Ungkap Mafia Tanah di Kepulauan Sapeken

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
9 Min Read

jfID – Indonesia merupakan negara yang berlandasakan hukum. Semua yang menyangkut kesejahteraan umum sudah diatur dalam undang – undang dalam bentuk peraturan-peraturan tertulis. Dengan demikian sebuah kepastian hukum untuk seseorang pada hakikatnya telah terjamin oleh konstitusi yang ada di Indonesia. Dalam konteks kehidupan dunia modern, tampaknya terjadi beberapa hal yang seringkali menjadi pemicu lahirnya sengketa antara masyarakat dengan masyarakat, antara pemerintah dan masyarakat. Sengketa antara masyarakat dengan masyarakat disebabkan salah satunya permasalahan atas tanah yang bersengketa dengan munculnya dualisme sertifikat atau tumpang tindihnya kepemilikan atas tanah.

Sengketa antara masyarakat dengan pemerintah yang pertama yaitu tentang kepemilikan tanah dalam perbedaan persepsi mengenai konsep penguasaan dan pemanfaatan tanah. Pemerintah dengan berbagai program pembangunannya beranggapan bahwa bumi (atau tanah), air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, karena itu mereka berhak melakukan perubahan atas setiap tanah untuk kepentingan bersama.

Salah satu kasus ketika munculnya sengketa tanah rakyat dan Pos Jaga Bea dan Cukai di Desa Sapeken Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep. Latar belakang terjadinya sengketa diawali dengan salah satu pegawai kecamatan yang bernama Liahnan pada tahun 2019 dalam pengakuannya; bahwa pihak Bea dan cukai menawarkan penjualan kepadanya untuk segera dibeli, untuk itu Liahnan menemui Moh. Roem yang dalam hal ini diketahui sebagai ahli waris dari tanah milik bapaknya yang bernama Moh. Sanusi (Sebagaimana surat pernyataan waris).

Bukti dalam kepemilikan tanah Kantor Pos Jaga bea dan cukai adalah milik Moh. Roem (ahli waris) sebagaimana bukti dokumen atas hak tanah diantaranya adalah keterangan dari desa yang dalam hal ini buku Liter C Desa Sapeken dengan No.Kohir 1331 persil: 11, kelas: III dengan luas; 16.880 M2, dan bukti SPPT NOP : 35.29.230.003.003-5703 7 mulai tahun 2000-2019 (SPPT terakhir), juga dari Surat Keterangan status tanah kantor pos jaga Bea dan cukai Nomor : 590/449/435.327.101/2020 yang dikeluarkan oleh Pemerintaham Desa Sapeken.

Ad image

Bukti lain, sebagai mana keterangan saksi hidup yang bernama Gapur, bahwa pada tahun 1993 pihak Bea dan cukai bersama Moh. Sanusi bapak kandung dari Moh. Roem melakukan kesepakatan di rumah bapak Gapur bahwa dikontrakkan kepada bea dan cukai sebesar Rp.300.000,- (Tiga ratus ribu rupiah) dengan batas waktu terputus.

Sedangkan, penawaran penjualan dari Pihak Bea dan cukai kepada Liahnan didasari dari Sertifikat Tanah nomor : 11 yang dikeluarkan oleh badan Pertanahan Kabupaten Sumenep tahun 2014 dengan luas : 431 M2; dengan status Hak Pakai dengan batas waktu : jika tidak dipergunakan sebagaimana fungsinya. Akan tetapi sebagaimana keterangan pihak Desa Sapeken diterangkan bahwa Kantor pos Jaga Bea dan Cukai hanya beroprasi mulai dari tahun 1993 dan berhenti dipergunakan pada tahun 1997.

Juga kaitannya dengan sertifikat atas Nama Bea dan Cukai dengan Status Hak Pakai setelah di Cek oleh pihak BPN Kabupaten Sumenep, ditemukan Keganjalan yang dalam ini adalah keterangan ukur yang tertulis bahwa “Surat Ukur Ini salinan dari peta bidang tanah Nomor 1113 tahun 2014” Setelah di cek di arsip BPN ternyata Kosong dan tidak ada peta bidangnya.

Secara umum, penyebab munculnya kasus-kasus Sengketa tanah di Desa Sapeken adalah Pemerintah yang seringkali menutup mata dengan hak masyarakatnya, seringkali pemerintah desa memanfaatkan kekuasaannya dalam melegitimasi tanah rakyat dengan dalih Pembangunan serta proses pendaftaran Tanah (sertifikat) yang terindikasi dilakukan secara sepihak dan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku juga disamping Kondisi masyarakat yang lemah dari segi pemahaman hukum yang berkaitan dengan tanah dan haknya.

Kita ketahui bahwa, Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah. Didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria sebenarnya termaktub satu ketentuan akan adanya jaminan bagi setiap warga negara untuk memiliki tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika mengacu pada ketentuan itu dan juga merujuk pada PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah (terutama pasal 2) Badan Pertanahan Nasional (BPN) seharusnya dapat menerbitkan dokumen legal (sertifikat) yang dibutuhkan oleh setiap warga negara dengan mekanisme yang mudah, terlebih lagi jika warga negara yang bersangkutan sebelumnya telah memiliki bukti lama atas hak tanah mereka.

Namun sangat disayangkan pembuktian dokumen legal melalui sertifikasi pun ternyata bukan solusi yang terbaik dalam kasus sengketa tanah. Seringkali sebidang tanah bersertifikat lebih dari satu, pada kasus di desa Sapeken yang seringkali terjadi, misalnya. Bahkan, pada beberapa kasus, sertifikat yang telah diterbitkan pun kemudian bisa dianggap aspro (asli tapi salah prosedur) sebagaimana kasus Tanah milik Moh. Roem. Dari hal tersebut setidaknya ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya yaitu :

1). Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak beres. Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan mungkin pula karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum yang lemah.

2). Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Munculnya Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani atau penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik.

3). Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani atau pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Ironisnya ketika masyarakat miskin mencoba memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan menggarapnya, bahkan ada yang sampai puluhan tahun, dengan gampangnya mereka dikalahkan haknya di pengadilan tatkala muncul sengketa.

Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Undang undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional dibidang Pertanahan, pada dasarnya memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah-masalah agraria. Sudah selayaknya terlepas dari berbagai kekurangan yang tersimpan dalam instrumen hukum itu jika kewenangan tersebut dimplementasikan, dengan prinsip yang tidak melawan hukum.

Sementara itu, gagasan untuk membentuk kelembagaan dan mekanisme khusus untuk menyelesaikan sengketa tanah semacam Komisi Nasional Penyelesaian. Sengketa Agraria dan juga pembentukan lembaga sejenis di daerah sebagaimana yang pernah diusulkan oleh berbagai kalangan, kiranya menjadi relevan pula untuk semakin didesakkan, terlebih jika pemerintah memang benar-benar berkehendak untuk menjalankan reformasi agraria dan menangani permasalahan agraria secara serius. Belajar dari tragedi ini, jika Badan Pertanahan Nasional mencatat ada 2.810 kasus sengketa tanah di Kabupaten Sumenep termasuk Di desa Sapeken Kecamatan Sapeken. (Sesuai Data Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia), maka dapat dibayangkan bagaimana hebatnya bom waktu yang akan meledak jika kasus-kasus tersebut tidak segera mendapatkan penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada kepentingan rakyat.

Laporan: Ikratul Akbar

Editor: Deni Puja Pranata

Share This Article