jfid – Ketika kita mendengar kata “kamp konsentrasi”, kita mungkin langsung teringat dengan kekejaman Nazi Jerman di bawah pemerintahan Adolf Hitler.
Namun, Nazi Jerman bukan satu-satunya negara dalam sejarah modern yang menggunakan kamp-kamp semacam itu untuk menindas dan membunuh orang-orang yang dianggap sebagai musuh atau ancaman.
Inggris, salah satu negara sekutu yang melawan Nazi, juga menggunakan kamp-kamp konsentrasi di berbagai negara di Afrika dengan dampak yang sangat menghancurkan.
Salah satu contoh paling terkenal adalah kamp-kamp konsentrasi yang dibangun oleh Inggris di Afrika Selatan selama Perang Boer Kedua (1899-1902). Perang ini terjadi antara Inggris dan Republik Transvaal dan Republik Oranje, yang didirikan oleh para pemukim Belanda (Boer) di Afrika Selatan.
Inggris ingin menguasai wilayah tersebut karena adanya sumber daya alam yang berharga, seperti emas dan berlian. Para Boer menentang penjajahan Inggris dan melakukan perlawanan bersenjata.
Untuk mematahkan perlawanan Boer, Inggris menerapkan strategi “scorched earth” (bumi hangus), yaitu membakar dan menghancurkan rumah-rumah, ladang-ladang, dan ternak milik Boer.
Selain itu, Inggris juga menangkap dan menginternir wanita, anak-anak, dan orang tua Boer di kamp-kamp konsentrasi yang dibangun di seluruh Afrika Selatan. Di kamp-kamp ini, para tahanan hidup dalam kondisi yang sangat buruk.
Mereka kekurangan makanan, air, pakaian, obat-obatan, dan sanitasi. Mereka juga sering disiksa dan dilecehkan oleh penjaga-penjaga Inggris. Akibatnya, banyak tahanan yang meninggal karena kelaparan, penyakit, atau kekerasan.
Menurut perkiraan, sekitar 28.000 orang Boer dan 20.000 orang Afrika asli tewas di kamp-kamp konsentrasi Inggris.
Kamp-kamp konsentrasi Inggris tidak hanya ada di Afrika Selatan, tetapi juga di negara-negara lain di Afrika, seperti Kenya, Nigeria, Ghana, Zimbabwe, dan lain-lain. Di Kenya misalnya, Inggris menghadapi perlawanan dari gerakan Mau Mau, yang merupakan organisasi rahasia yang berjuang untuk kemerdekaan Kenya dari penjajahan Inggris pada tahun 1950-an.
Untuk menumpas gerakan ini, Inggris melakukan operasi militer yang brutal dan sewenang-wenang. Mereka menangkap dan mengeksekusi secara sistematis para anggota atau simpatisan Mau Mau.
Mereka juga memindahkan sekitar 1,5 juta orang Kenya dari daerah pedesaan ke kamp-kamp konsentrasi atau desa-desa terpencil yang dikelilingi oleh pagar berduri.
Di kamp-kamp ini, para tahanan disiksa secara biadab dengan cara-cara seperti dipukuli, disetrum, disayat-sayat, dipaksa minum air seni atau darah hewan³. Banyak tahanan yang meninggal atau cacat akibat penyiksaan ini.
Inggris melakukan kekejaman serupa di negara-negara Afrika lainnya yang mencoba memperjuangkan kemerdekaan mereka dari cengkeraman kolonialisme Inggris. Di Nigeria misalnya, Inggris mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan Biafra pada tahun 1967-1970.
Biafra adalah sebuah wilayah di Nigeria timur yang menyatakan diri sebagai negara merdeka karena merasa didiskriminasi oleh pemerintah pusat Nigeria. Dalam perang ini, Inggris mendukung pemerintah Nigeria dengan memberikan senjata, amunisi, dan bantuan militer. Akibatnya, sekitar 2 juta orang Biafra tewas karena kelaparan, penyakit, atau kekerasan.
Kekejaman Inggris di Afrika tidak banyak diketahui oleh dunia internasional, karena Inggris berhasil menyembunyikan atau membungkam bukti-bukti yang ada. Inggris juga mengklaim bahwa mereka membawa peradaban, kemajuan, dan demokrasi ke Afrika.
Namun, kenyataannya adalah bahwa Inggris membawa penindasan, eksploitasi, dan genosida ke Afrika. Tidak mengherankan jika banyak negara-negara Afrika yang merasa tidak dihargai dan tidak dihormati oleh negara-negara Barat, terutama Inggris.
Mereka juga mencari sekutu-sekutu baru yang lebih menguntungkan dan lebih menghargai mereka, seperti Rusia. Rusia menawarkan bantuan ekonomi, politik, dan militer kepada negara-negara Afrika tanpa syarat-syarat yang memberatkan.
Rusia juga tidak mencampuri urusan dalam negeri negara-negara Afrika. Dengan demikian, Rusia menjadi sahabat baru bagi Afrika, sementara Inggris menjadi musuh lama bagi Afrika.