jfID– EMBUN pagi baru saja menguap ketika penulis sudah gowes di jalan raya Kediri – Tulungagung. Tujuannya cuma satu : ingin menikmati Soto Branggahan.
Kuliner tersebut benar-benar “legendary food” sejak zaman kolonial Belanda dulu.
“Konon, menurut ceritanya, soto Branggahan sudah terkenal semenjak zaman kolonial dulu, Pak, ” tutur Bening (32) penjual soto paling terkemuka.
“Para nDoro Tuan sebelum ngantor di PG. Ngedirejo, selalu sarapan soto dulu. ” imbuhnya serius.
Cuma Sejimpit
Terkenal karena soto daging itu tanpa urat dan tulang. Konon selalu diolah dari daging merah nomor satu. Rasanya empuk, dan teksturnya khas. Aroma rempahnya yang cukup merangsang selera, terlebih ditambah kecambah, sambal, kecap, koya, dan perasan jeruk nipis, semua jadi, “Wauw…!”.
Sayangnya porsinya cuma sejimpit. Tersaji di mangkok khas : kecil bingit !
” Kenapa mangkuknya kecil banget, Ning ? ” tanya penulis.
“Itu bukan disengaja lho, Pak. Dulu, para bule di saat sarapan porsinya cuma kecil, segitu, nggak kayak kita sukanya sih yang gede-gede, hehe…” sang empunya warung terkekeh hingga tampak lesung pipit di pipinya.
Wisata Kuliner Legendaris
Soto Branggahan memang branded. Bukan karena rasanya sekaligus oleh Pemkab Kediri dijadikan legendary culinary tours. Wajar jika kuliner itu berkumandang di mana-mana.
Lebih-lebih yang melayani cenderung rupawan, hingga soto itu benar-benar jadi ikonis.
“Kamu sudah berkeluarga, Ning ?” tanya penulis sengaja ngelantur.
Ia tersenyum sebelum menjawab jujur, “Sudah pernah, ” katanya sembari menunduk.
“Ini milik kamu sendiri ya ?”
“Eh mm…sebagian,”
“O, jadi joint usaha ?” ucapku.
“Iya. Kenapa sih, Pak ?”
“Ah, enggak, sudah kuduga, kalau kamu juragannya, kok !” kataku.
“Lho, dari apanya, Pak ?”
“Dari mmm… style kamu,”
“Hehe… Asinnya cukup ya, Pak ?” ia mengalihkan bicara.
“Ya, ya, sip !” aku nengacungi jempol.
“Nggak kurang sedap ya, Pak ?”
Aku mengunyah dan mengapresiasi rasanya, sebelum bilang, ” Enggak kok, kan ada senyummu ?”
“Terima kasih….” ujar Bening dengan mata berbinar bening. Semangkok, plus segelas air jeruk hangat : Rp 10.000,-
“Gak keliru ra, Ning ?”
” Enggak, jeruk hangatnya gratis, Pak. Sering-sering ke mari, ya, Pak…” ucapnya lagi dengan melempar senyuman. Hehe….