Kyai Sadrach dan Divergensi

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read

jfID – Di Jawa tampaknya agama tak pernah hadir sebagai sebuah ganjalan untuk mencari sebuah ‘kebenaran.’ Mulai dari Ronggawarsita yang selain mesantren dan berguru pada Kanjeng Kyai Kasan Besari juga berguru pada para penganut kapitayan dan spiritualis Hindu (Ajar); R.P. Natarata yang selalu mempertanyakan dan berpolemik dengan kepercayaan-kepercayaan lainnya—sampai ia menemukan jawaban atas pengarahan Sayyid Oidrus di Betawi dan seorang kyai khos di Surabaya—; dan Kyai Sadrach yang selain mesantren di Tebuireng juga pernah berkontak dengan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung yang akhirnya membabarkan apa yang disebut sebagai Kristen Jawa di Karangjoso, Purworejo.

Semuanya ini seperti membuktikan tesis M.C. Ricklefs bahwa di Jawa agama pada dasarnya hadir lebih sebagai spiritualitas. Sejarawan yang baru saja meninggal dunia itu menamakan fenomena ini sebagai “mistik sintesis” (Polarizing Society: Islamic and Other Visions [C. 1830-1930], 2007).

Dengan segala divergensi sosok Kyai Sadrach itu, dalam kacamata saya, ia seperti seorang pemimpin sebuah tarekat. Sebagian tradisi protestan, sejauh yang saya tahu, melarang adanya ikonoklasme, tapi Kyai Sadrach justru menaruh cakra manggilingan bumi dan pasopati di pucuk mustaka gerejanya berarsitektural laiknya sebuah masjid.

Senjata cakra adalah senjata khas para titising Wisnu dan pasopati adalah lambang jumbuh-nya Arjuna dengan Bathara Guru. Dahulu kala dalam jagat pewayangan terdapat dua lakon wayang yang dikategorikan kasepuhan: Dewa Ruci dan Ciptaning. Dan di masa lalu dua lakon wayang kasepuhan ini dipilih oleh dua gagrak besar yang secara politik-kebudayaan merujuk ke keraton tertentu: Dewa Ruci dipilih Surakarta dan Ciptaning dipilih Ngayoyakarta—meskipun di hari ini keduanya tak lagi menjadi perdebatan.

Dalam sejarah Islam sendiri ada banyak sosok divergen dengan segala variannya, al-Hallaj yang konon terpengaruh ajaran Hindu dengan konsep hulul-nya yang dalam catatan Massignon kerap tak berbusana laiknya ulama Islam (Al-Hallaj Sang Sufi Syahid, 2001). Ia pun memiliki beberapa murid di India dan disebut sebagai “Pir” oleh masyarakat setempat yang setara dengan istilah mursyid dalam tarekat.

Adapula, di nusantara, seorang Ronggawarsita yang tak hanya pernah terkenal sebagai seorang santri, tapi juga seorang yang salah satu karyanya, Wirid Hidayat Jati, menjadi kitab sakral para anak murid Ki Ageng Djoyopoernomo di Temuguruh (Perang Jawa Sebagai Tonggak Historis Islam Nusantara, Heru Harjo Hutomo.

Apalagi di masa kolonial Belanda, tak lazim para penduduk memiliki secarik kartu identitas yang memuat pula kolom agama di dalamnya sebagaimana sekarang, di mana divergensi pada akhirnya adalah suatu hal yang lumrah. Dalam salah satu catatannya, Abdurrahman Wahid pernah mengetengahkan tilikannya atas karakteristik orang-orang nusantara di masa silam dan menyebutnya sebagai sebentuk “eklektisisme yang produktif” (Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan, 2007).

Kyai Sadrach, tak pelak lagi, adalah salah satu sosok yang saya kira juga eklektik. Ia hadir sebagai seorang pengembara spiritual, dari seorang santri di Tegalsari dan Tebuireng hingga menjadi seorang penginjil yang secara kultural menata para pengikutnya laiknya masyarakat pedesaan: gereja yang berbentuk seperti masjid, sarung dan kualitas diri sebagaimana lazimnya orang yang dianggap sebagai sesepuh di pedesaan Jawa. Tentu dari kalangan Kristen sendiri divergensi ini bukan tanpa masalah mengingat puritanisme yang kuat dalam tradisi Protestan.      

Ruang ambang yang dipijak oleh Sadrach dan para pengikutnya memang terlihat tak mudah untuk dihidupi. Di satu sisi, mereka adalah orang Jawa yang lekat dengan kejawaannya. Di sisi lain, mereka adalah penganut Protestan yang waktu itu identik dengan kolonialisme Belanda.

Sementara dari sudut pandang keyakinan, mereka adalah pemeluk iman kristiani, tapi ekspresi kehidupan keseharian mereka seperti halnya masyarakat muslim pedesaan Jawa pada umumnya: bentuk arsitektural dan penyebutan gereja sebagai “mesjid” serta sarungan sebagai bentuk busana keseharian—meskipun mereka tak mempraktikkan tradisi ruwahan dan ziarah kubur laiknya masyarakat pedesaan Jawa.

Terkadang, saya berpikir, bahwa pada akhirnya “Kebenaran” itu laiknya mentari dan manusia hanya dapat menangkap bayangannya pada lautan, telaga, sungai atau bahkan pada nyala di sepasang matanya sendiri. 

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article