Suatu Malam di Kota Blitar

Herry Santoso By Herry Santoso
3 Min Read

DI SAAT COVID 19 MEREBAK

Catatan : Herry Santoso

jfid – Selepas dini hari (29/3/20) saya masih berada di jantung kota Blitar. Suasana lengang. Tak satu pun kendaraan melintas, kecuali patroli dari kepolisian dan Pol PP yang sesekali merobek malam.

Mereka berhenti di setiap ada kerumunan orang. Ya, sekadar mendekati orang-orang yang masih ngopi menghabiskan malam di depan stasiun KA Kota Blitar.

Ad image

“Bapak mau ke mana ?” tanya salah seorang pada saya. Agar tidak banyak masalah, kutarik pers card yang saya kalungkan di leher, seraya menunjukkannya. Untung salah seorang kenal baik dengan saya, hingga segera berlalu.

Aja bengi-bengi Mbah, nganti isuk ae, “ – (Jangan malam-malam Kek, sampai pagi saja ) – ucapnya berkelakar, yang membuatku tersenyum kecut.

Ngojek Orang Gila

Sepeda motor saya kembali merobek kesenyapan. Sesampainya di Makam Bung Karno, ada sosok mencurigakan duduk-duduk sendirian di depan Saptra Mandala Hotel. Dari dandanannya yang perlente saya berpikir ia seorang boss. Mengenakan jacket woll, sepatunya juga mahal, ternasuk arloji di pergelangan tangannya.
“Bapak sendirian ?” tanyanya. Saya mengiyakannya. Bahkan ia menyodorkan Marlboro Menthol, tapi dengan halus saya menolak.

Usianya baru paro baya. Sekitar 40-an.
“Saya dari Australia. Mau pulang ke Blitar tapi tidak ada kendaraan umum. Bisakah Bapak mengantar saya hingga Balai Kota ?” katanya. Saya pun mengangguk. Kembali motor saya merobek malam meluncur ke Balai Kota Blitar.

“Sudah aku turun sini saja, ” setibanya di depan Kantor Waki Kota. Di sana saya masih ketemu beberapa orang sesama jurnalis.

“Mbah. Kok ngojol ?” tanya mereka sambil tergelak. Saya baru paham setelah di antara mereka mendekat dan buru-buru memberikan isyarat dengan menyilangkan telunjuknya di depan jidatnya.

Busyet. Hampir setengah jam melayani orang gila, rutukku dalam hati, serta-merta tancap gas ke Blitar utara.

Melongok Ritual Gaib

Jam sudah menunjukkan pukul 01,12 menit. Saya bertolak pulang. Sepanjang perjalanan tak ada tanda-tanda kehidupan berdenyut. Angin pagi semilir. Belum sampai tiba di rumah, sayup-sayup terdengar orang melantunkan kidung melalui loospraker.

Ritual Gaib di Blitar (foto: Herry Santoso)

Nafsu petualangan yang tersisa mendorong saya mencari sumber suara tersebut. Ternyata ada orang melekan sambil melakukan ritual macapat. Ada uborampe di antara mereka sebagai sesaji, tumpeng, dan bunga setaman.

“Untuk apa, Pak sesaji ini ?” tanya saya.
“Tolak balak, Mase. Ini sudah kami lakukan secara turun-menurun, di saat negara tengah menghadapi marabahaya. Seperti saat ini konon ada Corona…” akunya serius.

Saya pun segera mohon diri. Dari kejauhan sayup-sayup masih terdengar alunan kidung jimat itu. Terbang bersama angin pagi yang semilir di ambang fajar, menambah suasana semakin Atis dan mencekam.

TAGGED:
Share This Article