Partai Politik dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia yang Selama Ini Disembunyikan!

Rasyiqi
By Rasyiqi
10 Min Read

Indonesia adalah negara yang memiliki sejarah kemerdekaan yang panjang dan rumit. Dalam perjalanan menuju kemerdekaan, partai politik tidak selalu terlibat secara langsung dalam proses perjuangan. Namun, setelah kemerdekaan, partai politik menjadi salah satu elemen penting dalam sistem politik Indonesia. Artikel ini akan membahas tentang peran partai politik dalam sejarah kemerdekaan Indonesia dari masa prakemerdekaan hingga masa pasca kemerdekaan.

Partai Politik pada Masa Prakemerdekaan

Pada masa prakemerdekaan, partai politik tidak memiliki peran signifikan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Upaya kemerdekaan lebih banyak dipimpin oleh pemimpin nasional dan gerakan-gerakan kebangsaan di luar partai politik. Beberapa contoh pemimpin nasional yang berperan besar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia adalah Sukarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, dan Mohammad Natsir. Beberapa contoh gerakan kebangsaan yang bergerak di luar partai politik adalah Budi Utomo, Sarekat Islam, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, dan Perhimpunan Indonesia.

Meskipun demikian, bukan berarti partai politik tidak ada sama sekali pada masa prakemerdekaan. Sebenarnya, partai politik sudah mulai bermunculan sejak awal abad ke-20, tetapi kegiatan politik mereka masih terbatas dan tidak efektif. Beberapa contoh partai politik yang ada pada masa prakemerdekaan adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Islam Indonesia (PII). Namun, partai-partai politik ini tidak memiliki pengaruh yang besar dalam pergerakan nasional dan sering mengalami konflik internal maupun eksternal.

Salah satu lembaga yang menjadi wadah bagi beberapa fraksi politik pada masa prakemerdekaan adalah Volksraad. Volksraad adalah semacam dewan perwakilan rakyat yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1918. Volksraad terdiri dari anggota-anggota yang dipilih oleh berbagai kelompok masyarakat, termasuk kelompok Eropa, pribumi, dan Cina. Namun, Volksraad bukanlah lembaga demokratis, karena tidak memiliki kekuasaan legislatif dan hanya berfungsi sebagai penasihat pemerintah kolonial. Selain itu, Volksraad juga tidak mencerminkan aspirasi rakyat Indonesia secara utuh, karena banyak kelompok yang tidak diwakili di dalamnya.

Partai Politik pada Masa Pendudukan Jepang

Ketika Jepang menduduki Indonesia selama Perang Dunia II (1942-1945), partai-partai politik dilarang untuk melakukan kegiatan politik. Hanya golongan Islam yang diberi kebebasan untuk membentuk partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), tetapi aktivitasnya lebih banyak berfokus pada bidang sosial. Partai Masyumi kemudian menjadi salah satu partai terbesar di Indonesia setelah kemerdekaan.

Selain Masyumi, ada juga lembaga lain yang menjadi wadah bagi beberapa gabungan partai politik yang bergerak di luar Volksraad. Lembaga ini adalah Komite Rakyat Indonesia (KRI). KRI dibentuk oleh Jepang pada tahun 1943 sebagai bentuk pengakuan terhadap eksistensi bangsa Indonesia. KRI terdiri dari 67 anggota yang dipilih oleh Jepang dari berbagai latar belakang. Beberapa anggota KRI berasal dari partai-partai politik seperti PNI, PKI, PSI, dan PII. Namun, KRI juga tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya berperan sebagai alat propaganda Jepang.

Meskipun partai politik tidak aktif pada masa pendudukan Jepang, beberapa pemimpin partai politik tetap berperan dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya adalah Sukarno, yang merupakan pemimpin PNI dan juga anggota KRI. Sukarno berhasil memanfaatkan situasi perang untuk mendapatkan dukungan dari Jepang untuk membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945. BPUPKI adalah lembaga yang bertugas untuk menyusun rancangan dasar negara Indonesia. Dari BPUPKI inilah lahir Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia.

Partai Politik setelah Kemerdekaan

Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia mengadakan pemilu multi partai pada tahun 1955. Pemilu ini menghasilkan empat partai besar, yaitu Masyumi, PNI, Nahdlatul Ulama (NU), dan PKI. Masyumi adalah partai yang mewakili golongan Islam modernis, PNI adalah partai yang mewakili golongan nasionalis sekuler, NU adalah partai yang mewakili golongan Islam tradisionalis, dan PKI adalah partai yang mewakili golongan komunis. Selain empat partai besar ini, ada juga partai-partai kecil lainnya yang ikut berpartisipasi dalam pemilu.

Sistem banyak partai ini sebenarnya mencerminkan keragaman dan pluralisme masyarakat Indonesia. Namun, sistem ini juga tidak berjalan baik dan menyebabkan ketidakstabilan politik. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

Pertama, kurangnya konsensus nasional mengenai dasar negara, ideologi, dan konstitusi. Beberapa partai politik memiliki pandangan yang berbeda dan bahkan bertentangan mengenai hal-hal tersebut. Misalnya, Masyumi dan NU menginginkan negara berdasarkan Islam, sementara PNI dan PKI menginginkan negara berdasarkan Pancasila.

Kedua, kurangnya kematangan politik dari para elit politik dan rakyat. Banyak elit politik yang lebih mementingkan kepentingan partainya daripada kepentingan nasional. Banyak juga rakyat yang mudah terpengaruh oleh propaganda dan intimidasi dari partai-partai politik.

Ketiga, kurangnya pengalaman dalam menjalankan sistem demokrasi. Indonesia baru merdeka dari penjajahan dan belum memiliki tradisi demokrasi yang kuat. Banyak hal yang masih harus dipelajari dan dibangun untuk menciptakan sistem demokrasi yang efektif dan responsif.

Akibat dari ketidakstabilan politik ini adalah seringnya terjadi pergantian kabinet, hambatan dalam pelaksanaan program pemerintah, dan ketegangan sosial antara kelompok-kelompok politik. Situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh Soekarno, yang menjadi presiden pertama Indonesia, untuk mengubah sistem politik Indonesia menjadi sistem Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959. Sistem ini menempatkan Soekarno sebagai pemimpin tunggal yang tidak tergantung pada partai politik manapun. Sistem ini juga menghapuskan peran parlemen sebagai lembaga legislatif dan menggantinya dengan Dewan Nasional yang diangkat oleh Soekarno.

Sistem Demokrasi Terpimpin ini berlangsung hingga tahun 1965, ketika terjadi G30S/PKI, yaitu percobaan kudeta oleh PKI yang gagal. G30S/PKI menimbulkan reaksi keras dari militer dan rakyat, yang melakukan pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI.

G30S/PKI juga mengakhiri masa kekuasaan Soekarno, yang kemudian digantikan oleh Soeharto, yang menjadi presiden kedua Indonesia. Soeharto membawa perubahan besar dalam sistem politik Indonesia, yaitu sistem Orde Baru. Sistem ini menekankan pada stabilitas, pembangunan, dan anti-komunisme. Sistem ini juga membatasi peran partai politik dalam pemerintahan. Soeharto hanya mengizinkan tiga partai politik untuk beroperasi, yaitu Golkar, PPP, dan PDI. Golkar adalah partai yang didukung oleh militer dan birokrasi, PPP adalah partai yang mewakili golongan Islam, dan PDI adalah partai yang mewakili golongan nasionalis dan demokrat. Namun, ketiga partai ini tidak memiliki kebebasan dan otonomi yang nyata, karena harus tunduk pada kebijakan pemerintah. Sistem Orde Baru ini berlangsung hingga tahun 1998, ketika terjadi Reformasi, yaitu gerakan rakyat yang menuntut pengunduran diri Soeharto karena korupsi, nepotisme, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Partai Politik setelah Reformasi

Setelah Reformasi, Indonesia kembali mengadakan pemilu multi partai pada tahun 1999. Pemilu ini menghasilkan banyak partai politik baru yang bermunculan dari berbagai latar belakang dan ideologi. Beberapa contoh partai politik baru yang ada setelah Reformasi adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat (PD), dan Partai Gerindra. Selain itu, ada juga partai-partai lama yang masih bertahan, seperti Golkar, PPP, dan PDI.

Sistem banyak partai ini sebenarnya mencerminkan perkembangan dan dinamika masyarakat Indonesia yang semakin maju dan demokratis. Namun, sistem ini juga menimbulkan beberapa tantangan dalam sistem politik Indonesia, antara lain:

Pertama, sulitnya mencapai mayoritas absolut dalam parlemen. Banyaknya partai politik membuat sulit untuk membentuk koalisi yang solid dan stabil. Hal ini menyebabkan seringnya terjadi perubahan koalisi dan sikap politik dari partai-partai politik.

Kedua, sulitnya mengontrol kualitas dan integritas dari para anggota partai politik. Banyaknya partai politik membuat sulit untuk melakukan seleksi dan pendidikan politik bagi para kader partainya. Hal ini menyebabkan banyaknya kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran etika dari para anggota partai politik.

Ketiga, sulitnya menyelesaikan masalah-masalah nasional yang kompleks dan mendesak. Banyaknya partai politik membuat sulit untuk mencapai kesepakatan dan konsensus mengenai isu-isu penting yang berkaitan dengan kepentingan nasional. Hal ini menyebabkan lambatnya proses pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pemerintah.

Jadi, kenapa saat partai politik yang seolah-olah sebagai nahkoda negeri ini? Jangan-jangan negeri ini dijiwai oleh kepentingan pihak, bukan kepentingan bangsa. Hm..

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article