Tumengeng Tawang: Langit di Kala Ramadhan

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
Inspirasi Puisi Ramadhan untuk Caption Media Sosial: 3 Contoh Puisi Ramadhan yang Menginspirasi dan Bermakna
Inspirasi Puisi Ramadhan untuk Caption Media Sosial: 3 Contoh Puisi Ramadhan yang Menginspirasi dan Bermakna

Ya man asra bikal muhaiminu laila al-nilta

Ma nilta wa al-anamu niyamu

Wa taqaddamta li al-sholati fasholla

Kullu man fi al-sama’i wa anta al-imamu

—Shalawat Tahrim, al-Maqari.

jfid – Sebagaimana statusnya yang masih dapat diperdebatkan, apa yang dikenal sebagai waktu imsak dengan disertai pembacaan Sholawat Tahrim, merupakan suatu hal yang begitu menggelitik untuk ditelisik lebih lanjut. Waktu imsak dengan kelaziman diperdendangkan Sholawat Tahrim ternyata dapat menyibak kenisbian perspektif fikih.

Menurut para agamawan konon waktu imsak diambil dari suatu ayat dalam surat al-Baqarah (187) yang kemudian melahirkan tentang dua jenis fajar: fajar yang bohongan dan fajar yang asli. “Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian perbedaan benang putih dari benang hitam yakni fajar,” demikian kabar al-Qur’an.

Di samping waktu imsak sendiri yang tak tegas dalam menentukan awal puasa, Sholawat Tahrim yang lazim mengiringinya pernah pula ditetapkan sebagai sesuatu yang bid’ah. Apalagi, sementara menurut para ulama, terdapat syair yang menggambarkan bahwa Nabi Muhammad mendirikan sholat di waktu dini hari yang kemudian diikuti oleh para penghuni langit, yang dinisbahkan pada para malaikat.

Di Indonesia sendiri, apalagi di pulau Jawa, Sholawat Tahrim dikumandangkan untuk menandai waktu imsak yang berdurasi selama 10 menitan sebelum adzan subuh. Namun, yang bagi saya menarik, ternyata orang Jawa yang karib dengan kebudayaannya, sama sekali tak heran dengan status waktu imsak dan Shalawat Tahrim.

Dalam se-pupuh tembang Asmarandana, fenomena para penghuni langit yang nganglang jagat di saat dini hari cukuplah familiar. Konon pada saat itulah para penghuni langit itu tengah membawa bokor kencana yang berisi doa penolak balak, sandang dan pangan, yang akan bagian dari orang-orang yang sabar dan qanaah.

Aja turu sore kaki

Ana Dewa nganglang jagat

Nyangkir bokor kencanane

Isine donga tetulak

Sandang kalawan pangan

Yaiku bageyanipun

Wong sabar lan nerima

Jadi, ketika oleh al-Maqari, sang pencipta Sholawat Tahrim, menggambarkan Nabi Muhammad menunaikan sholat di waktu dini hari dan kemudian para penghuni langit bermakmum kepadanya, bukanlah suatu hal yang ngayawara atau mengada-ada. Artinya, dalam lanskap kebudayaan Jawa, penggambaran tentang Nabi Muhammad di waktu dini hari itu adalah penggambaran yang lumrah.

Bisa jadi, karena kelumrahan dalam kebudayaan Jawa itulah Sholawat Tahrim tetap dikumandangan hingga detik ini, apalagi di kala Ramadhan untuk menandai waktu imsak. Bahkan satu bait dalam Sholawat Tahrim yang dianggap paling kontroversial itu, dalam perspektif budaya Jawa, adalah penanda yang paling tepat untuk menandai waktu imsak.

Orang Jawa jelas tak mengenal ilmu-ilmu alat semacam Nahwu-Shorof, yang seumpamanya ditautkan dengan pengertian istilah imsak tak menjawab persoalan. Dengan memakai kerangka ilmu kerata basa, yang berstatus sah dalam ilmu kesusastraan Jawa, bunyi kata imsak sangat dekat secara musikal dengan kata samak, “Kullu man fis samaa’i wa antal imaamu.” Jadi, dapat dipahami kenapa waktu imsak di Jawa identik dengan Sholawat Tahrim yang melukiskan pula para penghuni langit nganglang jagat. Istilah imsak kemudian dapat identik dengan langit yang merujuk pada waktu fajar yang di Jawa disebut sebagai “parak” (Menyelami Dering Keheningan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Catatan Redaksi: Heru Harjo Hutomo adalah penulis produktif dan penulis terbaik pilihan jurnalfaktual.id. Berbagai esai dan karya seni rupanya bisa dijumpai di laman jurnalfaktual.id.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

TAGGED:
Share This Article