Meneguhkan Kembali Identitas Kebangsaan Kita

Tjahjono Widarmanto
6 Min Read
Identitas Bangsa Indonesia
Identitas Bangsa Indonesia

…….
Kita hendak mendirikan suatu negara “semua untuk semua”
Karena itu jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil
sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia.
Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain,
Tetapi kebangsaan Indonesia yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat
(Soekarno, 1 Juni 1945)

jfid – Apa yang disebut identitas hadir ketika ada satu kesadaran untuk kembali “mengetahui” dunia yang pernah dihadirkan. Identitas menjadi sesuatu yang sangat rawan karena kebudayaan di suatu waktu dapat saja berubah dan bergeser sehingga tak lagi sama seperti yang ada dalam bayangan. Identitas juga bersifat streotip, menggampangkan atau melebihkan suatu citra tertentu kepada teritory (geografis) cultural tertentu sehingga akhirnya disepakati sebagai identitas cultural tersebut.

Menurut Soekarno, Indonesia pertama kali diidentitaskan sebagai komunitas karakter yang berkembang dari komunitas pengalaman bersama (Latif, 2011). Pengalaman ini terutama sama-sama mengalami ketertindasan, ketidakadilan dan penghinaan dari bangsa asing. Menurut Soekarno pula, kebangsaan Indonesia bukan sesuatu yang alami, berdasarkan adanya satu bahasa dan satu budaya yang lalu ingin terungkap dalam organisasi negara nasional seperti misalnya bangsa Korea, Perancis atau Polandia. Karena bukan merupakan sesuatu yang alami, maka Soekarno begitu menekankan perlunya nation building, proses pembentukan bangsa yang panjang dan terus menerus. Dengan demikian berarti kebangsaan Indonesia perlu terus menerus diingat, dirawat, dipelihara, dikembangkan dan diperdalam.

Di sisi lain nasionalisme seringkali dikiaskan sebagai gadis rupawan yang sedang tertidur. Jauh-jauh hari sebelum pengertian nasionalisme dikaitkan dengan konsep bangsa atau nation, kata ‘nasionalisme’ secara umum dianggap sebagai suatu cerita sleeping beauty, legenda atau mimpi indah mengenai kebangkitan suatu masyarakat atau komunitas yang kelak secara organisasi kemudian disebut sebagai bangsa.

Kata nation atau bangsa merupakan salah satu kata dari “keluarga kata-kata” seperti ras, komunitas, orang, suku bangsa, clan, dan negara. Nasionalisme lahir sebagai bentuk ‘kebutuhan’ akan identitas politik yang pada titik tertentu melahirkan perasaan inferioritas dan superioritas. Bennedict Anderson dalam bukunya yang berwibawa Komunitas-komunitas Terbayang (Imagined Communities) mengatakan bahwa bangunan nasionalisme pada mulanya dibayangkan sebagai sebuah komunitas dan ‘kesetiakawanan’. Perasaan sebagai sebuah komunitas atau kesetiakawanan tersebut dapat merangsang orang mengorbankan apa saja demi komunitas yang dibayangkan itu. Dengan bayangan komunitas itu terbentuk rasa identitas bersama sehingga sekelompok masyarakat merasa “krasan” sebagai warga negara sekaligus merasa memiliki hak dan kewajiban.

Nasionalisme (komunitas bersama) juga menyimpan bahayanya sendiri. Dengan perasaan identitas nasional itu seseorang individu atau negara dapat dengan rela melakukan kekerasan terhadap orang atau negara lain. Nasionalisme dapat dijadikan pembenaran bagi seseorang untuk mengorbankan jiwa-raganya juga jiwa-raga orang lain, dan lahirlah pemeo-pemeo heroik seperti sedumuk bathuk senyari
bumi totohane pati, Deutschland uber alls, right or wrong is my country, dan ungkapan lain yang senada. Apabila perasaan superior melewati batas, nasionalisme menjelma menjadi iblis yang menakutkan bagi nation yang lain. Jadilah sebuah kembar siam abadi: nasionalisme-kolonialisme.

Jauh-jauh hari, Soekarno melalui tulisannya yang berjudul “Ke arah Persatuan! Menjambut Tulisan H.A. Salim (1928) juga mengingatkan bahwa nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme yang timbul dari kesombongan atau chauvanisme tetapi tumbuh dari kesadaran rasa-hidup sebagai suatu bakti. Nasionalisme dipandang oleh Soekarno muda sebagai bakti karena menerima kesadaran bernegara sebagai ‘wahyu’ Tuhan. Dari tulisan Soekarno itu jelas bahwa nasionalisme kita sama sekali tidak bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara super yang melebihi bangsa lain. Nasionalisme Indonesia lebih diarahkan sebagai spirit untuk membentuk masyarakat-bangsa yang kuat, bukan negara-kuasa yang kuat, apalagi melahirkan orang kuat. Saat ini setelah lebih dari delapan puluh enam tahun tulisan Soekarno itu, nasionalisme kita paling tidak menghadapi dua tantangan besar.

Pertama, tantangan kecenderungan akan menguatnya primordialisme “kepartaian” yang dapat meluluh lantakan bangunan persatuan komunitas bangsa. Saat ini seringkali partai politik dan kepentingannya tampil lebih dominan dan jumawa serta mengkerdilkan kebangsaaan kita. Kepentingan dan tujuan partai sering didaku dan diidentikkan seakan-akan sebagai kepentingan bangsa.Tantangan ini memaksakan sebuah agenda bagaimana memperkuat wawasan kebangsaan untuk berhadapan dengan orientasi-orientasi primordial dan parpol yang kelewat eklusif dan menggerogoti keterikatan hati terhadap rasa kebangsaan.

Hal ini tentu saja tidak berarti menafikan keberagaman dan pluralitas karena justru dengan memahami, menginsafi dan membangun pluralitas, primordialisme dapat dicegah. Membangun pluralitas berarti membuka dialektika di antara pluralitas yang ada sehingga dapat tercipta transformasi budaya etnik ke budaya negara-bangsa.

Tantangan kedua adalah adalah mengembalikan nasionalisme pada khittahnya semula, yakni nasionalisme sebagai spirit untuk membentuk masyarakat-bangsa yang kuat. Karenanya perlu dibuka dan disegarkan kembali ‘ruang-ruang’ yang dapat menumbuhkan semangat dan suasana egaliter untuk melahirkan partisipasi rakyat. Masyarakat-bangsa akan maju dan kuat jika digerakkan oleh dinamikanya sendiri sedangkan dinamika tak mungkin tercipta maksimal tanpa partisipasi rakyat. Kontrol terhadap pelaksana kekuasaan negara mesti berjalan sehat, fair, obyektif dan diberdayakan sehingga dapat menutup kemungkinan terulangnya kembali kesalahan sejarah: munculnya orang kuat sebagai “penumpang gelap” nasionalisme.


Penulis adalah penyair, esais, dan Kepala Sekolah.. Doktor Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia UNS.Tinggal di Ngawi, Jawa Timur.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article