jfid – Pada tanggal 12 September 1984, Indonesia menyaksikan peristiwa tragis yang akan diingat selamanya: Peristiwa Tanjung Priok di Jakarta. Kejadian ini mengguncang hati banyak orang karena menyebabkan puluhan nyawa melayang dan banyak lagi yang terluka.
Peristiwa ini, dalam banyak cara, mengubah sejarah Indonesia, dengan tajam menyoroti isu-isu fundamental seperti hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat militer.
Semua bermula pada tanggal 10 September 1984, ketika seorang Sersan bernama Hermanu, seorang anggota Bintara Pembina Desa, mengunjungi Masjid As Saadah di Tanjung Priok. Dia meminta kepada pengurus masjid, Amir Biki, untuk menghapus brosur dan spanduk yang mengkritik pemerintah.
Namun, Biki dengan tegas menolak permintaan ini, dan Hermanu akhirnya melakukan tindakan itu sendiri. Saat melakukan ini, Hermanu melanggar norma dengan memasuki area sholat masjid tanpa melepas sepatunya.
Respons atas tindakannya ini adalah pembakaran sepeda motornya oleh warga setempat, yang kemudian menyerang Hermanu. Dalam waktu dua hari, ketegangan ini mencapai titik puncaknya dan memicu kerusuhan berdarah.
Dua hari setelah insiden ini, ulama Islam terkemuka, Abdul Qodir Jaelani, memberikan khotbah yang menentang asas tunggal Pancasila di Masjid As Saadah.
Amir Biki memimpin demonstrasi menuju kantor Kodim Jakarta Utara, yang seiring waktu, menjadi semakin besar, dengan perkiraan peserta berkisar antara 1.500 hingga beberapa ribu orang.
Kondisi menjadi semakin tegang, dan pada pukul 11 malam waktu setempat, para demonstran mengepung komando militer. Ini berujung pada penembakan mematikan oleh personel militer dari Batalyon Artileri Pertahanan Udara ke-6 terhadap para demonstran yang berani.
Setelah kerusuhan ini mereda, militer mengklaim bahwa penyulutnya adalah seorang pria yang berpakaian mirip militer yang membagikan selebaran anti-pemerintah bersama dengan 12 orang lainnya. Jenderal Hartono Rekso Dharsono pun ditahan atas tuduhan menghasut kerusuhan ini.
Secara resmi, laporan menyebutkan bahwa ada 24 korban tewas dan 54 orang terluka dalam peristiwa ini. Namun, beberapa sumber lain memperkirakan jumlah korban tewas atau terluka jauh lebih tinggi, melebihi 100 orang.
Hingga saat ini, tanggung jawab atas kerusuhan ini masih menjadi subjek perdebatan dan penelitian yang intens.
Beberapa menyalahkan pemerintah Orde Baru atas implementasi asas tunggal Pancasila yang dianggap terlalu dipaksakan, sementara yang lain menyalahkan individu atau kelompok tertentu yang terlibat dalam kerusuhan tersebut.
Peristiwa Tanjung Priok memiliki dampak yang signifikan terhadap Indonesia, terutama dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM).
Kerusuhan ini dianggap sebagai salah satu contoh pelanggaran HAM berat pada masa pemerintahan Soeharto di Indonesia.
Bentrokan antara militer dan masyarakat Tanjung Priok mengungkap isu penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat militer.
Insiden ini juga mempengaruhi pandangan publik terhadap pemerintah dan militer, serta menyoroti pentingnya reformasi dalam sistem keamanan dan penegakan hukum di Indonesia.
Meskipun penyelesaian kasus ini masih menjadi topik yang kontroversial hingga saat ini, kita semua memiliki tanggung jawab untuk terus mencari kebenaran dan keadilan bagi korban-korban dari tragedi ini.
Peristiwa ini juga menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya kebebasan berpendapat dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dengan memahami dan menghormati hak-hak ini, kita dapat bersama-sama mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan.