jfid – Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 akan menjadi ajang pesta demokrasi terbesar di Indonesia. Namun, pesta ini tidak murah.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengusulkan anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp76,656 triliun, yang terdiri dari Rp8,061 triliun untuk tahun 2022, Rp23,857 triliun untuk tahun 2023, dan Rp44,737 triliun untuk tahun 2024.
Anggaran ini menimbulkan kontroversi di kalangan publik. Sebagian menganggap anggaran ini fantastis dan mencerminkan kinerja KPU yang profesional dan transparan.
Sebagian lainnya mengkritik anggaran ini sebagai pemborosan dan potensi korupsi yang merugikan negara dan rakyat.
Lalu, bagaimana sebenarnya anggaran Pemilu 2024 ini? Apa saja komponen-komponennya? Dan mana yang bisa dikategorikan sebagai pemborosan atau mudah dikorupsi?
Kegiatan Utama dan Pendukung
Menurut keterangan KPU RI, anggaran Pemilu 2024 dibagi menjadi dua komponen, yaitu kegiatan utama dan kegiatan pendukung. Kegiatan utama meliputi pelaksanaan tahapan pemilu, honor badan adhoc, logistik pemilu, serta sosialisasi dan pendidikan politik pemilih.
Kegiatan pendukung meliputi pembangunan, renovasi atau rehabilitasi kantor maupun gudang, sewa kendaraan operasional, uang kehormatan komisi, gaji dan tunjangan kinerja pegawai sekretariat KPU, belanja operasional kantor, dukungan IT peralatan komputer, serta perekrutan KPU provinsi, kabupaten, dan kota.
Porsi kegiatan utama adalah sebesar 82,71 persen atau sebesar Rp63,405 triliun, sedangkan porsi kegiatan pendukung adalah sebesar 17,29 persen atau sebesar Rp13,250 triliun.
Dari porsi kegiatan utama, sebagian besar dialokasikan untuk honor badan adhoc sebesar Rp34,443 triliun atau 44,93 persen dari total anggaran.
Badan adhoc adalah penyelenggara pemilu di tingkat bawah, seperti Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Honor badan adhoc pada 2024 naik cukup signifikan bahkan hampir mencapai tiga kali lipat dari honor pada 2019.
Misalnya, honor KPPS untuk Pemilu 2024 dirancang sebesar Rp1,5 juta per orang, sebelumnya honor KPPS di 2019 sebesar Rp550 ribu. Begitu juga, honor PPK di 2019 sebesar Rp1,8 juta dan di 2024 dirancang sebesar Rp3 juta, kemudian untuk PPS dari Rp1,3 juta menjadi Rp2,45 juta.
Kenaikan honor badan adhoc ini disebut-sebut sebagai upaya KPU untuk meningkatkan kesejahteraan dan motivasi penyelenggara pemilu di lapangan, yang memiliki peran penting dalam menjamin kualitas dan integritas pemilu.
Namun, kenaikan ini juga menuai kritik sebagai bentuk pemborosan dan penghamburan uang negara, yang tidak sebanding dengan beban kerja dan tanggung jawab badan adhoc.
Selain honor badan adhoc, komponen lain yang menyerap anggaran besar adalah logistik pemilu, yang mencapai Rp16,017 triliun atau 20,90 persen dari total anggaran.
Logistik pemilu meliputi surat suara, kotak suara, bilik suara, tinta, dan perlengkapan lain yang dibutuhkan untuk proses pemungutan dan penghitungan suara.
Logistik pemilu ini menjadi salah satu sumber potensi korupsi, karena melibatkan proses pengadaan barang dan jasa yang rawan mark up dan kolusi.
KPU juga menganggarkan untuk alat pelindung diri (APD) sebesar Rp4,652 triliun atau 6,07 persen dari total anggaran.
APD ini diperlukan untuk mencegah penularan Covid-19 selama penyelenggaraan pemilu, baik bagi penyelenggara, peserta, maupun pemilih.
APD ini meliputi masker, sarung tangan, hand sanitizer, face shield, dan thermo gun. Meskipun penting untuk menjaga kesehatan dan keselamatan, APD ini juga berisiko menjadi ajang korupsi, karena bisa saja terjadi penggelembungan harga, pengurangan kualitas, atau pengadaan fiktif.
Selain itu, KPU juga menganggarkan untuk Pilpres 2024 putaran kedua sebesar Rp14,479 triliun atau 18,89 persen dari total anggaran. Anggaran ini untuk honor KPPS selama 1 bulan, logistik, pemungutan dan penghitungan suara, serta rekapitulasi penghitungan suara.
Anggaran ini dianggap sebagai antisipasi jika terjadi persaingan ketat antara pasangan calon presiden dan wakil presiden, sehingga harus dilakukan pemilihan ulang.
Namun, anggaran ini juga dianggap sebagai pemborosan, karena belum tentu terjadi dan bisa saja dialihkan untuk kepentingan lain.
Evaluasi dan Solusi
Anggaran Pemilu 2024 yang fantastis ini tentu membutuhkan evaluasi dan solusi dari berbagai pihak, baik pemerintah, DPR, KPU, Bawaslu, maupun masyarakat.
Evaluasi dan solusi ini bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan anggaran, menghindari pemborosan dan korupsi, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemilu.
Salah satu evaluasi yang perlu dilakukan adalah mengkaji kembali asumsi dan perhitungan anggaran yang diajukan oleh KPU.
Asumsi dan perhitungan ini harus sesuai dengan kondisi riil dan kebutuhan yang ada, serta mempertimbangkan faktor-faktor yang bisa mempengaruhi anggaran, seperti inflasi, pertumbuhan penduduk, jumlah pemilih, jumlah daerah pemilihan, jumlah calon, dan lain-lain.
Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah mengubah metode pemilu, baik metode pencoblosan maupun metode penghitungan suara.
Metode pencoblosan yang saat ini masih menggunakan surat suara kertas bisa diganti dengan metode elektronik, seperti e-voting atau e-rekap.
Metode ini diyakini bisa menghemat biaya logistik, mempercepat proses pemilu, dan mengurangi potensi kecurangan.
Namun, metode elektronik ini juga memiliki tantangan dan kendala, seperti kesiapan infrastruktur, sumber daya manusia, dan keamanan data.
Oleh karena itu, metode ini harus dipersiapkan dengan matang dan melibatkan berbagai pihak, seperti pemerintah, DPR, KPU, Bawaslu, akademisi, praktisi, dan masyarakat.
Anggaran Pemilu 2024 adalah hak dan tanggung jawab kita bersama. Kita harus berpartisipasi dalam mengawasi dan mengkritisi anggaran ini, agar tidak terjadi pemborosan dan korupsi yang merugikan negara dan rakyat.
Kita juga harus mendukung dan mengapresiasi anggaran ini, agar bisa menyukseskan pemilu yang demokratis, jujur, adil, dan berkualitas.