. Kita harus ingat bahwa tanah air merdeka adalah hak asasi manusia, dan nyawa adalah harga yang harus dibayar untuknya.

Share This Article