jfid – Pembaca yang budiman. Kali ini saya akan membahas tentang rencana serangan Israel ke Rafah, sebuah kota di Gaza Selatan yang menjadi tempat tinggal bagi 1,3 juta warga Palestina yang mengungsi.
Apa sih yang membuat PM Israel, Benjamin Netanyahu, nekat melakukan hal ini? Apa dampaknya bagi warga sipil dan kemanusiaan? Dan apa tanggapan dari dunia internasional? Yuk, kita simak bersama.
Konflik antara Israel dan Palestina sudah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum Israel berdiri sebagai negara pada tahun 1948.
Salah satu akar masalahnya adalah klaim atas tanah yang sama, yaitu wilayah yang disebut sebagai Tanah Suci oleh tiga agama monoteis, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam.
Sejak tahun 1967, Israel telah menduduki sebagian besar wilayah Palestina, termasuk Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.
Israel juga membangun permukiman-permukiman ilegal di wilayah-wilayah tersebut, yang dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional dan hak asasi manusia.
Di Jalur Gaza, Israel menghadapi perlawanan dari kelompok militan Hamas, yang menguasai wilayah tersebut sejak tahun 2007.
Hamas menolak mengakui eksistensi Israel dan sering melancarkan serangan roket ke wilayah Israel. Israel pun membalas dengan melakukan blokade dan serangan udara ke Jalur Gaza, yang menyebabkan banyak korban jiwa dan penderitaan di kalangan warga sipil.
Rencana Serangan ke Rafah
Pada tanggal 7 Oktober 2023, Hamas melancarkan serangan roket besar-besaran ke Israel, yang menewaskan 12 orang dan melukai ratusan lainnya. Serangan ini merupakan yang terbesar sejak tahun 2014, ketika Israel dan Hamas terlibat dalam perang selama 50 hari.
Israel pun membalas dengan melakukan serangan udara ke Jalur Gaza, yang menargetkan posisi-posisi militer dan infrastruktur Hamas.
Serangan ini telah menewaskan lebih dari 1.000 orang, sebagian besar adalah warga sipil, dan melukai lebih dari 6.000 orang lainnya. Serangan ini juga telah menghancurkan ribuan rumah, sekolah, rumah sakit, dan fasilitas lainnya.
Salah satu kota yang paling parah terkena dampak serangan Israel adalah Rafah, yang terletak di ujung selatan Jalur Gaza, dekat perbatasan Mesir.
Kota ini merupakan pusat populasi besar terakhir di Jalur Gaza yang belum dimasuki oleh pasukan Israel, namun juga merupakan pintu masuk utama pasokan bantuan yang sangat dibutuhkan.
Warga Palestina yang mengungsi dari kota-kota lain di Gaza telah membanjiri Rafah, tempat ratusan ribu orang tidur di tenda atau di jalanan.
Menurut perkiraan PBB, ada sekitar 1,3 juta orang yang tinggal di Rafah, yang sebagian besar adalah pengungsi.
Namun, PM Israel, Benjamin Netanyahu, berencana untuk melakukan serangan lebih jauh ke Rafah, dengan alasan bahwa di sana masih ada batalion-batalion Hamas yang bersembunyi dan menyerang Israel.
Pada tanggal 9 Februari 2024, Netanyahu memerintahkan tentaranya untuk menyiapkan rencana evakuasi warga sipil dari Rafah, sebelum melakukan invasi darat yang menyertai serangan udara.
Tanggapan Dunia Internasional
Rencana serangan Israel ke Rafah telah menuai kecaman dari berbagai pihak, baik dari kelompok hak asasi manusia, negara-negara tetangga, maupun sekutu-sekutu Israel sendiri.
Mereka mengkhawatirkan bahwa serangan tersebut akan menimbulkan bencana kemanusiaan, mengingat jumlah dan kondisi warga sipil yang tinggal di Rafah.
Presiden Palestina, Mahmud Abbas, menyebut rencana serangan itu sebagai pelanggaran secara terang-terangan terhadap semua batas-batas yang ada. Dia juga mengimbau dunia internasional untuk menghentikan agresi Israel dan melindungi rakyat Palestina.
Mesir, yang berbatasan dengan Rafah, juga mengecam rencana Israel dan menawarkan diri untuk menjadi mediator antara Israel dan Hamas. Mesir juga membuka perbatasannya untuk menerima pengungsi Palestina yang ingin melarikan diri dari serangan Israel.
Amerika Serikat, yang merupakan pendukung utama Israel, juga menunjukkan sikap kritis terhadap rencana Israel.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan bahwa pihaknya tidak mendukung serangan darat di Rafah, dan memperingatkan bahwa jika tidak direncanakan dengan baik, operasi semacam itu berisiko menimbulkan “bencana”.
Presiden AS, Joe Biden, juga mengeluarkan kritik terkuatnya terhadap perilaku perang Israel, dan menggambarkan pembalasan atas serangan Hamas pada 7 Oktober sebagai tindakan yang terlalu berlebihan.
“Saya berpandangan, seperti yang Anda tahu, bahwa tindakan respons di Gaza, di Jalur Gaza, sudah berlebihan,” kata Biden. “Ada banyak orang tak berdosa yang kelaparan, dalam kesulitan dan sekarat, dan ini harus dihentikan.”
Kesimpulan
Rencana serangan Israel ke Rafah adalah salah satu contoh dari eskalasi konflik antara Israel dan Palestina, yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Rencana ini menunjukkan betapa kerasnya sikap PM Israel, Benjamin Netanyahu, yang tidak mau mengalah kepada Hamas, meskipun harus mengorbankan nyawa dan kesejahteraan warga sipil.
Rencana ini juga menunjukkan betapa rapuhnya situasi kemanusiaan di Jalur Gaza, yang telah menderita akibat blokade dan serangan Israel. Warga Palestina yang tinggal di Rafah, yang sebagian besar adalah pengungsi, tidak punya tempat lagi untuk berlindung, dan menghadapi ancaman kematian setiap saat.
Rencana ini juga menunjukkan betapa pentingnya peran dunia internasional untuk menyelesaikan konflik ini secara damai dan adil.
Dunia internasional harus bersikap tegas terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Israel, dan mendesak kedua belah pihak untuk kembali ke meja perundingan.
Dunia internasional juga harus memberikan bantuan kemanusiaan yang cukup untuk warga Palestina, yang sangat membutuhkan makanan, air, obat-obatan, dan perlindungan.