Nasionalisme: Meninjau Kritis Ideologi yang Mulai Menua

Noer Huda
4 Min Read

jfid – Saat dunia semakin terhubung, di mana informasi dan orang-orang dapat dengan mudah berpindah melintasi batas-batas geografis, ideologi nasionalisme tetap menjadi kekuatan dominan yang membentuk identitas dan pandangan dunia banyak individu.

Namun, melalui analisis yang lebih mendalam, kita perlu bertanya secara kritis tentang dampak dan konsekuensi dari ideologi ini.

“Apakah nasionalisme tetap relevan di era globalisasi sekarang ini?” Pertanyaan ini mungkin banyak menuai kontroversi, sebab bertentangan dengan apa yang selama ini dipahami dan dianut oleh masyarakat kebanyakan.

Tapi, tidak salahnya kita sedikit kritis, karena ideologi itu adalah sebuah produk dari manusia itu sendiri. Oleh karena itu mari kita menyelami lebih mendalam tentang nasionalisme itu, dan bagaimana kita menyikapinya di era globalisasi yang tidak mengenal tempat dan waktu ini.

Nasionalisme, pada dasarnya, mengajarkan bahwa setiap bangsa harus menempatkan kepentingan dan keunggulan mereka sendiri di atas segalanya. Sebagai akibatnya, terjadi penekanan kuat pada penghormatan terhadap simbol-simbol nasional, budaya, dan bahasa yang dianggap “asli”.

Orang-orang diberitahu bahwa menjadi bagian dari kelompok nasional mereka adalah sumber kebanggaan dan identitas yang tidak dapat digantikan. Namun, dalam perjalanan pencarian kebanggaan ini, seringkali terjadi pengabaian terhadap perspektif global yang lebih luas.

Nasionalisme, dalam esensinya, melahirkan pengertian yang sempit tentang “kami melawan mereka”. Fokus yang berlebihan pada identitas nasional dan keunggulan sendiri sering kali mengarah pada stereotip dan prasangka terhadap kelompok lain.

Dalam upaya untuk mempertahankan citra superioritas, kita cenderung mengabaikan keragaman dan kekayaan yang terdapat di luar batasan bangsa kita. Dalam proses ini, nilai-nilai kosmopolitanisme, penghargaan terhadap perspektif lintas budaya, dan pemikiran kritis seringkali terkikis.

Selain itu, nasionalisme juga menciptakan batasan fisik dan psikologis yang memisahkan manusia. Perbatasan politik yang dibangun dalam upaya mempertahankan identitas nasional menghasilkan penjagaan yang ketat, perubahan hukum imigrasi yang ketat, dan pembatasan pergerakan manusia secara keseluruhan.

Akibatnya, kita menciptakan pemisahan yang merugikan kerjasama global, pertukaran budaya, dan kesempatan untuk memahami perspektif orang lain yang berbeda.

Hal yang ironis adalah bahwa dalam era globalisasi ini, tantangan yang kita hadapi sebagai umat manusia jauh melampaui batasan nasional. Perubahan iklim, kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan konflik bersenjata tidak memandang warna bendera atau lagu kebangsaan. Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi kita untuk menyingkirkan kacamata nasionalistik kita dan melihat melampaui batasan-batasan sempit tersebut.

Bukan berarti kita harus meniadakan rasa identitas nasional kita sepenuhnya. Sebaliknya, mari kita menggunakan keberagaman itu sebagai kekuatan, bukan pemisah. Menghormati dan menghargai keberagaman budaya, agama, dan pandangan dunia dapat membawa kita menuju kolaborasi yang lebih baik dan pemecahan masalah global yang lebih efektif.

Sebagai manusia, kita memiliki kewajiban untuk menjaga keseimbangan antara identitas nasional dan keterbukaan universal. Menolak pandangan sempit dan merangkul pemikiran kritis akan memungkinkan kita untuk menghargai kompleksitas dunia ini, memahami pengaruh global yang saling terkait, dan bekerja bersama menuju masa depan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Oleh karena itu, mari kita menghadapi tantangan masa depan dengan memahami bahwa nasionalisme bukanlah jawaban yang komprehensif. Saat kita membangun jembatan dan merangkul persatuan dalam keragaman, kita mampu melampaui batasan-batasan kebanggaan yang sempit dan bergerak menuju dunia yang lebih adil, berkelanjutan, dan menyatukan umat manusia di luar warna bendera dan batas-batas geografis.

Penulis: Khairul Fata

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article